Alkisah, pada jaman raksasa masih hidup di muka bumi, tinggallah Baba Ayub dan keluarganya di sebuah desa miskin, kering dan terpencil. Tumbuhan dan pohon buah-buahan pun enggan hidup. Kondisi desa ini jauh dari makna dua kata yang merangkainya, Maidan Sabz, yang berarti “field of green”. Sumur-sumur mengering, kalaupun ada, kedalamannya akan cukup membuat siapapun yang menimbanya, mengeluh kelelahan. Sungai, ya sungai juga ada, namun penduduk desa harus berjalan hampir setengah jam untuk mencapainya. Itupun dengan kondisi air yang, sepanjang tahun, keruh bercampur lumpur.
Namun, sedemikian keras dan beratnya hidup di Maidan Sabz, terlebih lagi setelah 10 tahun berturut-turut kekeringan yang melanda desa ini, Baba Ayub masih menyebut dirinya sebagai manusia yang cukup berutung. Istri, tiga anak laki-laki dan dua anak perempuannya lah yang menjadi penghibur di atas segala cobaan dan deraan yang harus ditanggungnya. Tak sedikitpun Baba Ayub mengeluh.
Baba Ayub menyayangi kelima anaknya tanpa terkecuali, namun hatinya selalu jatuh pada si bungsu Qais, bocah 3 tahun bermata biru tua yang selalu menjadi darling bagi siapapun yang melihatnya. Bocah yang selalu ceria, berenergi dan menghabiskan energi siapapun yang didekatnya. Kala Qais belajar berjalan, dia membuat semua orang kuatir. Bagaimana tidak, kakinya akan selalu bergerak siang dan malam, bahkan kala tidurpun, seringkali tak tersadar, dengan mata terpejam dia keluar rumah. Sinar rembulan menjadi saksi keunikan bocah ini. Semua orang berusaha mencari penyembuhan untuk Qais, namun Baba Ayub punya rencana lain. Diambilnya salah satu lonceng dari leher kambingnya dan dikalungkannya ke leher Qais. Sekarang, kala bunyi lonceng mulai bergemerincing di tengah malam, Baba Ayub akan segara terjaga. Qais selalu menjadi sumber kerinduan Baba Ayub. Kala Baba Ayub menginjakkan rumah, setelah seharian bekerja, Qais dengan langkah kecilnya akan berlarian menyambut Baba Ayub, memeluknya, memperhatikan ayahnya membersihkan badannya, dan kemudian duduk disampingnya hingga saat makan malam tiba. Kala makan usai, Baba Ayub akan menyeruput segelas teh-nya. Dengan bahagia, dia memandangi satu persatu anggota keluarganya, sambil membayangkan, kelak, ketika satu persatu anaknya menikah dan memberinya cucu, kerajaan kecilnya akan terbangun. Sungguh, Baba Ayub bersyukur atas segala anugerah ini.
Demikian, hari demi hari berlalu … hingga suatu hari, kebahagiaan itu lenyap.
Seorang raksasa turun dari gunung ke arah Maidan Sabz. Bumipun menggelegar di setiap pijakannya. Penduduk segera berhamburan, berlarian menuju rumah dan menguncinya. Maidan Sabz segera menggelap, tertutup bayang-bayang besar, tubuh raksasa. Konon mata raksasa ini merah menyala. Namun tak seorangpun bisa meyakinkan hal itu. Karena siapapun yang kedapatan memandang mata sang raksasa, dia tak kan segan-segan memakannya. Warga desa hanya bisa terdiam dan tertunduk, menghindari tatapan langsung sang raksasa. Setiap warga berdoa, agar raksasa segera hengkang tanpa sempat mengetuk atap rumahnya. Karena setiap ketukan berarti malapetaka bagi keluarganya. Keluarga malang ini harus menyerahkan salah satu anaknya, atau sang raksasa akan merampas seluruhnya. Sungguh pilihan sulit bagi semua orang tua. Raksasa akan memasukkan bocah tak beruntung ini ke dalam karung dan membawanya pergi ke balik pegunungan ke tempat yang tak seorang pun berani menapakkan kakinya.
Tentu kamu sudah menduga, hari itu sang raksasa mengetuk atap rumah Baba Ayub. Istrinya tak kuasa memilih salah satu dari kelima anaknya yang harus dikorbankan. Tinggalah kini, Baba Ayub dengan segala pergumulan hebat dalam hatinya. Dan … kamu tentu juga sudah bisa menduga, siapa yang akhirnya dia serahkan pada sang raksasa. Qais. Bocah kecil itu, permata hatinya.
Sejak hari itu, hidup tak lagi sama. Baba Ayub berubah menjadi pemurung. Setiap hari, dia hanya terduduk diam, meratap, menyesali yang telah terjadi. Beberapa tahun berlalu, Maidan Sabz seolah menjadi refleksi hidup Baba Ayub. Semakin kering, semakin memburuk. Ternak, anak-anak, banyak yang mati kelaparan. Tapi Baba Ayub tak bergeming, pandangannya tetap mengarah pada bukit tempat sang raksasa membawa buah hatinya. Hingga suatu hari, dia memutuskan suatu hal yang sangat berani, yang tak seorangpun pernah ingin atau bahkan berpikir untuk melakukannya. Dia berjalan menyusuri perbukitan dengan tekad membawa Qais kembali. Perjalanan yang tak mudah. Mereka yang berpapasan dengan Baba Ayub menganggabnya sudah tidak waras lagi. Namun perjalanan berhari-hari itupun membuahkan hasil. Sampailah ia di depan pintu gerbang raksasa yang kokoh. Suara raksasa segera menggelegar tatkala Baba ayub melemparkan batu ke arah pintu gerbang. Sang raksasa marah dan mengancam akan membunuh Baba Ayub. Namun tak sedikitpun dia gentar. Bagi Baba Ayub, dirinya sudah mati tatkala raksasa merengut Qais dari hidupnya.
Sang raksasa segera meninggalkannya dan berjalan menyusuri lorong besar. Namun, tetap Baba Ayub mengikutinya dengan kesabaran yang mulai menipis. Dia terus mengikuti raksasa ini hingga berhenti di sebuah ruangan besar yang diujungnya ada sebuah tirai raksasa. Melihat keteguhan hatinya, sang raksasa memerintahkan Baba Ayub untuk mendekat, segara dibukanya tirai ini. Dari balik jendela kaca, tampaklah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Sebuah taman elok nan hijau dengan bunga beraneka warna, teras marmer yang indah dan kolam dengan air mancur yang menawan. Dan di dalamnya, anak-anak kecil berlarian gembira. Mereka tampak sehat dan bahagia. Seketika tampak di mata Baba Ayub, Qais, yang telah tumbuh dewasa, rambutnya sedikit lebih panjang dari pada Qais yang hidup dalam ingatan Baba Ayub. Baba Ayub mulai berteriak-teriak, melambai-lambai, memanggil Qais, namun tentu saja Qais tak bisa mendengarnya pun melihat keberadaannya. Beberapa saat …hingga sang raksasa menutup tirai itu dan berkata kepada Baba Ayub, bahwa ini semua adalah cobaan akan perasaan cintanya. Baba Ayub tidak mengerti sedikitpun maksud sang raksasa, yang dia tau, dia ingin membawa Qais pulang. Sang raksasa berkata bahwa Qais tidak mengenal Baba Ayub. Dia menujukkan kepada Baba Ayub bahwa di tempat itu, Qais memperoleh segala yang terbaik yang tak pernah dia dapatkan: makanan, pakaian, pendidikan, persahabatan dan kebahagiaan… yang selama ini menjadi sebuah luxury tak mampu Baba Ayub beli.
Sang raksasa segera menyodorkan jam pasir dan meletakkannya di kaki Baba Ayub seraya berkata, “Aku akan memperbolehkanmu membawanya pulang, tapi kalau itu pilihanmu, Qais tak kan pernah lagi bisa kembali ke tempat ini. Namun kalau kau memilih sebaliknya, kamu tak kan pernah lagi bisa menapakkan kakimu di sini. Dan ketika jam pasir itu telah habis tertumpah, kamu harus memutuskan”. Sekali lagi, Baba Ayub harus membuat pilihan yang sangat sulit dan menyakitkan.
Dear … dalam hidup, seringkali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, antara mempertahankan seseorang yang kita sayangi demi memuaskan keinginan kita untuk memiliki dan bersamanya selalu, atau melepaskannya dengan hati yang hancur, demi sebuah kesempatan yang jauh lebih berharga, yang mungkin tak pernah bisa kita tawarkan. Andaipun pilihan ini kau tanyakan padaku …to be honest … ini keputusan yang tidak mudah.
Dan Baba Ayub memilih untuk melepaskan Qais, buah hatinya, penyemangat hidupnya, demi sebuah kesempatan hidup yang jauh lebih baik, yang tak bisa dia tawarkan. Baba Ayub telah membuat keputusan besar bagi hidupnya, bagi hidup Qais. Sebelum melangkah pergi, raksasa itu memberinya botol kecil berisi cairan pekat. Baba Ayub pun pulang ke Maidan Sabz. Dan di sepanjang jalan, sesuai perintah sang raksasa, Baba Ayub meminum cairan itu. Sesampainya di Maidan Sabz, semua orang menjadi heran karena Baba Ayub tak pernah bisa menceritakan apa yang telah terjadi padanya dalam beberapa hari ini. Dia tak ingat lagi sorga hijau nan indah, tempat Qais bersama teman-temannya berlarian. Bahkan, dia tidak lagi ingat ada satu nama indah yang pernah mengisi hari-harinya. Kamu tau apa yang terjadi? Cairan itu telah menghapus semua kenangan Baba Ayub tentang Qais.
*cerita di atas disadur dari dongeng Sang Ayah kepada Abdullah dan Pari dalam buku “And the mountains echoed”.