Kereta malam itu bergerak cepat, secepat melesatnya Burung Peregrine Falcon yang sedang terluka.
Samuel Barber sedang menulikan kedua telinganya dengan komposisi Adagio for Strings yang berulang-ulang mengalir melalui udara malam. Sebuah komposisi yang baginya seperti dibungkus dalam sekuntum kenangan. Kenangan tentang kematian di suatu senja di musim dingin, dimana ratapan air hujan merajam jiwa-jiwa yang sedang berduka.
“Aku sudah mati”, pikirnya. Lagu ini begitu dalam menyayat nyayat kenangannya. Sesaat kemudian huruf-huruf dari buku yang menemani perjalanannya membesar dan menebal. Tampak olehnya sebaris kata-kata ini : “He died while he was still alive.” kata-kata yang kemungkinan besar akan dipilih Paulo Coelho untuk menghiasi nisannya andai dia memilih untuk dikuburkan. Nyatanya dia ingin abunya diterbangkan oleh angin sehingga kebaikan boleh tersebar luas lewat hidung-hidung yang menghirupnya.
“Aku sudah mati”, pikirnya. Dan tanda-tandanya sudah jelas “Lot of people have stopped living, eventhough they continue working and eating, and carrying on with their usual social activities.” Semuanya berjalan bak mesin otomatis.
Ya, dia sudah mati. Dia hidup dalam penantian datangnya keajaiban tanpa menyadari bahwa keajaiban hadir setiap saat bersama datangnya hari baru. Dia hidup dengan terus menanti keajaiban tanpa mengerti bahwa setiap detik berikutnya jam hidupnya bisa saja terhenti.