Malaikatpun ada dimana-mana

Sebuah kejadian tidak mengenakkan terjadi padaku kemaren malam. Seseorang menabrak kaca spion ketika mobil terparkir seharian di halaman kantor, sehingga kaca spion itu sedikit meleset dari tempatnya, dan motor penggerak spion pun tak membuat kaca bergeming dari posisinya. Aku sedikit ceroboh. Belajar dari my better half “kalau kita tidak suka risiko, lebih baik dihindari dengan kegiatan preventif”, maka aku akan menutup spion setiap aku meninggalkan mobil. Namun kemaren sungguh diluar kebiasaanku. Dan parahnya, aku baru menyadari hal itu ketika mobil telah melaju ke jalan raya. Di tengah keramaian jalanan, yang tampak olehku hanya warna hitam pekat, warna mobilku tentu saja. Aku hanya bisa nggerundel sambil sesekali mengukuti saran teman untuk mencoba dan mencoba lagi motor penggerak spion, siapa tahu keajaiban terjadi. Konyolnya, akupun percaya. Kaca semakin bergerak ketika mobil bergerak. Memahami bahaya yang mengintai, akupun berhenti dipinggir jalan, yang malam itu entah kenapa sangat padat sekali, menambah penderitaanku saja. Beberapa kali mencoba meletakkan kembali kaca spion ke rangka spion dan lagi-lagi gagal. Tiba-tiba seseorang muncul dari kegelapan. Hati mulai dag dig dug, terlebih pesan Bapak Mertua setiap pagi sebelum aku berangkat kantor serasa masuk ke akal sehatku, “kalau ada orang tiba-tiba pingsan di jalan, atau minta tolong, dicuekin saja, bisa jadi mereka punya niatan jahat, terus saja nyetir, jangan dipedulikan”. Turns out, Mas… , aku gak sempat bertanya siapa namanya, menolongku dan voila, berhasil. Aku sungguh bersyukur, masih ada manusia yang peduli. Aku bersyukur, Mas itu tidak pernah mendengar pesan yang sama seperti pesan Bapak Mertuaku, karena bisa jadi Mas …sebut saja Mas Malaikat, tidak akan pernah menolongku. Akhirnya saya sampai dengan selamat sampai ke rumah tanpa ada halangan yang berarti, kecuali kemacetan yang sudah masuk dalam risk appetiteku. Anyway … siapapun Anda Mas, saya bersyukur Tuhan mengirim Anda melewati jalan yang sama, malam yang sama, jam, menit dan detik yang sama ketika saya melintasi area itu. Malaikat itu Tuhan kirimkan saat aku membutuhkan.

Tepat satu tahun lalu, di Berlin Hauptbahnhof, stasiun kereta api utama di kota itu, sepasang suami istri dari negara berkembang bingung bukan kepalang. Gara-gara ticketing machine yang kurang friendly dan hanya menyajikan infomasi dalam bahasa Jerman. Sang istri sih ngakunya 22 tahun silam pernah belajar bahasa Jerman, dan sesekali membuat artikel dalam bahasa Jerman. Tapi ternyata kemampuan yang cuma seujung jari ini tidak membantu sama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan beberapa saat lagi bus reguler yang melewati hotel tempat mereka menginap akan semakin jarang. Tiba-tiba ada lelaki bersepeda dengan gaya hippie mendekati mereka berdua, dan menyapanya dalam bahasa Inggris. Bak malaikat turun dari sorga, lelaki ini menawarkan bantuan. Dia bahkan menjelaskan kepada pasangan ini tipe tiket yang sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga menghemat beberapa puluh euro. Sampai detik itu, pasangan ini masih berpikir bahwa lelaki ini pasti akan meminta imbalan. Turned out, lelaki hippie ini segera mengayuh sepedanya begitu bunyi printer di ticketing machine mulai menyala. Pasangan itu, yang adalah kami berdua, hanya sempat mengucapkan terimakasih sebelum dia mengilang di kegelapan malam. Malaikat itu Tuhan kirimkan saat kami membutuhkan.

A test of Love

Alkisah, pada jaman raksasa masih hidup di muka bumi, tinggallah Baba Ayub dan keluarganya di sebuah desa miskin, kering dan terpencil. Tumbuhan dan pohon buah-buahan pun enggan hidup. Kondisi desa ini jauh dari makna dua kata yang merangkainya, Maidan Sabz, yang berarti “field of green”. Sumur-sumur mengering, kalaupun ada, kedalamannya akan cukup membuat siapapun yang menimbanya, mengeluh kelelahan. Sungai, ya sungai juga ada, namun penduduk desa harus berjalan hampir setengah jam untuk mencapainya. Itupun dengan kondisi air yang, sepanjang tahun, keruh bercampur lumpur.
Namun, sedemikian keras dan beratnya hidup di Maidan Sabz, terlebih lagi setelah 10 tahun berturut-turut kekeringan yang melanda desa ini, Baba Ayub masih menyebut dirinya sebagai manusia yang cukup berutung. Istri, tiga anak laki-laki dan dua anak perempuannya lah yang menjadi penghibur di atas segala cobaan dan deraan yang harus ditanggungnya. Tak sedikitpun Baba Ayub mengeluh.

Baba Ayub menyayangi kelima anaknya tanpa terkecuali, namun hatinya selalu jatuh pada si bungsu Qais, bocah 3 tahun bermata biru tua yang selalu menjadi darling bagi siapapun yang melihatnya. Bocah yang selalu ceria, berenergi dan menghabiskan energi siapapun yang didekatnya. Kala Qais belajar berjalan, dia membuat semua orang kuatir. Bagaimana tidak, kakinya akan selalu bergerak siang dan malam, bahkan kala tidurpun, seringkali tak tersadar, dengan mata terpejam dia keluar rumah. Sinar rembulan menjadi saksi keunikan bocah ini. Semua orang berusaha mencari penyembuhan untuk Qais, namun Baba Ayub punya rencana lain. Diambilnya salah satu lonceng dari leher kambingnya dan dikalungkannya ke leher Qais. Sekarang, kala bunyi lonceng mulai bergemerincing di tengah malam, Baba Ayub akan segara terjaga. Qais selalu menjadi sumber kerinduan Baba Ayub. Kala Baba Ayub menginjakkan rumah, setelah seharian bekerja, Qais dengan langkah kecilnya akan berlarian menyambut Baba Ayub, memeluknya, memperhatikan ayahnya membersihkan badannya, dan kemudian duduk disampingnya hingga saat makan malam tiba. Kala makan usai, Baba Ayub akan menyeruput segelas teh-nya. Dengan bahagia, dia memandangi satu persatu anggota keluarganya, sambil membayangkan, kelak, ketika satu persatu anaknya menikah dan memberinya cucu, kerajaan kecilnya akan terbangun. Sungguh, Baba Ayub bersyukur atas segala anugerah ini.

Demikian, hari demi hari berlalu … hingga suatu hari, kebahagiaan itu lenyap.

Seorang raksasa turun dari gunung ke arah Maidan Sabz. Bumipun menggelegar di setiap pijakannya. Penduduk segera berhamburan, berlarian menuju rumah dan menguncinya. Maidan Sabz segera menggelap, tertutup bayang-bayang besar, tubuh raksasa. Konon mata raksasa ini merah menyala. Namun tak seorangpun bisa meyakinkan hal itu. Karena siapapun yang kedapatan memandang mata sang raksasa, dia tak kan segan-segan memakannya. Warga desa hanya bisa terdiam dan tertunduk, menghindari tatapan langsung sang raksasa. Setiap warga berdoa, agar raksasa segera hengkang tanpa sempat mengetuk atap rumahnya. Karena setiap ketukan berarti malapetaka bagi keluarganya. Keluarga malang ini harus menyerahkan salah satu anaknya, atau sang raksasa akan merampas seluruhnya. Sungguh pilihan sulit bagi semua orang tua. Raksasa akan memasukkan bocah tak beruntung ini ke dalam karung dan membawanya pergi ke balik pegunungan ke tempat yang tak seorang pun berani menapakkan kakinya.

Tentu kamu sudah menduga, hari itu sang raksasa mengetuk atap rumah Baba Ayub. Istrinya tak kuasa memilih salah satu dari kelima anaknya yang harus dikorbankan. Tinggalah kini, Baba Ayub dengan segala pergumulan hebat dalam hatinya. Dan … kamu tentu juga sudah bisa menduga, siapa yang akhirnya dia serahkan pada sang raksasa. Qais. Bocah kecil itu, permata hatinya.

Sejak hari itu, hidup tak lagi sama. Baba Ayub berubah menjadi pemurung. Setiap hari, dia hanya terduduk diam, meratap, menyesali yang telah terjadi. Beberapa tahun berlalu, Maidan Sabz seolah menjadi refleksi hidup Baba Ayub. Semakin kering, semakin memburuk. Ternak, anak-anak, banyak yang mati kelaparan. Tapi Baba Ayub tak bergeming, pandangannya tetap mengarah pada bukit tempat sang raksasa membawa buah hatinya. Hingga suatu hari, dia memutuskan suatu hal yang sangat berani, yang tak seorangpun pernah ingin atau bahkan berpikir untuk melakukannya. Dia berjalan menyusuri perbukitan dengan tekad membawa Qais kembali. Perjalanan yang tak mudah. Mereka yang berpapasan dengan Baba Ayub menganggabnya sudah tidak waras lagi. Namun perjalanan berhari-hari itupun membuahkan hasil. Sampailah ia di depan pintu gerbang raksasa yang kokoh. Suara raksasa segera menggelegar tatkala Baba ayub melemparkan batu ke arah pintu gerbang. Sang raksasa marah dan mengancam akan membunuh Baba Ayub. Namun tak sedikitpun dia gentar. Bagi Baba Ayub, dirinya sudah mati tatkala raksasa merengut Qais dari hidupnya.

Sang raksasa segera meninggalkannya dan berjalan menyusuri lorong besar. Namun, tetap Baba Ayub mengikutinya dengan kesabaran yang mulai menipis. Dia terus mengikuti raksasa ini hingga berhenti di sebuah ruangan besar yang diujungnya ada sebuah tirai raksasa. Melihat keteguhan hatinya, sang raksasa memerintahkan Baba Ayub untuk mendekat, segara dibukanya tirai ini. Dari balik jendela kaca, tampaklah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Sebuah taman elok nan hijau dengan bunga beraneka warna, teras marmer yang indah dan kolam dengan air mancur yang menawan. Dan di dalamnya, anak-anak kecil berlarian gembira. Mereka tampak sehat dan bahagia. Seketika tampak di mata Baba Ayub, Qais, yang telah tumbuh dewasa, rambutnya sedikit lebih panjang dari pada Qais yang hidup dalam ingatan Baba Ayub. Baba Ayub mulai berteriak-teriak, melambai-lambai, memanggil Qais, namun tentu saja Qais tak bisa mendengarnya pun melihat keberadaannya. Beberapa saat …hingga sang raksasa menutup tirai itu dan berkata kepada Baba Ayub, bahwa ini semua adalah cobaan akan perasaan cintanya. Baba Ayub tidak mengerti sedikitpun maksud sang raksasa, yang dia tau, dia ingin membawa Qais pulang. Sang raksasa berkata bahwa Qais tidak mengenal Baba Ayub. Dia menujukkan kepada Baba Ayub bahwa di tempat itu, Qais memperoleh segala yang terbaik yang tak pernah dia dapatkan: makanan, pakaian, pendidikan, persahabatan dan kebahagiaan… yang selama ini menjadi sebuah luxury tak mampu Baba Ayub beli.

Sang raksasa segera menyodorkan jam pasir dan meletakkannya di kaki Baba Ayub seraya berkata, “Aku akan memperbolehkanmu membawanya pulang, tapi kalau itu pilihanmu, Qais tak kan pernah lagi bisa kembali ke tempat ini. Namun kalau kau memilih sebaliknya, kamu tak kan pernah lagi bisa menapakkan kakimu di sini. Dan ketika jam pasir itu telah habis tertumpah, kamu harus memutuskan”. Sekali lagi, Baba Ayub harus membuat pilihan yang sangat sulit dan menyakitkan.

Dear … dalam hidup, seringkali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, antara mempertahankan seseorang yang kita sayangi demi memuaskan keinginan kita untuk memiliki dan bersamanya selalu, atau melepaskannya dengan hati yang hancur, demi sebuah kesempatan yang jauh lebih berharga, yang mungkin tak pernah bisa kita tawarkan. Andaipun pilihan ini kau tanyakan padaku …to be honest … ini keputusan yang tidak mudah.

Dan Baba Ayub memilih untuk melepaskan Qais, buah hatinya, penyemangat hidupnya, demi sebuah kesempatan hidup yang jauh lebih baik, yang tak bisa dia tawarkan. Baba Ayub telah membuat keputusan besar bagi hidupnya, bagi hidup Qais. Sebelum melangkah pergi, raksasa itu memberinya botol kecil berisi cairan pekat. Baba Ayub pun pulang ke Maidan Sabz. Dan di sepanjang jalan, sesuai perintah sang raksasa, Baba Ayub meminum cairan itu. Sesampainya di Maidan Sabz, semua orang menjadi heran karena Baba Ayub tak pernah bisa menceritakan apa yang telah terjadi padanya dalam beberapa hari ini. Dia tak ingat lagi sorga hijau nan indah, tempat Qais bersama teman-temannya berlarian. Bahkan, dia tidak lagi ingat ada satu nama indah yang pernah mengisi hari-harinya. Kamu tau apa yang terjadi? Cairan itu telah menghapus semua kenangan Baba Ayub tentang Qais.

*cerita di atas disadur dari dongeng Sang Ayah kepada Abdullah dan Pari dalam buku “And the mountains echoed”.

Demi Kaum Miaow

cat stories
cat stories

Hidup ini berjalan dengan cukup ajaib. Seorang teman bercerita, upayanya untuk membuang kucing betina di rumahnya menemui kegagalan, untuk kedua kalinya. Bahkan upaya terakhir diwarnai dengan perang bathin sang kucing hingga membuahkan cakaran-cakaran maut di tubuh temanku. Si kucing betina kembali dan temanku pun kecewa. Tak hanya dia yang kecewa, aku lebih lagi, sedih memikirkan nasib kucing itu. Btw, am a cat person and I love cats.

Tapi… seperti kataku di awal. Hidup ini berjalan dengan cukup ajaib. Di saat yang bersamaan, seorang sahabat tiba-tiba mengirimkan sebuah gambar, koleksi novel “cat stories” nya, karya James Herriot dalam empat bahasa. Ada satu buku yang hampir tak kukenali bahasanya karena cover bukunya menggunakan judul dalam bahasa Inggris. Sahabatku segera nyeletuk “yang satu itu memang tidak punya kepribadian”. Hahah, kami merujuk pada buku terbitan gramedia yang masih memberi judul “cat stories” ketimbang “Kisah-kisah Kitty” atau “Kisah-kisah Kucing”, apapun judulnya yang penting triple K :D. Sahabatku berseloroh bahwa judul dalam bahasa Indonesia terserah aku.”Demi Kaum Miaow dan demi kucing yang adil dan beradab”, katanya. Malam itu, aku terkekeh sendiri. Apalagi setelah teringat kembali kisah sahabatku beberapa tahun lalu tentang celebrity cat di Ginza yang fotonya dia kirimkan lagi padaku malam itu.

Lihat, hidup ini memang penuh keajaiban. Sesaat kesedihan itu berubah menjadi keceriaan.

Jadi… kucingpun punya hak. Biarkan dia pergi dengan sendirinya. Jangan beri insentif untuk kuncing itu betah di rumah, kalau memang kamu tidak menghendaki kucing itu tinggal. Ini semua demi keadilan sosial bagi seluruh kucing Indonesia. Salam miaow.

Ketika Isaiah bertemu Anna

Rasanya cukup kontradiktif, satu indera membaca tentang kisah cinta satu malam Isaiah Berlin dan Anna Akhmatova sedangkan indera lain mendengarkan lagu Beatles “long and winding road” dalam waktu yang bersamaan. Satu indera memberiku impresi bahwa cinta bisa terbangun dalam tempo sesaat, sedangkan indera lain memberiku kesan bahwa cinta itu tak mudah, harus melalui jalan terjal panjang nan berliku. At the end otakku memilih cara termudah dan cenderung abu-abu. It depends on how … on who … when… where. Tak ada yang absolut, seperti hitam dan putih.
Sebuah artikel di New York Times membuatku teringat kembali kisah cinta Celine-Jesse dan percakapan percakapan mereka sepanjang malam di Vienna. Kisah cinta semalam juga terjadi pada Isaiah Berlin dan Anna Akhmatova , justru jauh sebelum ide percakapan Celine dan Jesse terlahir.
Kala itu, tahun 1945 di Leningrad, Isaiah, filsuf sekaligus historian Inggris kelahiran Rusia, menghabiskan malam bersama seorang teman, yang tiba-tiba menawarkan apakah dia mau bertemu dengan Anna Akhmatova seorang modernis poet asal Rusia.
Tak ada yang istimewa dengan Anna, selain hidupnya yang menurutku cukup menyedihkan di jaman Stalin. Bagaimana tidak, dijaman itu kebebasannya terengut. Karya-karyanya dikerdilkan, bahkan mempublikasikan puisi karyanya adalah suatu hal yang tak mudah. Bekas suaminya, Nikolai Gumilev tewas di tangan polisi rahasia Soviet, anaknya Lev Gumilev ditahan beberapa kali, sedangkan partnernya Punin meninggal pada masa tahanan di Guleg. Bahkan pertemuan dengan Isaiah Berlin sang western liberalist, di apartemennya di Leningrad pada tahun 1945 membuahkan banyak masalah. Karyanya dilarang untuk dipublikasikan di beberapa jurnal. Tuduhan bahwa dia meracuni kaum muda Soviet juga tak terelakkan. Anna bisa digambarkan sebagai sosok liberalis yang berada pada tempat dan waktu yang tidak tepat. Stalinism mengekang segala yang berbau kebebasan.
Pertemuan Anna dan Isaiah bak pertemuan pemikiran dan idealisme yang lama terkungkung dalam belenggu tirani dan menunggu waktu untuk meledak. Bisa dibayangkan, malam itu percakapan dua manusia yang tak pernah bertemu sebelumnya, menjadi moment supernova. Letupan yang tertahan berpuluh puluh tahun yang melahirkan bauran warna meriah dan indah.
Di awal percapakan, mereka dibatasi oleh orang-orang sekeliling mereka. Topikpun tak jauh dari permasalahan perang dan kampus- kampus di Inggris. Menjelang tengah malam, kala pengungjung satu persatu pergi, Anna mulai berkisah tentang masa kanak-kanaknya, tentang pernikahannya, tentang eksekusi mantan suaminya. Selanjutnya, dengan penuh semangat Anna bercerita tentang Don Juan, sebuah epic satire karya Lord Byron, saking semangatnya hingga membuat Isaiah beberapa kali memandang ke jendela untuk menyembunyikan emosinya. Anna kemudian mengisahkan tentang beberapa pusinya yang berakhir pada eksekusi salah seorang koleganya oleh penguasa Soviet.
Percakapan ini tak berakhir hingga pukul 4 pagi, kala mereka dengan passion-nya mengungkapkan kesamaan pandangannya tentang Pushkin dan Chekhov. Isaiah memuji kecerdasan Turgenev sementara Anna lebih menyukai niatan licik dari Dostoyevsky. Percakapan mereka semakin dalam tentang art dan literatur-literatur dunia, tentang kesepian mereka… They shared many things, ideas souls… Pengetahuan pun pandangan Anna dan Isaiah tak sekedar beririsan namun hampir sepadan dan sebangun. Tiba-tiba saja, masing-masing merasa saling memahami kerinduannya. Isaiah akhirnya meninggalkan apartemen itu dan kembali ke hotelnya. Siang itu pukul 11 pagi, Isaiah bergumam dalam hatinya, berkali-kali, “I am in love… I am in love … I am in love…”.
Dari puisi karya Anna tentang percakapan di malam itu, kita seolah mendapat impresi bahwa mereka berakhir di tempat tidur. Tapi menurutku itu tidak penting. Yang cukup menarik di sini adalah seberapa banyak di antara kita yang “move” hanya dengan percakapan-percakapan berkelas sebagaimana terjadi pada Anna dan Isaiah? Di jaman modern seperti saat ini, di kala segala informasi dengan sangat mudah kita dapatkan, banyak hal yang dapat kita pilih sebagai topik bahasan. Lalu seberapa banyak di antara kita yang hingga kini masih memperbincangkan art dan literatur-literatur dunia dengan passion yang sama seperti mereka berdua, dan lalu membawa mereka pada cinta yang menurutku sangat indah? Pernahkan kita merasakan cinta seperti yang mereka alami di suatu malam, di tahun 1945, di Leningrad? Pernahkah? Aku? …. setidaknya aku pernah bermimpi.

Sendiri bersama Sergei


Rasanya vira menangkap firasatku. Selayaknya vira, kala hati tak mau berkompromi, ingin rasanya semua manusia manusia ini pergi, biar aku tertinggal sendiri. Dan komposisi ini akan menemani, menelisir jauh ke dalam sel sel hati dan tak sadar mood swing telah teraktivasi. Ruanganku serasa menggelap dan Vocalise .Op. 34 No. 14-pun menyesap.

… Sebab itu aku selalu mendoakanmu

In my prayers this morning you became the sky which through the entire night did not close its eyes, a clear expanse ready to receive the first light, a curve of silence in wait of sound

As the sun drifted above my head, you became in my prayers the tips of pines, eternally green and forever presenting abstruse questions to the wind that hisses from directions unknown

In my prayers at dusk you became the sparrow that fluffed its feathers in the mist, alighted on the branch and felled the tassel of the guava flowers and then in sudden excitement flew away to alight on the mango branch

In my prayers this evening you became the distant wind that descended ever so slowly, tiptoed down the path and slipped through the cracks of the panes and door to press its cheeks and lips against my hair, chin and eyelashes

In my prayers tonight you became the beating of my heart that has so patiently endured what seems to be limitless pain and faithfully revealed one secret after another, the unending song of my life

I love you, and for that reason, will never stop praying for your well-being

— Musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono “Dalam Doaku”, composed by Ananda Sukarlan —

Ketika stroke menghancurkan hati kami

“Lebih baik mencegah dari pada mengobati”, seperti ungkapan klise, ketika mengetahui Papa terserang stroke. Terlambat. Terlambat sudah. Seharusnya ini bisa dihindari. Karena statistik menyebutkan bahwa stroke dapat dicegah pada hampir 85% orang. Kita hanya perlu memahami dan mengendalikan faktor risiko pribadi.

Minggu sore itu, tak biasanya kepalaku pusing, perasaan tidak enak tanpa sebab menyerangku. Tidak. Kurasa tidak sore itu saja, seminggu sebelumnya perasaan galau memburuku, tatkala melihat kiriman foto dari adekku, yang tersenyum diapit Papa dan Mama yang tampak tak mau kalah menarik, ikutan memberikan senyumnya yang terbaik. Namun tunggu sebentar…, ada yang aneh dengan senyum itu. Tak biasanya mukanya seperti itu, seperti tertarik ke atas. Aku terus berpikir, sedemikian cepatkah waktu berlalu sehingga kini Papa tampak tua dan layu. Aku sempat menghibur diri, dan menganggap bahwa dia sedang memaksakan sebuah senyuman.

Seharusnyalah aku mengetahui tanda-tanda itu sedari awal. Sehingga upaya pencegahan dapat segera diputuskan. Ternyata, aku sama halnya dengan mereka semua, yang memahami ketika semuanya sudah terjadi.

Ketika sebuah pesan singkat menyebutkan bahwa papa terserang stoke, aku limbung dan bingung. Kisah kisah penderita stroke yang banyak ditulis orang di internet, seolah menjadi penghibur. Memberi kekuatan bahwa ini bukan akhir  dari segalanya.  Benarlah apa yang tertulis pada kalimat pertama, di sebuah buku karya dr Valery Feigin,Ph.D yang  menyebutkan bahwa stoke menimbukan beban yang sangat besar bagi para pengidapnya, keluarga dan orang yang merawatnya.

Andai aku membaca buku ini jauh sebelum aku menerima foto kiriman adekku tadi, mungkin ceritanya tak kan begini.  Namun inilah manusia, yang tak kan pernah mampu menghindari kehendak yang Kuasa.

Aku sangat sadar bahwa otak adalah organ vital yang bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual. Dan aku sadar betul bahwa otak sangat bergantung pada pasokan darahnya. Terhentinya pasokan ini, dalam 7-10 detik saja dapat berakibat fatal. Karenanya bagi pasien yang terserang stroke, waktu menjadi penentu. Dalam jangka waktu tak lebih dari 3 jam setelah serangan, pasien harus sudah mendapatkan perawatan medis. Untuk itu, menyimpan nomor telepon rumah sakit yang memiliki unit stroke, menjadi sangat penting.

Buku setebal  221 halaman ini mengulas jelas masalah stroke, terutama bagi kaum awam yang seringkali dipusingkan dengan istilah istilah kedokteran yang susah dimengerti. Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke ini sangatlah bermanfaat, apalagi dengan semakin banyaknya kasus ini terjadi akhir-akhir ini.

Buku  ini menjawab banyak tanda tanya besar di kepalaku, terutama tentang seberapa besar peluang bagi pasien untuk pulih kembali, apa saja terapi yang tersedia, adakah strategi pengobatan yang lain, seberapa besar kemungkinan mengalami stroke kembali.

Tak hanya itu, tindakan preventifpun secara lugas dibahas. Memahami faktor risiko stroke menjadi kunci. Tak lebih dari 24 fakto risiko yang diungkap di buku ini, antara lain seperti hipertensi, kadar kolesterol yang tinggi, aterosklerosis (pengerasan arteri) dan stenosis (penyempitan) sebagai dampak melekatnya kolesterol “jahat” yang menumpuk sebagai plak arteri, diabetes, hingga faktor riwayat keluarga dan genetika. Buku ini mengingatkanku kembali  bahwa kolesterol “baik” (HDL) justru membawa kolesterol “jahat” (LDL) menjauhi arteri, sehingga faktor risiko aterosklerosis dan stenosis dapat diminimalkan. Faktor risiko lain yang sempat mengagetkanku adalah mendengkur yang disertai apnea tidur (periode tidak bernafas berkala yang berlangsung lebih dari sepuluh detik).

Lalu bagaimana mengenali tanda tanda awal? Pesan berantai yang kuterima dua minggu lalu menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga cara “STR” untuk mengenali gejala awal stroke. Smile, mintalah penderita untuk tersenyum, apabila pipinya miring maka telah ada kelumpuhan saraf. Sebuah tanda yang sangat jelas. Seharusnya aku mengetahui ini segera setelah melihat keanehan pada foto kiriman adekku, sehingga obat penurun kolesterol dan tekanan darah akan membuat papaku terhindar dari serangan stroke.  Talk, mintalah orang tersebut untuk berbicara kalimat singkat, apabila terdengar pelo, ini adalah gejala stroke. Raise both arms, mintalah agar orang tersebut mengangkat kedua tangannya, kalau tidak bisa, ini pertanda bahwa kelumpuhan mulai menyerang.

Gejala awal juga dijelaskan di buku ini. Seperti, rasa baal  dan hilangnya kekuatan, terutama apabila terjadi  pada salah satu sisi tubuh, hilangnya penglihatan total atau parsial di salah satu sisi tubuh, tak mampu berbicara dengan benar, serta hilangnya keseimbangan.

Seberapa mematikankah stroke? Buku ini menjelaskan bahwa sebagian stroke bersifat fatal, sedangkan sebagian lain menyebabkan cacat tetap atau sementara. Risiko kematian akan semakin kecil, seiring semakin lamanya waktu berlalu akibat stroke. Risiko kematian terbesar adalah pada tiga hari pertama. Bagi mereka yang bertahan hingga satu tahun, risiko kematian semakin kecil.

Kemudian, seberapa besar kemungkinan pasien mengalami serangan stoke lagi? Kemungkinan ini sangat tergantung pada jenis stroke awal, usia pasien, dan penyakit yang menjadi faktor risiko stroke. Dampak terbesar stroke berulang biasanya terjadi pada 6 hingga 12 bulan setelah stroke sebelumnya. Namun sebagian besar stroke kedua terjadi dalam kurun waktu lima tahun pertama. Lalu bagaimana mengurangi kemungkinan terserang stroke untuk kedua kalinya, yg konon lebih mematikan? Tentu pengelolaan terhadap faktor risiko dan gaya hidup yang harus berubah. Papaku tak lagi makan garam dan goreng- gorengan. Faktor risiko kolesterol dan tekanan darah yang tinggi ditekan sedemikian rupa. Pada banyak kasus pemberian obat khusus serta pembedahanpun dilakukan. Obat anti pembekuan darah/antitrombosit seperti aspirin, dipiridamol dan klopidogen lazim diberikan bagi pasien guna menghindari berulangnya serangan stroke.

Lalu seberapa besar peluang untuk pulih? Dr Feigin menjawab bahwa pemulihan stroke adalah sebuah proses yang cukup panjang. Namun sebagian besar, pemulihan terjadi pada 2-3 tahun pertama, terutama pada 2-6 bulan pertama.  Papaku mulai menggerakkan tangan kanannya pada minggu kedua setelah serangan stroke. Meskipun gerakan itu sangat lemah, tak ayal sempat membuatku menangis haru tatkala sebuah video singkat dikirimkan adekku melalui perangkat selularnya.  Tiga minggu pertama, kursi roda menjadi tumpuan utamanya. Sebulan sesudahnya Papa mulai berlatih berjalan sendiri, dengan bantuan tongkat berkaki tiga. Tiga minggu yang lalu, kulihat dalam video singkat dia telah mampu berjalan sendiri. Meskipun terlihat sangat lambat dan melelahkan, setidaknya memberinya semangat bahwa fungsi otak yang telah rusak, sedikit demi sedikit tergantikan. Di rumah sakit sempat kubaca bahwa fungsi otak pasien yang rusak akibat terputusnya aliran darah ke otak, akan digantikan oleh sel-sel otak yang baru. Sel-sel baru ini seperti bayi yang baru lahir, yang perlu dilatih untuk menjalankan fungsi-fungsi yang hilang, seperti ketidakmampuan berjalan dan menggerakkan tangan dan jari-jari pun ketidakmampuan berbicara.  Karenanya terapi paska serangangan stroke menjadi sangat penting.  Seperti tertulis dalam buku ini, bahwa janji perbaikan dan penyembuhan yang cepat akan terdengar sangat indah bagi mereka yang baru mengalami serangan stroke dan keluarganya. Tapi, realistis saja, penyembuhan ini butuh waktu dan kesabaran. Hingga hari ini, Papa masih menjalani fisio terapi dengan sabar. Sesekali dia pergi ke ahli akupunktur. Dalam buku ini disebutkan bahwa  akupunktur, jamu, pijat, homeopati ( metode penyembuhan secara holistik), disarankan agar digunakan sebagai terapi pelengkap saja, bukan alternatif utama penyembuhan.

Semoga dengan tulisan ini, aku dapat berbagi kekuatan dengan mereka, keluarga para penderita stroke. Dan semoga kisah ini menjadi pembelajaran bagi  siapapun yang pernah singgah dan membaca tulisan ini.

For you who bring me new tomorrows

This song is about a bride,who’s walking down the isle. She remembers the past but has stories for futures. The song was originally performed by Lea Salonga who happens to be one of my favorite singers.

If I were to live a hundred years, I would sing the song which I planned to sing for him exactly a year ago at the church, just the same a hundred years from now, word for word.

Two Words (I do)                     by Lea Salonga

In a while, in a word,
Every moment now returns.
For a while, seen or heard,
How each memory softly burns.
Facing you who brings me new tomorrows,
I thank God for yesterdays,
How they led me to this very hour,
How they led me to this place…

Every touch, every smile,
You have given me in care.
Keep in heart, always I’ll,
Now be treasuring everywhere.
And if life should come to just one question,
Do I hold this moment true?
No trace of sadness,
Always with gladness…
‘I DO…’

Now a song that speaks of now and ever,
Beckons me to someone new,
Unexpected, unexplored, unseen,
Filled with promise coming through.

In a while, in a word,
You and I forever change,
Love so clear, never blurred,
Has me feeling wondrous, strange,
And if life should come to just one question,
Do I face each moment true?
No trace of sadness, always with gladness,
‘I DO…’

Never with sadness…
Always with gladness…
‘I…DO….’