Awalnya aku agak pesimis memikirkan ujung perjalanan yang telah kutempuh sedemikian jauh ini membawaku ke hal-hal yang biasa saja. Aku takut kecewa. Dugaanku salah. Pantai ini cukup indah. Dengan pasir yang sangat lembut. Ketika aku mencoba meraupnya, pasir yang masih basah itu seolah meleleh diantara jemari tanganku. Sore itu, langit cerah, tak tertutup awan sedikitpun. Laut sedang surut. Kami berjalan menyusuri sisi pantai sambil sesekali menjumpai binatang laut yang unik. Pemandangan langit segera memerah menjelang pukul 6 sore. Matahari tenggelam diantara pohon-pohon di tanjung. Sesaat kerlap kerlip bintang menghiasi langit malam. Libra membentuk segi empat, bak layang-layang di langit tanpa benang. Deburan ombak dan sunyinya malam menjadi hidangan khas Pantai Bira.
Month: August 2006
Perjalanan Menuju Tanjung Bira
Hari ini, minggu pagi-pagi sekali kami check out. Agenda kami sebelumnya adalah Pulau Selayar. Setelah mengumpulkan cukup informasi tentang Pulau ini, kami mengurungkan niat kami. Mayoritas tujuan wisata di Pulai ini adalah diving. Waktu yang kami miliki cukup terbatas. Akhirnya pergilah kami ke Tanjung Bira. Sekitar 41 km arah timur Bulukumba.
Kami berangkat dari terminal Malengkeri. Di Makassar, ada dua terminal bus antar kota. Untuk tujuan kota-kota di sebelah utara, kami menggunakan Terminal Daya, sedangkan untuk tujuan kota-kota di Timur Makassar seperti Bantaeng dan Bulu Kumba, kami harus menggunakan Terminal Malengkeri. Rata-rata Bus ke arah timur berangkat pada pagi hari. Menuju ke Bira kami harus mengambil bus jurusan Selayar. Karena kalau mengambil bus tujuan Bulu Kumba kami masih harus melanjutkan perjalanan lagi dengan menggunakan angkutan lain.
So … dari hotel kami di sekitar Losari, kami naik angkot ke arah Malengkeri. Better ask tentunya, karena angkot disini kadang tidak sampai ke terminal. Sampai di Malengkeri, kami naik bus AC Aneka Transport. Satu-satunya Bus ber AC tujuan Selayar. Harga tiket Rp 50 ribu perorang. Harga tiket ini seharusnya tiket dari Makassar ke Selayar. Di dalam Bus di kaca depan, kulihat ada no telepon yang bisa dihubungi. Dari Makassar 0411 5048232, dan dari Selayar 041422489 atau nomor HP 081355646448. Bus berangkat tepat pukul 09.00, saat bus-bus non ac lainnya sudah terlebih dahulu berangkat.
Baru beberapa menit berjalan, kami sudah memasuki Kab Gowa. Rute bus ini adalah Malengkeri (Makassar) – Takalar – Jeneponto – Bantaeng – Bulukumba – Bira dan berakhir di Selayar. Selepas Takalar bus berhenti sejenak. Seisi bus menikmati jagung rebus dengan sambal pedas, kecuali aku. Memasuki Kecamatan Bangkala – Jeneponto, suasana mengering. Tampak dikejauhan, laut membiru. Ladang-ladang garam dipenuhi tumpukan memutih. Sedangkan di sepanjang pantai Bantaeng – Bulukumba, banyak kulihat rumput laut dikeringkan. Ditepi pantai nampak seperti plastik putih yang berkilauan ditempa sinar matahari. Tempat Petani bertanam rumput laut. Disampingnya, nelayan menjaring ikan. Air laut menenggelamkannya separoh badan. Garam, ikan, rumput laut … alam menyediakan segalanya.
Sampai di Bulukumba, slogan “Bulukumba Berlayar” memenuhi kota. Dari umbul-umbul hingga plang-plang di pinggir jalan. Perjalanan dari Makassar ke Bira memakan waktu kurang lebih 5 jam. Bus berjalan sangat lambat.
Sesaat kulihat orang-orang bekerja di atas kapal besar yang belum rampung dibuat. Aku mengasumsikan bahwa kami telah sampai di Tana Beru. Sepanjang jalan tadi ada 3 kapal besar yang masih dalam proses pengerjaan.
Setengah jam kemudian sampailah kami di pintu masuk pelabuhan Bira. Kami harus turun, karena bus akan segera masuk ke dalam feri menuju Pulau Selayar. Perjalanan kami dengan Bus Aneka Transport cukup sampai di sini. Pantai Bira masih harus kami tempuh dengan berjalan kaki kira-kira 1 km lagi.
Maros : Gua Mimpi + Air Terjun Bantimurung
Pagi ini jam 08.00 kami sudah siap didepan hotel. Dengan berbekal kertas kecil berisikan arah angkot yang harus kami lalui dan sebuah peta, kamipun berangkat. Dari daerah Pantai Losari kami berangkat naik pete-pete Cendrawasih ke Sentral dan turun di MTC. Dengan ongkos perorang 2500 perorang perjalanan kami lanjutkan dengan angkot trayek Central – Sudiang menuju Terminal Sudiang. Perjalanan dari Central ke Sudiang cukup memakan waktu. Masing-masing kami harus membayar Rp 4.000. Di Sudiang, angkot menuju Bantimurung telah tersedia. Kami harus membayar Rp10.000 tapi kupikir Pak Sopir hanya memanfaatkan kami saja, mengingat kami semua disini adalah pendatang (harga sebenarnya adalah Rp. 8.000).
Tepat di Bantimurung, kami langsung ke Gua Mimpi yang berhadap-hadapan dengan Gua Istana. Karena panjang Gua Mimpi hanya 1,2 km. Kamipun memutuskan untuk mengeksplore gua ini. Di mulut gua kami disuguhi pemandangan batu alam yang menyerupai gajah. Memasuki mulut gua, pemandangan stalagtit dan stalagmit mulai memukau mata kami. Berbagai macam bentuk telah dihasilkan dari rembesan air di dinding-dinding kapur di dalam gua. Stalagmit yang masih muda terlihat seperti mentega yang mengeras, tetesan air dari atap gua membentuknya begitu indah. Ada pula stalagmit yang berkilauan bak permata tatkala ditempa sinar lampu senter yang samar-samar. Beberapa Stalagtit yang bergelantungan bahkan mengeluarkan nada-nada tertentu kalau dipukul. Ya, mirip gendang. Perjalanan menuruni gua sama susahnya dengan perjalanan menuju ke gua yang letaknya diatas bukit-bukit kapur ini. Beberapa turunan cukup licin karena rontokan batu-batu kecil di dasar tanah.
Untuk menuju ke Air Terjun Bantimurung, kami harus melewati ruas-ruas jalan kampung. Tidak terlalu jauh memang. Sesampai di air terjun, aku hanya menikmati sekelilingku yang banyak sekali dipenuhi anak-anak kecil. Sesuai rencana, aku tidak hendak mandi di sini. Tapi konon kurang afdol kalau belum merasakan dinginnya air di Bantimurung. Ternyata … kesegarannya yang menyentuh jari jemari kakiku, membuatku terbangun. Beberapa menit menikmati pemandangan air terjun, kamipun segera pulang. Perlanan pulang selalu terasa lebih cepat.
Pulau Khayangan
Pukul lima sore kami ke Pulau Khayangan. Ketika bercakap-cakap dengan seorang polisi yang berasal dari Timor-timur, aku memperoleh gambaran bahwa Pulau Khayangan tak lagi seperti khayangan (sorga). Namun demi sebuah foto sunset, kamipun pergi juga.
Tiket masuk ke pulau ini pada saat hari libur adalah Rp. 30.000 perorang, hari biasa mereka hanya mengenakan Rp 15.000 perorang. Harga ini sudah termasuk tiket pulang pergi dengan menggunakan motor boat yang hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit. Pulau ini cukup kecil dan bisa kukelilingi hanya dengan beberapa menit saja. Pulau yang sudah dikembangkan sebagai tempat tujuan wisata ini dilengkapi dengan penginapan dan cafe kecil. Harganya cukup mahal kupikir, dengan fasilitas hiburan terbatas, paling murah mereka mematok harga perkamar 250 ribu. Pulau ini sepertinya kurang terawat, kulihat banyak sampah bahkan pecahan gelas dibiarkan menghiasi bibir pantai. Namun pemandangan sunset yg indah seolah mengubur semua kesan buruk tentang pulau ini.
Kami cukup beruntung, tak ada awan yang menutupi birunya langit yang direfleksikan air laut yang seolah olah tenang menanti saat-saat fajar tertelan perut bumi. Pukul 18.15 matahari benar-benar lenyap.Tapi semburat merah dibatas cakrawala masih cukup jelas, lalu menguning, menghijau dan membiru bercampur dengan langit. Satu titik planet terlihat jelas. Tepat pukul 18.30 kami kembali ke Makassar dengan perahu boat yang sama. Penumpang kali ini memenuhi sisi-sisi perahu yang kebanyakan adalah anak-anak kecil beserta orang tua mereka. Gelap segera meraja dan bintangpun mulai memainkan mata.
Pukul 18.30 kamipun kembali ke kota Makassar.
Makassar at a glance
Agenda hari ini akan dipenuhi dengan 3 tujuan wisata di Kota Makassar, Clara Bunt Orchid and Sea Shell Museum, Fort Rotterdam dan Pantai Kayangan. Apa ya yang bisa kuceritakan? Clara Bunt Orchid … kurang menarik karena tidak dikelola secara professional, saat itu anggreknya pun belum berbunga, namun penjaganya sangat ramah. Hey banyak anjing di sana .
Lalu Fort Rotterdam, cukup menarik. Ada dua museum disana. Ada koleksi uang kunonya juga. Mungkin seorang rekan wartawan yang juga kolektor uang kuno bisa menggambarkan lebih banyak ketimbang aku.
Must-see tourist destination
Hari ini 17 Agustus 2006. Perjalanan dibuka dengan tontonan drumband di kota Rantepao. Tindak terlalu banyak tim. Konon karnaval baru dimulai besok. Sayang ini adalah hari terakhir kami di tempat ini.
Agenda perjalanan kami hari ini adalah mengunjungi tempat-tempat wisata pada umumnya. Dimulai dari Londa ’The Cave Grave” kuburan dari jaman purbakala yang menggunakan gua alam di bukit-bukit kapur sebagai tempat peristirahatan akhir. Karena berada dibukit kapur, didalam gua terlihat banyak stalagtit bergelantungan di atap gua.
Tujuan berikutnya adalah Lemo “The Hanging Grave”, kuburan yang dipahat dibukit-bukit batu. Konon hanya orang kaya yang mampu menguburkan keluarga mereka di sini, mengingat biaya memahat tebing-tebing batu yang cukup mahal dan memakan waktu cukup lama. Setelah itu, kami mengarah ke “Baby Grave” kuburan bayi yang diletakkan di dalam pohon di daerah Sangala. Mereka percaya bahwa pohon akan memberikan kehidupan bagi tubuh bayi-bayi ini sampai mereka cukup sempurna untuk melakukan reinkarnasi. Tak jauh dari Sangala, ada Kete Kesu, kampung Toraja lengkap dengan Tongkonan dan hanging grave serta patane (kuburan berbentuk bangunan kecil) dibagian belakang kampung. Tujuan terakhir kami adalah Bori “Circle of Megaliths’ dengan menhir-menhirnya yang konon bukan Obelix yang membawanya kesini.
Perjalanan hari ini kami sudahi pukul lima sore. Malamnya kami harus berangkat ke Makassar. Perjalanan hari ini seharusnya cukup indah. Tapi kami telah melihat sesuatu yang lebih spektakuler selama tiga hari ini.
Bus Litha menjemput kami pukul sembilan malam diantara kerumunan anak-anak muda yang nge-jamz, ikut meramaikan perayaan 17 Agustus. Ah Tator nan melong (cantik) … Lasule mokan (selamat tinggal) …
Pasar Ma'dong
Kami singgah sesaat di Pasar Ma’dong. Suasana pasar cukup ramai untuk sekelas pasar di kampung kecil. Aku tidak terlalu kecewa ketika hari Selasa aku tidak bisa pergi ke Pasar Bolu karena hari itu agenda kami adalah rafting. Konon Pasar Bolu terkenal dengan pasar kerbaunya.
Pasar Ma’dong, sebagaimana pasar di kampung-kampung pedalaman Jawa, hanya ada sekali dalam seminggu. Aku tertarik dengan outlet kecil ditengah-tengah pasar. Ya penjual kopi robusta. Tidak ada kopi arabica dijual disini. Konon arabica terlalu strong rasanya, membuat penduduk kurang suka. Kopi Arabika lebih bernilai untuk dijual ketimbang dikonsumsi sendiri.
Satu liter kopi Robusta dijual dengan harga 10.000. Aku teringat dengan tulisan seorang teman tentang kopi kampung yang dia banggakan. But … this is the real kopi kampung, Kampung Toraja. Aku memesan satu liter yang sudah digiling, beberapa teman memesan biji kopi. Mesin pembuat kopi mereka sudah cukup canggih.
Pukul Jam 6 pagi, pasar sudah dipadati penduduk dari kampung sekitar. Penduduk Kampung Limbongpun turut serta, aku melihat beberapa orang dari Kampung Limbong. Ibu Limbong juga di sana. Hingga pukul 10.00 saat aku masih menulis script ini suasana hiruk pikuk masih mewarnai. Sesekali mesin kopi giling berderu menyahuti riuhnya penduduk kampung yang sedang bertransaksi.
Ditoko-toko kelontong kulihat mie instant berjejer berbagai merk, minyak goreng, shampoo… mmm kopi Torabika dan Nescaffe sachet tak mau ketinggalan, bersaing dengan ’kopi kampung’. Sayup-sayup kudengar bahasa daerah lain disela-sela Bahasa Toraja yang sudah 3 hari ini lekat ditelingaku. Hey … Bahasa Jawa. Memang, orang Jawa menjajah dimana-mana J
Pukul 11.00 kulihat orang-orang mulai mengepak barang dagangan mereka. Kelapa, gula, garam, semua masuk kardus, siap dijual untuk esok hari di kampung lain. Kami masih duduk-duduk di atas ricebarn, menunggu angkutan siap menuruni bukit. Tepat pukul 11.15 angkutan kami berangkat. Usai sudah pemandangan Pasar Ma’dong.
Perjalanan Hari Kedua
Pagi-pagi sekali kami sudah bangun. Suara anak-anak yang hendak ke sekolah sedikit mengusik. Aku mengintipnya dari balik jendela kamar. Anak-anak berseragam merah putih nampak ceria ditingkahi sinar matahari yang menyembul dari antara dahan-dahan pohon.
Perjalanan kami hari ini dimulai pukul 09.00 WIB. Awalnya Bu Limbong menawarkan perjalanan bersama ke Pasar Ma’dong. Karena kami pikir kami akan mengambil jalan memutar, Ibu Limbong memutuskan untuk berangkat terlebih dahulu.
Kampung Limbong
Kami bermalam di Kampung Limbong. Dan kebetulan sekali aku tidur di rumah Ibu Limbong, salah satu sesepuh di kampung ini. Tongkonan di kampung ini berjumlah kurang lebih 11 buah, yang dapat berarti juga jumlah keluarga di kampung yang tampak hidup ini. Banyak anak-anak kecil pun muda dan tua, mereka satu keluarga besar. Ketika kami sampai, mereka segera mengerubungi kami, bergerombol, seolah-olah kami ini tontonan.
Ibu Limbong tinggal bersama cucunya. Anak-anaknya pergi merantau, mengadu nasib di daerah lain. Anak pertamanya di Papua, yang kedua di Kalimantan dan satu lagi di Rantepao. Suami Bu Limbong sudah meninggal lima tahun lalu. Buru-buru aku tanyakan apakah ada mayat disimpan di dalam rumah. Esmee seorang rekan trekking mengatakan,” I just feel strange if I sleep in the house where the death body is kept” kalau aku… entahlah … tak terbayangkan.
Sore itu suguhan kopi panas sudah siap di meja. Toraja adalah sorganya kopi, sorgaku juga yg penikmat kopi tubruk. Kokokan ayam segera terdengar disela-sela keheningan kami yang sedang menikmati aroma dan rasa kopi robusta. Salah satu dari kami nyeletuk, “Wah, makan malam kita tuh”. Setelah meneguk dua gelas kopi, aku menyelinap ke dapur yang letaknya terpisah dari tongkonan, rumah induknya. Dapur dan ruang makan jadi satu disana. Meskipun ada kompor minyak tanah, Ibu Limbong lebih suka menggunakan tungku kayu. Selain murah, kayu lebih mudah didapatkan. Cucu-cucu Bu Limbong biasanya mencarikan kayu bakar untuknya dengan upah beberapa batang rokok. Sesaat aku menengok ke panci besar atas tungku, mmm ayam yang kudengar tadi rupanya sudah menjadi gulai.
Di luar dapur kudengar bunyi kletak-kletok, seperti palu dipukul. Orang-orang sedang menumbuk padi rupanya. Tempat tumbukan pertama mereka gunakan untuk memisahkan padi dari batangnya, tempat tumbukan berikutnya dipakai untuk melepaskan beras dari cangkangnya. Beberapa saat kemudian, beras sudah siap untuk dimasak.
Hari mulai gelap, dan dinginnya udara gunung mulai terasa. Aku memilih cepat-cepat mandi, menyadari bahwa temperatur akan cepat sekali drop kala malam menjelang. Sebuah kamar mandi sederhana dilengkapi dengan kakus dan bak yang dipenuhi dari air gunung yang mengalir melalui bambu dan slang plastik memberiku suasana lain. Airnya cukup menyengat, dingin merasup tulang.
Makan malam siap pukul tujuh malam. Kami keluar dari tongkonan menuju ruang makan. Hidangan telah tertata di atas meja. Dua buah bangku kayu panjang menyertai sisi kanan dan kiri meja. Nasi panas, gulai ayam, mie rebus dan sambal yang .. wow pedas sekali… sudah siap disantap.
Usai makan malam, kami bercakap-cakap di teras depan di bawah tongkonan. Lampu petromaks menemani kami. Anak-anak dan pemuda kampung masih mengerumuni kami. Aku menanyai dimana mereka bersekolah. Mereka yang masih SD, tak perlu berjalan jauh. Sekolah mereka hanya berjarak dua kampung sesudah Kampung Limbong. Sedangkan yang SMP harus berjalan menuruni dan menaiki bukit sejauh 2 kilo meter. Tak heran kalau mereka berangkat ke sekolah pagi sekali. Namun yang SMA dan STM harus ke Rantepao. Mereka biasanya kost atau tinggal di rumah saudara.
Percakapan mulai hangat dan merekapun mulai bercerita tentang lingkungan kampungnya. Konon ada satu orang ibu yang berasal dari Solo, dia menikah dengan orang Kampung Limbong. Salah seorang dari pemuda itu menawariku untuk bertandang ke rumah si ibu ini, tapi karena sudah malam aku menolaknya. Merekapun mulai menggosip tentang tetangga persis disebelah timur Tongkonan Bu Limbong. Ceritanya seru … tapi off the record lah!
Kelam malam mulai merambah desa, satu persatu manusia mulai lelap tersihir dalam tidurnya. Bintang dan bulan menemani ketenangan Kampung Limbong. Akupun terlelap dalam buaian malam.
Menyusuri Kampung Toraja
Agenda perjalanan kami selama dua hari kedepan adalah trekking. Menyusuri perbukitan dan kampung-kampung pedalaman Toraja adalah salah satu impianku. Perjalanan kami mulai pukul 09.30 waktu Rantepao, setelah semua perbekalan dan logistik siap dibawa. Point awal trekking adalah Kampung Ke’pe’ , sebuah kampung di atas perbukitan Toraja. Perjalanan dari Rantepao ke kampung ini kami tempuh dengan menggunakan Pete-pete (baca:angkutan pedesaan). Ke’pe’ adalah tujuan akhir angkutan ini. Jalan menuju Ke’pe’, meskipun beraspal namun cukup sempit. Kebun kopi dan coklat menghiasi pemandangan kanan kiri kami. Lembah yang hijau dan gunung batu yang kokoh.
Sekitar pukul 11.15 kami sampai di point awal kami, Kampung Ke’pe’. Perjalanan awal sedikit menurun, ada sebuah SD disana. Anak-anak sedang berlatih baris berbaris. Tipikal anak sekolah di Indonesia menjelang 17 Agustus. Di halaman sekolah kulihat menhir-menhir yang berukuran kecil. Aku masih penasaran kenapa menhir-menhir itu diletakkan di sana. Kami terus berjalan melewati pematang sawah. Aku harus konsentrasi kalau tidak ingin terperosok ke sawah, sambil sesekali berhenti dan menikmati suasana sekitar. Kudengar diujung sana orang berteriak, seperti siulan. Dan tiba-tiba Mas Agus berteriak juga. Rupanya teriakan itu ciri khas orang sini. Teriakan ini menandakan bahwa mereka orang Toraja, jadi dimanapun mereka berada mereka dapat saling mengenali lewat teriakan itu.
Kampung pertama yang kami singgahi adalah Kampung Poya. Anak-anak SMP yang pemalu kami jumpai di pintu masuk kampung yang cukup menanjak. Tenaga terkuras. Memasuki kampung, salakan anjing yang menyambut kami. Kampung ini cukup sepi. Mengingatkanku pada kampung-kampung Badui. Tongkonan-tongkonan kosong karena penghuninya sedang pergi ke sawah. Kami beristirahat di bawah ricebarn didepan sebuah Tongkonan. Konon kalau ada pesta hanya orang-orang penting saja yang bisa duduk disini. Tiba-tiba aku merasa VIP banget J. Semua Tongkonan menghadap ke utara dan ricebarn berada didepannya. Pejalanan kami teruskan hingga disuatu kampung kecil. Hey ada nenek tua yang sedang membuat tikar. Melihat kerutan diwajahnya, dia mungkin berumur diatas 90-an. Sesekali aku berteriak ’Tabe’ (baca:permisi) kalau aku berpapasan dengan penduduk Toraja.
Selepas kampung ini, kami harus menaiki tebing batu yang cukup tinggi. Aku bersyukur tasku tidak terlalu berat, namun dengan kamera SLR yang tergantung dileher, perjalananku menjadi lumayan berat. Aku cukup berhati-hati dengan asset berhargaku ini. Dari puncak bukit kulihat lembah-lembah curam, dan hutan yang hijau pekat mendominasi pemandangan sekelilingku. Konon Mas Agus yang menjadi penunjuk jalan pernah tersesat di hutan ketika ingin mencapai satu kampung. Ah semoga kami tidak tersesat. Beberapa anggrek hutan kami temui diantara ranting-ranting pohon. Andai Papaku ada disitu, pasti sudah kutulis nama angrek itu disini. Mas Agus menyodoriku akar rumput, baunya … mmm … seperti minyak tawon. Lalu dia menyodori akar tanaman perdu lain yang baunya seperti bau balsam gosok. Kami terus berjalan sampai kami temui sebuah batu besar. Kami berhenti sejenak, diantara kami ada pecinta panjat tebing, sesaat dia mendemonstrasikan cara memanjat tebing. Aku tidak berminat mencobanya.
Bambu-bambu yang disambung dengan slang karet menjadi pemandangan kami memasuki suatu desa, aku lupa namanya. Rupanya ini cara mereka memperoleh air bersih. Tak tampak olehku proyek pemerintah yang berbantuan luar negeri disini. Nyaris tak tersentuh. Sepertinya orang-orang disini sedang membuat akses untuk jalan mobil. Bukit-bukit diterjang, pohon ditebang dan batupun dipapras. Hatiku miris.
Menjelang pukul 14.00 kami istirahat untuk makan siang. Tampak didepanku Kampung Bamba. Kulihat anak-anak kecil yang salah satunya bernama Lisa mendekati kami. Hanya kue-kue kecil yang bisa kami bagikan. Merekapun mengiring kami memasuki kampungnya dan mengantar kami dengan lambaian tangan. Anak-anak yang manis. Pejalanan setelah itu tidak terlalu berat, dan cenderung menurun, petak-petak sawah nampak indah diselingi kurugan, kolam kecil ditengah-tengah sawah. Sebuah lubang dengan kedalaman 1.5 meter berada diantara rumpun padi dan orang disini menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan, ’ikan gunung’ kata Mas Agus.
“Sebentar lagi kita sampai” kata Mas Agus, memberi kami semangat. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Ketika memasuki suatu kampung, aku bertanya, “Kita bermalam di kampung ini ya Mas?” Ah rupanya kami masih harus melalui satu kampung lagi, sebelum memasuki kampung tempat kami bermalam. Meninggalkan kampung itu, kami melihat banyak orang sedang mengerjakan sawahnya. Obyek menarik untuk difoto. Mas Agus segera menunjuk ke arah Kampung Limbong dimana kami akan bermalam. Semangat kembali membara. Memasuki kampung Limbong hari telah sore. Kakipun ingin segera beristirahat.