Euro Next – VOC – Indonesia – Sejarah

 euronext.jpg

Tiga minggu lalu, kami mengunjungi Euro Next, Stock Exchange, di tengah-tengah kota Amsterdam. Berbeda dengan gedung, pun isi Bursa Saham di Jakarta- dulu masku suka membawaku ketempat ini-, Euro Next lebih terlihat seperti museum. Gedung ini kira-kira umurnya hampir seratus tahun. Bursa saham di Amsterdam merupakan bursa saham tertua di dunia, diawali dengan kelahiran VOC. So … presentasi dari salah satu representative di Euro Next saat itu tentu diawali dengan kisah VOC. Ada cerita sedikit tentang hindia belanda tentu saja. Dan aku hanya tersenyum.

Talk about VOC, beberapa minggu sebelumnya, pembicaraan di kelas ketika membahas international finance meruncing kearah kolonialisme. Aku memulainya. Sebenarnya nothing’s wrong with VOC , I do admit it,  hanya saja perasaanku yang terpengaruh buku-buku sejarah ketika aku menduduki bangku SD tiba-tiba menyeruak. Sebenarnya VOC tak jauh berbeda dengan Exxon, Unilever, Nike atau Multi National Company lainnya. Kalau VOC di blamed karena menjadi pemicu penjajahan oleh bangsa Belanda di Indonesia,  MNC di blamed karena menimbulkan efek globalisasi yang dianggap mengekploitasi. Aku sebenarnya bersikap netral untuk masalah yang terakhir.

Melanjut tentang VOC, kira-kira beberapa minggu lalu, Balkenende yang waktu itu sedang berkampanye untuk partainya CDA (Christian Democrat Alliance)- tgl 22 lalu mereka dinyatakan menang – ingin megembalikan Belanda ke masa kejayaannya di Zaman VOC. Kira-kira pidatonya menyebutkan bahwa VOC patut menjadi contoh bagi bangsa Belanda, dan spirit VOC hendaknya menjiwai pula setiap pemikiran bangsa ini.  Hal ini rupanya membuat panas warga keturunan Suriname yang cukup banyak tinggal di negara ini. Sejarah mereka tentu lebih menyakitkan ketimbang sejarah yg dituliskan di buku-buku sejarah Indonesia. Berbicara VOC tidak cuma berbicara dari aspek ekonomi dan kebudayaan. Sejarah banyak menuliskan hal-hal lain yang menyakitkan.

So pernahkah terpikir untuk menghapus sejarah untuk hal-hal yang menyakitkan? Ini sama halnya dengan menghentikan waktu. Tapi sebuah film “Eternal Sunshine and The Spotless Mind” membuatnya menjadi kenyataan. Mesin penghapus sejarah, memory buruk, tepatnya. Ah andai aku bisa menjadi salah satu pasiennya…

Berg en Dyke

The Dutch are a proud nation, and justifiably so. As locals may say “God made the earth, but the Dutch made Holland”. They have  conquered the sea in order to make the best use of the area available to them. They simply dried the sea with the help of windmill.  It is not something new for us knowing that some of parts in Netherlands are actually below sea level. Thus, a dike or ‘Dyke’ in Dutch, a construction which is normally found along the sea or a river to prevent against flooding, can be found everywhere in this country.     

Two weeks ago, one of our lectures told us about the highest point in the Netherlands. Yet Dutch are still proud of it. They call it as “berg”, a mountain. In fact, it is only a hill with 321 meters above sea level, located in Vaalserberg, in the province of Limburg. Furthermore, their highest point should even be shared with other countries, Germany and Belgium, since the location is exactly in the border among the countries, quite close actually to Maastricht, my place now. 

Obviously, the “Berg’ does not even exist in the Netherlands, but “dyke” is truly crucial.  However, what I find amazing here is the fact that the number of people having family name like Van Den Berg is even higher than number of people having Van Dyke as family name.

Nevertheles, I’m enjoying my time here, in a very small but one of the wealthiest countries in the world.  

You Can Never Hold Back Spring

You can never hold back spring
You can be sure that I will never
Stop believing
The blushing rose will climb
Spring ahead or fall behind
Winter dreams the same dream
Every time

You can never hold back spring
Even though you’ve lost your way
The world keeps dreaming of spring

So close your eyes
Open you heart
To one who’s dreaming of you
You can never hold back spring
Baby

Remember everything that spring
Can bring
You can never hold back spring

 

Me and Cassiopeia

I stared at the sky a few minutes ago. It’s rather unusual to find a clear night sky during these times. Mr. Clouds seems to be very kind to me. As I behaved nicely today, I got Cassiopeia as a present. It was just showed off in my eyes. I saw a sign of “W” hanging on boundless dark ceiling. W = Wardani 🙂 … I heard Mr Coulds whispering my name. I was rather surprised finding also Navi (Gamma Cassiopeia), one of the stars in Cassiopeia, was obviously waiving at me. Wardani … Navi … oh Cassiopeia, you’re simply mine.

The Zahir

Tulisan ini lebih dari satu tahun mendiami USB stick ku, kutemukan kembali setelah aku membongkar catatan-catatan pribadi yang selalu tersimpan dengan sebuah password. Aku mencarinya lagi setelah mendapati sebuah email dari seseorang yang belum kukenal :

Si tokoh “Aku”- aku belum menemukan padanan namanya di halaman-halaman awal pun halaman akhir yang kutengok diawal proses membacaku- telah berjuang untuk memperoleh cinta istrinya yang pertama, yang kedua, dan yang ketiga. Dia terus berjuang menemukan keberanian untuk meninggalkan istrinya yang pertama, yang kedua, dan yang ketiga, karena cintanya pada mereka tidak bertahan lama, dan hidup perlu dilanjutkan, sampai suatu saat dia akan menemukan seseorang yang dilahirkan ke dunia ini untuk menemukannya- dan orang itu bukan salah satu dari ketiga istrinya. Disuatu hari yang tidak biasa, dia bertemu dengan seorang jurnalis cantik dan cerdas yang tak banyak bicara. Seseorang yang lebih sering menolaknya ketimbang menerimanya dengan senyuman semu. Setelah kebosanan melandanya, dan konflik-konflik yang menghiasi kehidupannya dan wanita ini, sesuatu terjadi. Suatu pagi, alih-alih mengetik beberapa kalimat, dia memandang ke sebelah ruangan, wanita itu- Esther- sedang membaca koran dengan tampak letih, diam tak banyak bicara, menyisakan pertengkaran mereka semalaman. Pikirannya segera beralih, deretan tombol-tombol mesin ketik tidak lagi penting, huruf-huruf dia susun dikepalanya menggambarkan wanita yang tidak selalu menunjukkan rasa cintanya dengan gerakan tubuh, wanita yang selalu bisa membuatnya berkata ’ya’ meskipun dia ingin menjawab ’tidak’, wanita yang selalu memaksanya berjuang demi sesuatu yang ia percaya merupakan tujuan hidupnya, wanita yang telah membiarkannya pergi sendiri karena cinta wanita ini padanya lebih besar dari pada cintanya kepada dirinya sendiri, dan wanita yang matanya berbicara lebih banyak dari pada kata-kata. Dia kagum, jari-jarinya mulai menekan tombol-tombol mesin tik…

The Zahir, demikian judul bukunya. Kata-kata diatas bukan kutipan aku hanya menyarikan beberapa lembar dari buku itu. Aku menyukai gaya bahasa di buku-buku Paulo Coelho, walaupun kadang gaya egosentrisme-nya gak terlalu kental seperti Susanna Tamaro. Dari beberapa buku Paulo Coelho yang kumiliki The Devil and Miss Prym membuatku memberontak atas kekangan-kekangan yang menyelimutiku untuk kemudian tertunduk dalam penyesalan dan pencarian The Zahir. Sosok itu begitu nyata dimata dan hatiku, tak jua lekang dipudarkan waktu.

NAP (Normaal Amsterdams Peil)

speeltuin.jpg Nijmegen

Taman bermain ini cukup menarik, letaknya di Heerhugowaard. Saking menariknya, anak-anakpun tak bisa menyentuhnya, bahkan oleh orang dewasapun. It’s too dangerous kecuali anda pemain akrobat. Tak bisa kubayangkan kalau suatu saat aku bersama anakku melewati taman ini, dan dia merengek, “Mama ik wil het spelen!” (Mama aku ingin bermain). Atau membayangkan mengajak Denis bermain, dia akan senang sekali bisa keluar dari rumah, tapi betapa kecewanya dia ketika melihat semua mainan tak bisa diraihnya, bahkan oleh tantenyapun tidak.

Taman ini sengaja dibuat dari titik ketinggian sama dengan NAP (Normaal Amsterdams Peil). NAP, lebih dipahami kaum awam sebagai referensi sea level di Netherlands. Kebanyakan orang tidak lagi mengetahui apa kepanjangan dari NAP, namun selalu mengasosikannya dengan sea level. Beberapa waktu lalu ketika aku singgah di Nijmegen, sebuah kota tua berbatasan dengan Jerman yang merupakan tempat pertemuan dua sungai besar Maas dan Waal, aku melihat pal dengan meteran di sana. Terusik rasa isengku, aku memakainya untuk mengukur tinggi badanku. Karena penasaran aku mencari information board dekat pal meteran tersebut guna melihat apa fungsi meteran ini. Rupanya ini pal monumental untuk mengingatkan bahwa kota ini telah beberapa kali tenggelam, well not really tenggelam, cuman banjir aja. Dan disitu tertulis pula NAP.

Berdasarkan ensiklopedi bebas, NAP adalah vertical datum yang banyak digunakan di Eropa Barat. Awalnya NAP hanya digunakan di Belanda yang kemudian diadopsi German sekitar tahun 1879 dengan nama Normal Null, berikutnya negara-negara Eropa lainnyapun turut menggunakan NAP sebagai referensi. Pada mulanya zero level dari NAP adalah rata-rata tinggi banjir yang terjadi di musim panas di Amsterdam, kota yang terhubung dengan laut lepas pada tahun 1684. Jadi awalnya NAP tidak dimaksudkan sebagai sea level tapi rata-rata tinggi banjir. Namun, sekarang NAP lebih sering dihubungkan dengan sea level di pantai-pantai di Belanda, mungkin seiring perkembangan teknologi, banjir tak lagi identik dengan musim panas di Amsterdam. Water management di negara ini sudah cukup canggih.

Dua minggu lagi kami sekelas berkesempatan menengok, water management di Rotterdam, kalau di Indonesia punya banjir kanal, di Belanda mereka punya delta work. Sebuah proyek yang merupakan flood defense system, guna meghindari kejadian banjir besar akibat luapan North Sea yang merusak tanggul-tanggul buatan disepanjang area ini.

Namun kami tidak ada berdiskusi masalah water management di negara ini, kami mebih tertarik melihatnya dari angle finance. Aku, misalnya akan tertarik membahas bagaimana risk yang mengancam proyek ini didefine, kemudian memilah-milah mana yang harus di retained, transferred atau simply avoided.

Email itu …

Halo Vie,apa kabar?” Begitu Mas Hananto, seorang rekan correspondent untuk media asing, memulai emailnya. Private email terpanjang yang pernah kudapatkan. Membacanya, seolah aku sedang membaca thesis, karena isinya lebih ke pandangan-pandangan dia dan berakhir dengan conclusion and suggestions.

Beberapa hari lalu aku sedikit gelisah, tidak menemukan tempat pas buat bercerita-kadang teman tidak selalu ada untuk kita- akhirnya aku berkirim email ke dia. Menuangkan keluh kesah.

Utk membahas hal itu, pertama-tama tulisan ini tolong diletakkan dlm konteks opini…” begitu paragraf berikutnya dimulai. “Setelah menerima imelmu, berhari-hari masalah, ide dan rencanamu itu aku pikirkan … bekerja di instansi pemerintah, dlm suatu sistim yg sangat birokratis (dlm suatu pola yg sdh tersusun scr sistematis bertahun-tahun, dlm jenjang hirarkis dimana didlmnya terdpt aktor2 dr berbagai golongan dan tipe kepribadian).Itulah konsekwensi yg hrs kita hadapi jk kita masuk atau mjd bagian langsung dlm birokrasi pemerintah. Bila ide, orientasi/cita2 dan kepribadian kita tdk cocok atau bertentangan dgn org atau sekelompok org, maka kita bagai menghadapi atau berbenturan dgn tembok kokoh.

Sistim birokrasi itu dihuni dan digerakkan oleh ratusan atau ribuan org, dan telah disusun bertahun-tahun. Dalam proses pembentukan dan pergerakan bekerjanya birokrasi itu (agar sesuai dgn rencana dan cita2 yg tlh digariskan) ada berbagai individu, golongan maupun kelompok yg memanfaatkan dan
mengambil keuntungan pribadi dari lemahnya dan ketidak-sempurnaan sistim birokrasi bekerja. Disinilah PERUBAHAN menemukan maknanya. Mereka yg mendiamkan, memanfaatkan serta mengambil keuntungan dari kelemahan dan ketidak-sempurnaan sistim birokrasi itu, berhadap-hadapan dgn mereka yg termasuk golongan ingin memperbaiki kelemahan dan ketidak-sempurnaan itu. Termasuk pula dlm hal ini mau (scr sadar dan ikhlas) mengakui dan menghargai ada perbedaan ide, semangat dan kreativitas. Dlm lingkup dan konteks inilah terjadi benturan. Krn dlm lingkup tsb terdapat sekat-sekat kekuasaan dan jenjang hirarkis, dimana aspek itu dibuat diantaranya utk memudahkan kontrol, koordinasi dan meningkatkan efektivitas.”

Lalu dia meng-address permasalahan ini dan meninjaunya dari nilai-bilai (values), begini lanjutannya“Padahal, konteks persoalan yg sebenarnya ada pada semangat dan nilai (values) atau moral. Moral disini diartikan sebagai bentuk manifestasi nilai kejujuran (kebenaran thd ajaran ketuhanan & hati nurani), kesetiaan (kesetiaan sbg pegawai pemerintah yg berarti tdk melakukan tindakan yg merugikan bangsa/masyarakat dan negara) dan keberanian (berani utk mempertahankan kebenaran, kejujuran, kesetiaan dan tidak mendiamkan suatu kesalahan)”. Dan yang aku perlu aku lakukan adalah … bla bla bla. Mencoba bersikap lentur atau luwes adalah sesuatu yang tidak mudah, karena berkaitan dengan bakat dan pola kepribadian. Lanjutnya : “Tp utk kelenturan (sebagaimana kita lihat Roosevelt, JFK, Akbar Tandjung, SBY dll), perlu latihan dan ‘simulasi’ terus-menerus, sayang kamu tidak terlatih untuk itu”. Aku hanya bercita-cita sebagai ibu rumah tangga Mas, bukan politisi 🙂 . Email itupun aku tutup kembali setelah sekian kali aku membacanya.

A 'Nice' Movie

I visited Guus website today. He put a ‘nice’ movie in his website, however, the content may not be recommended for those of you under 18. It was already 6 pm in NL when I read through on it. I haven’t put my light on although it was already dark, making the experience of watching the movie even ‘nicer’. Since you’re also mature enough (I know you ;), I’ve been spying on you), you may also have a look at it.