Cost and Risk Tradeoff

Beberapa hari lalu ketika kami sedang sibuk membahas kata-kata “menurunkan biaya dan menurunkan resiko” dalam hal pinjaman luar negeri pemerintah, aku duluan protes dengan dasar filosofi cost risk trade off. Cost atau risk adalah pilihan. Idealnya adalah costnya rendah dan risknyapun rendah. Oh indahnya dunia kalau itu memang boleh terjadi. Nyatanya mereka berbanding terbalik. Jadi yang bisa kita capai adalah menurunkan cost pada tingkat resiko yang bisa kita tolerir, atau sebaliknya.

Demikian pula hidup kita. Kita ingin hidup kita berwarna, biayanya, kita harus mencoba tantangan-tantangan baru. Tapi resikonya adalah turunnya tingkat kenyamanan kita karena pattern hidup yang harus berubah. Karenanya kita perlu mengira-ngira sampai tahap mana kita bisa mengatasi ketidaknyamanan ini. Insting kita akan membawa kita menilik ketidaknyamanan apa saja yang kira-kira bisa terjadi. Lalu kita mulai menimbang-nimbang apakah kita mampu menghadapi ketidaknyamanan itu. kalau jawabannya adalah ya, kita akan mencoba tantangan itu. Taukah kamu, opportunity bahwa hidup kita akan lebih menarik, tidak membosankan … more challenging, sudah siap diujung jalan.

Saat aku masih di Birmingham, aku suka mencari jalan-jalan baru, dari kampus ke kost. Tentu aku tidak mentolerir jalan dari kost ke kampus, karena terlalu beresiko. Dosen-dosenku kurang mentolerir mahasiswanya yang suka telat. Saat itu Aku sudah memperhitungkan resiko kesasar, waktu tempuh ke kost yang melebihi standarku atau menemui kejadian yang tidak mengenakkan. Tapi lihat saja hasilnya, pemandangan baru, pus-pus gendut yang baru, orang-orang baru yang kutemui di depan rumah mereka yang sekedar tersenyum atau cukup ‘say hello’. Saat itu juga hariku jadi indah.

Pun, beberapa hari lalu ketika aku berusaha mengubah nada dasar A ke C ketika aku memainkan lagu ‘Satu bintang dilangit kelam’ dengan gitarku. Sudah hampir sedekade aku selalu memainkan lagu kesukaanku ini dengan nada dasar A. Tentu pada saat mencoba, aku punya ketakutan bahwa aku akan memainkannya dengan cord yang salah, trus tetangga dan kucing yang ada didepanku akan menengok ke arahku dan mencibirku. Tapi aku berani menanggung resiko ini. Ternyata aku lebih pas dengan nada dasar yang baru ini.

There are so many ways to live your life, why not try one. intinyanya, perkirakanlah resiko yang akan kita hadapi, karena kita tentu tidak ingin bermain main dengan hidup kita.

Toko Buku Unik

TIM-web.jpg

Tepat seminggu yang lalu, seorang teman yang menurutku super jenius mengajakku refreshing keluar rumah. Tujuan awalnya adalah menonton pertunjukan atau entah acara apapun di Graha Bhakti Budaya. Namun rupanya kami kurang beruntung, tidak ada agenda apapun di jam siang, sementara jam malam bukan pilihan kami.

Jadilah kami ke toko buku di ujung Graha Bhakti Budaya. Toko ini cukup unik, koleksinya rada nyeleneh. Mungkin kalau kamu suka nyari buku-buku sastra, kupikir disini tempatnya. Buku lama, pun baru juga ada. Kami menghabiskan tiga jam membolak-balik buku. Jangan lupa bawa tissue basah. Tangan langsung berdebu setelah membolak balik beberapa buku. Kulihat temanku sesekali bertanya kepada penjaga toko, menanyakan buku yang dia cari. Kutu buku seperti dia pasti tertarik dengan buku yang gak lazim. Rata-rata aku tidak mengenal penulis pun topik dari buku-buku yang ada dikantong belanjaannya kecuali, satu buku kumpulan puisi Rendra dan satu lagi buku Umberto Eco-aku lupa judulnya, yg jelas bukan The Name of The Rose. Rupanya dia terpengaruh dengan pembicaraan kami sebelumnya tentang penulis yang banyak menyajikan fakta-fakta sejarah dalam novelnya tersebut . Aku sendiri membeli satu buku tentang demokrasi dan satu buku nyanyian persembahan Rabidranath Tagore ‘Gitanyali’. Uniknya toko ini telah memukau kami. Tak terasa malam pun menjelang, kami harus segera pulang.

Air Mancur Joged

monas11.jpg

Untuk kamu semua yang pernah mengunjungi bagian barat Monas dan menyaksikan air mancur joged, kamu mungkin merasakan hal yang sama. Salut dengan Pak Sutiyoso, Menyajikan tontonan rakyat secara ajeg dan gratis sepertinya bukan tipe pemerintahan di sini deh. Lihat aja Pantai Ancol yang indah harus dipagari dan dikenai biaya tiket masuk. Tapi bisa dimaklumi koq, mengingat biaya perawatan yang cukup tinggi dan pengelolaannya telah diserahkan ke swasta.

Suguhan gratis setiap sabtu dan minggu malam ini cukup menarik perhatian warga Jakarta. Aku salah satunya. Dipertontonkan tiap jam 19.00 WIB dan 20.00 WIB rupanya cukup menghilangkan kesan seram area Monas dimalam hari. Bagaimana tidak, Monas yang dulunya sepi setelah memasuki pukul 18.00 WIB, kini jadi hingar bingar. Namun tidak menutup kemungkinan hal ini justru menjadi lahan empuk para pencopet untuk bereaksi. Just be careful lah! Beberapa petugas security juga terlihat berkeliling area Monas, membuat perasaan aman para pengunjungnya.

Pertunjukan diawali dengan air mancur yang meliuk-liuk mengikuti irama lagu. Dari lagu jali-jali sampai st elmo’s fire-nya David Foster. Sesaat aku terkenang suguhan serupa yang disajikan Pemerintah Barcelona disuatu sore di musim panas di depan Museum Nasional . Waktu itu aku menikmatinya sendiri. Teman-temanku memilih tinggal di hotel setelah seharian beraktifitas dalam serangkaian program social and economic inclusion di Barcelona.

Berbeda dengan di Barcelona, air mancur joged di Monas diperkaya dengan suguhan sinar laser yang diproyeksikan diantara semburan-semburan air mancur yang menceritakan tentang sejarah Jakarta.

Yang ada dalam hatiku saat itu cuma kagum dan kagum. Well ingin merasakan hal yang sama? Coba saja datang ke Monas pada Sabtu atau Minggu malam pukul 19.00 WIB atau 20.00 WIB.