Aku dan Marianne Katoppo

Tak bisa kubilang bahwa ini peristiwa kebetulan belaka. Tatkala seorang sahabat mulai membakari kertas-kertas undangan yang dihiasi dengan puisi indah Kahlil Gibran yang terjemahannya kuambil dari sebuah novel lawas berjudul ‘Dunia Tak Bermusim’, aku meratap, menyadari bahwa bukti sejarah ini harus dilenyapkan demi menyediakan ruang bagi kenangan-kenangan baru. Bukan undangan itu, pun nama-nama yang tertulis indah di sana – karena seperti pepatah menyebutkan bahwa waktu akan menyembuhkan, dan lima tahun telah berlalu- tapi, kata-kata yang dipilih Marianne Katoppo untuk menerjemahkan puisi Kahlil yang mesti turut menjadi abu yang aku sayangkan. Lalu diawalilah suatu masa, pencarian novel-novelnya, hingga kemudian kudapati sebuah berita “Pengarang-Teolog Marianne Katoppo berpulang – 13 Oktober 2007”, tepat seminggu setelah kuawali masa pencarianku. Ah, satu keindahan telah pergi, melayang bersama abu kenangan. Namun aktivitas hunting novel tetap berlanjut.

Mariane memang tidak hidup di jamanku. Papaku mengoleksi buku-buku karyanya. Tentu novel seperti Dunia Tak Bermusim, Raumanen dan Terbangnya Punai telah kubaca tanpa perasaan ketika aku masih ingusan, berseragam merah putihdan baru mengenal kata majemuk. Bahkan kala itu aku menutup Novel Raumanen dengan senyuman “Akhirnya selesai juga”.

Sebagaimana waktu telah diklaim sebagai tabib ulung penahir lara hati, waktu juga dituduh sebagai perubah perasaan manusia. Ketika membaca kembali Novel Raumanen sebagai buah pencarian selama beberapa minggu, aku baru menyadari kegetiran bahwa Raumanen adalah korban. Korban dari perasaan cintanya.

Novel yang hanya setebal 131 halaman ini diawali dengan kisah Raumanen yang menyadari bahwa akhir-akhir ini teman, saudara dan sahabatnya sudah jarang mengunjungi rumahya yang kecil dan sepi, di bawah pohon flamboyant tua. Dia merasa terasing. Monang, kekasih hatinya, yang kalah dan yang telah menyeret Raumanen kedalam jurang kekalahan-pun sesekali saja datang menengok. Itupun sehari sesudah perayaan hari-hari besar. “Dia pasti takut ketahuan istrinya” pikir Manen. Monang tak lagi bercakap dengannya, namun setiap kali kedatangannya dibawakannya bunga kesayangan Manen, Mawar Kuning.

Tersebutlah Raumanen – gadis bermata bulat, aktivis mahasiswa, lincah dan cerdas – yang dalam bahasa Minahasa berarti “gadis pembawa panen”. Monang adalah pemuda Batak, insinyur yang sukses. Namanya kependekan dari Hamonangan yang berarti “Menang”.

Monang telah menyeret Raumanen kedalam buaiannya. Hingga setanpun berkuasa. Dosa yang tercipta di sore kelam kala hujan mengguyuri Puncak, telah mengutuki penciptanya. Manen hamil. Raumanen, si gadis pembawa panen, telah memaneni buah dosa yang dibuatnya. Monang yang ternyata tak pernah menang atas hidupnya sendiri, harus menyerah pada adat. Pemuda Batak ini harus menikah dengan pariban pilihan ibunya. – Ah ini bukan jaman kita lagi.

Raumanen tak kuasa menanggung sikap pengecut Monang dan menyadari kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya akan terlahir cacat, yang karenanya tak ada pintu lain yang terbuka baginya selain abortus provocatus. Namun beranikah dia membuka pintu ini? Bukankah ada tertulis dalam kitab perjanjian lama – “Jangan membunuh”?

Diantara langit yang mulai menggelap, Raumanen alpa. Sambil menggenggam kunci yang akan membebaskannya nanti. Ia memilih untuk membuang diri ke neraka. Terbuang dari Tuhan dan manusia. Terputus dari sumber kasihnya.

Novel ini diakhiri – lagi – dengan puisi Kahlil Gibran :
“Karena maut dan kehidupan itu satu adanya.
Sama seperti sungai dan samudra satu jua
Karena mati itu tak lain dari berdiri telanjang dalam badai
serta bersatu dengan matahari
Dan berhenti bernafas tak lain dari pada menceraikan nafasmu
dari pasang surut yang tak kunjung henti
Hingga kau dapat naik serta mekar mencari Ilahi”

Raumanen akhirnya menyadari dan mengerti … dipandanginya Monang, kekasihnya, bersujud dimuka salib putih, batu nisan yang bertuliskan “Raumanen” serta satu tanggal, disuatu hari yang kelam, sepuluh tahun lalu.

When October Goes …

And when October goes
The snow begins to fly
Above the smokey roofs
I watch the planes go by

The children running home
Beneath a twilight sky
Oh, for the fun of them
When I was one of them

And when October goes
The same old dream appears
And you are in my arms
To share the happy years
I turn my head away
To hide the helpless tears
Oh how I hate to see October go

I should be over it now I know
It doesn’t matter much
How old I grow
I hate to see October go