How can I stop all the clocks ?

Alone

Stop all the clocks, cut off the telephone,
Prevent the dog from barking with a juicy bone,
Silence the pianos and with muffled drum
Bring out the coffin, let the mourners come.

Let aeroplanes circle moaning overhead
Scribbling on the sky the message He is Dead.
Put crepe bows round the white necks of the public doves,
Let the traffic policemen wear black cotton gloves.

He was my North, my South, my East and West,
My working week and my Sunday rest,
My noon, my midnight, my talk, my song;
I thought that love would last forever: I was wrong.

The stars are not wanted now; put out every one,
Pack up the moon and dismantle the sun,
Pour away the ocean and sweep up the woods;
For nothing now can ever come to any good.

(The picture was taken during my trip to Belitung. I was alone and felt so empty inside me. This morning when I was reading through the lines of one of H W Auden’s poems- regardless to the rumors that he was a gay, I still love his chosen words- I somehow caught the similar feeling of emptiness, as if I stood alone waiting for every second tick I heard from my camera. I just want to stop it.)

Denisa nonton Denias

“Nama saya Denias, Mama saya disorga suruh saya sekolah karena Mama bilang gunung takut dengan anak sekolah. Pak guru juga, Maleo juga. Saya mau sekolah Ibu Gembala. Itu sudah.”

Minggu lalu si Denisa berteriak-teriak di depan pintu pagar rumahku yang masih kugembok. “Tante Ophi…Tante Ophi”. Duh koq ya Denis datang pas dikulkas cuma ada buah-buahan doang dan jamu kunir asem.

Seperti biasanya bocah 4 tahun ini akan mengambil album Foto Swiss lalu menunjukkan padaku sapi di lereng perbukitan di Jung Fraujoch.

“Ini Sapi Hendrika ya, Tante?” Tanya Denis. Oom-nya yang dari negeri seberang tahun lalu membawakannya sebuah buku dongeng happy cow, si Sapi Hendrika.

“Denisa mau nonton Denias?” kupikir ini satu-satunya yang bisa membuat bocah ini duduk manis sementara aku mandi. Denisa mirip dengan Denias. Gemar menyanyi, pintar, suka bermain sepak bola, namun tidak gemar berkelahi, kecuali main macan-macan-an dengan tantenya.

Namun tak sedikitpun hati Denisa dan Denias berpautan. Ketika Denias bersedih karena ditinggal Maleo pergi … dan lagu “Andai Kupunya Sahabat”* mulai dilantunkan, Denis langsung berdiri lalu tersenyum. “Sahabat … Tante”

“Sahabat pasti kan datang, dikala sedih dan senang. Sahabat pasti takkan pergi menemani disepanjang hariku”, dia berteriak-teriak dengan riang gembira. Dengan terpaksa akupun mengikutinya. Ini lagu kami

Aku baru sadar, bocah ini belum paham benar makna kesedihan. Bahkan belum usai film itu diputar dia sudah berteriak :”Tante kapan filmnya selesai?”

“Yuk, kita nyari Robot Transformers aja” kataku sambil mematikan film.

Ah beginilah kalau Denisa nonton Denias. ITU SUDAH !

* Denis hafal hampir semua lagu di Album lagu AFI Junior. Dan lagu berjudul Andai Kupunya Sahabat ada dalam album itu.

A Thousand Splendid Suns

Kenapa hidup harus terlalu menyakitkan bagi seorang Mariam, a tube rose, a lovely flower for which her father, Jalil, chose her name. Jalil khan memiliki 3 istri dan 9 anak, 9 legitimate children tepatnya, all of whom were strangers to Mariam. Bahkan dengan istri mudanya yang sedang hamil tua, Jalil akan mengaku bahwa dia memiliki 10 anak. Tentu saja Mariam tidak masuk dalam hitungan, karena Mariam hanyalah clumsy little harami.

Harami, Mariam mendengar kata itu pertama kalinya tanpa mengerti maknanya tatkala usianya baru menginjak 5 tahun. Namun ketika dia tumbuh dewasa, dia mulai memahami bahwa harami – bastard –means unwanted thing. Mariam was an illegitimate person who would never have legitimate claim to the things other people had, seperti cinta, keluarga, pengayoman dan pengakuan.

Namun perlakuan tak tulus Jalil yang mengunjunginya di daerah pinggiran Herat setiap hari kamis, membuat Mariam tidak merasa seperti harami. Semua hadiah, senyuman yang diberikan Jalil padanya membuatnya seperti ratu. Untuk alasan ini dia mencintai Jalil

Nana, Ibu Mariam awalnya hanyalah pembantu rumah tangga keluarga Jalil, hingga suatu saat perut Nana mulai membesar. Dikucilkanlah ia ke pinggiran kota dan tinggal disuatu tempat, kolba, a rathole. Nana seringkali mengungkapkan kekecewaan kekesalan atas perlakuan Jalil yang tak adil, namun tak pernah sekalipun ia menunjukkannya tatkala Jalil mengunjungi kolba-nya. “Dia bahkan tidak mengakui kita sebagai bagian dari keluarganya”, itu yang selalu diungkapkan Nana kepada Mariam

Di ulangtahunnya yang ke 15, tak ada lain yang sangat diinginkan Mariam selain pergi ke Herat bersama Jalil untuk menengok istananya, dan tinggal bersamanya. Dia ingin mendengar nama besar Jalil di kota ini sambil menunjuk satu persatu property Jalil yang berdiri megah di jalan-jalan di kota ini. Selama ini Mariam hanya mendengar Jalil mempunyai jaringan bioskop yang memutar film-film barat yang tak pernah sekalipun dinikmati oleh matanya.

Tepat di hari itu, tak sabar dia menunggui Jalil. Duduk, berdiri, menengok. Gunung keresahan tampak di raut mukanya. Namun Jalil tak kunjung tiba. Nana tampak murung. Berulang kali kata-kata Nana “Kalau kau pergi, aku akan mati. Dan kalau aku mati kamu akan sendiri. Kamu akan sendiri” berputar dikepalanya, bak rewind otomatis sebuah mesin perekam ciptaan Tuhan. Entah setan mana yang membawa Mariam nekat pergi ke Herat berjalan kaki.

Hati Mariam berdebar-debar taklala kakinya menapaki Herat. Jalil adalah orang terpandang di kota itu. Siapa yang tak kenal dia. Berbekal nama besar Jalil, sampailah dia di depan istana Jalil. Kekagumannya kian memuncak. Namun seorang gadis kecil yang muncul di depan pintu mengatakan Jalil sedang tidak berada dirumah, diapun tak membiarkan Mariam menikmati indahnya isi istana itu. Seorang yang mendiami rathole tak layak masuk istana. Malam itu, Marian tidur dihalaman di depan istana Jalil. Keinginannya bertemu Jalil masih kuat, hingga keesokan harinya seorang sopir memaksanya keluar. Sesaat sempat terlihat olehnya wajah seseorang dibalik kelambu-kelambu yang dengan tiba-tiba ditutup rapat. Seorang Bapak takkan membiarkan darah dagingnya tidur beralas tanah. Tidur beradu debu dan udara malam. Bahkan tidur di lubang tikuspun masih jauh dari layak.

Diapun pulang diantar sopir Jalil. Perasaan Mariam tak keruan, langkahnya gontai, pikirannya kembali ke kolba, a rathole, ke pohon willow-tempatnya mengadu kegundahan hati. Apa yang dikatakan Nana benar adanya.
Mariam membiarkan lelaki itu mendahuluinya menuju kolba. Kumbang-kumbang berdengung diantara bunga-bunga yang tumbuh liar. Tiba-tiba saja sopir itu sudah berdiri di depannya mencoba mendorong Mariam untuk berbalik arah.

Sayang, lelaki itu tak cukup gesit. Mariam terpaku : A gust of wind blew and parted the drooping branches of the weeping willow like a curtain., and Mariam caught a glimpse of what was beneath the tree: the straight-backed chair, overturned. The rope dropping from a high branch. Nana dangling at the end of it .

Kisah ini tidak berhenti sampai disini, penderitaan Mariam masih berlanjut. Semisal, perjodohan – yang dipaksakan oleh ketiga istri Jalil demi mendepak gadis muda ini dari istana Jalil -dengan seorang duda tua rekanan Jalil. Apakah kebahagiaan tidak ada dalam garis hidup Mariam? You’d better read this book your self. Merasakan kegetiran Mariam yang menyentuh perasaan kita terdalam, terutama Anda kaum wanita.

Oh ya, cerita di atas hanya bagian awal novel karya Khaled Hosseini. Dengan setting Afghanistan 30 puluh tahun terakhir. Dari masa pendudukan Soviet, masa kejayaan Taliban hingga post Taliban. Setting ini mirip dengan setting kisah Amir dan Hassan dalam buku Khaled Hosseini terdahulu. Kalau Anda menikmati alur cerita The Kite Runner, kupastikan Anda akan menikmati pula A Thousand Splendid Suns.

Time to Relax

Today, I could, finally, breath a sigh of relieve. Not much to be done. Having black background screen would somehow bore me. Reading through communities of small letters on yellowish papers made me as if I was reading a very old print edition of newspaper. Sterling bearish, Aussie bullish, Yen strengthened – reduce the profit of carry trade activities, volatility continues while market players are focusing on the Fed meeting in mid Sept. “What’s next?” I asked to my self. Sudoku would be a very good idea :). Lets play!