Happiness ???

Once, Deidre O’Neil,who is known as Edda told me:
“Why am I not looking for happiness when everyone has taught me that happiness is the only goal worth pursuing? Why am I going to risk taking a path that no one else is taking?
After all,what is happiness?
Love,they tell me.But Love doesn’t bring and never has brought happiness.On the contrary,it’s a constant state of anxiety, a battlefield; it’s sleepless nights, asking ourself all the time if we’re doing the right thing. Real love is composed of ecstasy and agony”
~the Witch of Portobello~

Miracle of the day

Lijiang China

“None of us knows what might happen even the next minute, and yet still we go forwards. Because we trust. Because we have Faith.”

Dear … miracle happens to those who believe it.

Sesaat di Pulau Sempu

Pulau Sempu

Itinerary dadakan kembali tercipta. Hanya demi memuaskan keingintahuan kami akan geografi negeri yang diberkati dengan keindahan tiada tara ini, Sabtu lalu kami melakukan soft trekking ke Pulau Sempu.

Pulau Sempu terlintas begitu saja di sela-sela pembicaraan santai dengan partner trekking. Idenya untuk ke kota Malang weekend kemaren segera kusambut dan kueksekusi seusai meeting di Mataram.

Pulau yang terletak di selatan pulau Jawa ini merupakan cagar alam dan bukan tempat wisata. Dengan jarak kurang lebih 70 km dari kota Malang dan jalan yang meliak liuk namun cukup mulus, pulau ini dapat ditempuh dalam waktu 2 jam. Melakukan perjalanan pagi tentu saja disarankan, karena Kamu tak harus berbagi jalan yang sempit dengan truk truk besar pengangkut tebu. Peta Jawa Timur yang kami persiapkanpun nampak masih terlipat rapi tak tersentuh, mengingat rambu-rambu dari Kota Malang menuju lokasi yang cukup jelas dan sangat membantu. Dengan Rute Surabaya – Malang – Turen – Sitiarjo dan berakhir di Pantai Sendang Biru, membuat perjalanan pagi itu selain menyenangkan juga melelahkan. Namun kesegaran paduan warna hijau, biru dan dibumbui bau khas laut, segera memusnahkan kepenatan kami.

Sebagai kawasan konservasi, Pulau ini semestinya tidak sembarangan menerima pengunjung. Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh ulah-ulah pengunjung yang tidak bertanggung jawab bisa mengganggu program konservasi satwa, pun tumbuhan endemik di pulau ini. Tak heran bila memasuki Pulau ini, surat ijin mesti dikantongi, atau setidaknya kulonuwun dengan yang punya rumah.

Setelah memegang dua nama “Pak Tikno dan Pak Tiksan” yang rupanya sering di kunjungi oleh rekan-rekan Papa dari Kebun Raya Purwodadi, kamipun segera menuju ke lokasi. Pak Tikno yang cukup permisif dan tak berbelit-belit segera menjelaskan peraturan yang mesti ditaati.

Dengan jarak tempuh dari Pantai Sendang Biru ke Pulau Sempu yang hanya memakan waktu 10 menit dan biaya sewa kapal nelayan untuk antar jemput sebesar 70 ribu, sampailah kami di sisi utara Pulau Sempu. Hutan mangrove-pun segera menyambut kami. Sesaat oksigen yang terhirup berubah menjadi euphoria yang meletup-letup.

Memasuki kawasan hutan, Trachypithecus auratus, Si Lutung Jawa nan hitam legam menampakkan diri di antara pohon-pohon tinggi, seolah mengingatkan kami, bahwa hutan bukanlah tempat yang pas untuk malam mingguan. Kamipun bertatapan dan saling tersenyum. Lihatlah, betapa alam disekitar kitapun tak hanya menawarkan keindahan, kebahagiaanpun tersajikan didepan mata.

Perjalanan menuju Danau Segara Anakan yang merupakan laguna, menempuh waktu kurang lebih satu jam, jarak yang hanya 1,8 km itu cukup moderate untuk dijalani. Malah menurutku termasuk dalam kategori ringan, apalagi kalau kamu memiliki partner trekking yang pas.

Suara burung pun suara gesekan aktifitas semut didalam rumah tanah-nya yang menempel di pohon-pohon besar dan ditimpa suara angin yang menyentuh pucuk-pucuk pohon, mengiringi langkah kami. Harmoni suara yang tercipta takkan tergantikan dengan dentingan piano yang melantunkan komposisi Beethoven-Moonlight Sonata sekalipun. Pulau yang konon menjadi hunian Elang Jawa dan Elang Hitam ini memang menyajikan segalanya. Buceros rhinoceros, Rangkong Badak yang berwarna hitam dengan semburat putih di sekitaran ekornya sempat melintas di atas kami, seolah menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari rantai kehidupan di pulau ini. Konon di Pulau ini juga memiliki sumber air tawar yang sempat dimanfaatkan oleh penduduk disekitar Sendang Biru. Tak heran, macan dan beberapa satwa langkapun pernah tinggal disana.

Pukul 13.30 kami tiba di Segara Anakan. Saat yang kurang tepat untuk memulai sesi photography. Filter CPL segera kupasang demi munculnya warna-warna indah yang takkan dirusak oleh over exposure dari terik matahari. Dengan ISO minimal, mulai kupindahkan keindahan Segara Anakan kedalam keabadian file berformat jpg. Tripodpun ikut mengambil bagian dalam sesi pemotretan ini.

Sore-pun akhirnya merengkuh kami. Segara Anakan sesaat surut, sejalan dengan surutnya euphoria kami yang harus segera pulang ke Malang. Sesekali tampak gelombang besar yang menembus karang-karang bolong, mengalirkan air laut ke dalam Segara Anakan, danau akan terisi kembali, dan sikluspun terawali. Satu jam lagi bibir Pulau Sempu akan terjangkau, 10 menit kemudian Pulau Jawa akan kembali tertapaki, dan 2 jam berikutnya Kota Malang akan kami telusuri.

Sesaat di Pulau Sempu takkan pernah terhapus dari ingatan.

Berpasangan Versi Plato

Judul tulisan ini tentu dipilih begitu saja. Dan, “berpasangan” muncul sebagai ide bukan karena jealous dengan Jeng Ely yang lives happily dengan spousenya, Gin yang selalu bangga dengan Radya, Mas Nova yang suka cerita kalau tiba-tiba perasaan kangen menyeruak tatkala teringat Vinz dan Vell. Hanya saja justifikasi untuk segera mengakhiri kebebasan dan kenikmatan menjadi single, kadang terasa tidak seimbang dengan beban dan ketakutan yang menjadi risiko buat mereka yang harus melepaskan status single-nya.

Tulisan Vira ini segera memunculkan kembali ingatanku tentang berpasangan versi Filosof Yunani, Plato. Mengapa kita memilih untuk berpasangan? Demi menghormati keputusan-keputusan pribadi yang mengganggap bahwa menjadi single membuatnya menjadi manusia yang lebih baik, aku sengaja tidak menggunakan kata ‘harus’ dalam berpasangan. It’s not about right or wrong decision, but how we confidently choose the right path of our life.

Plato menyajikan ide yang cukup menarik tentang berpasangan, melalui kisah penciptaan Adam dan Hawa. Berbeda dengan kisah sebagaimana tertulis dalam versi Al-Qur’an pun di Alkitab, Plato memberikan suatu ide yang menarik bahwa dengan berpasangan we actually regain our strength that we had before in the earlier days.

Demikian Plato berkisah: Pada mulanya, diciptakanlah manusia, namun secara fisik mereka tidaklah seperti apa adanya kita saat ini. Makhluk ini just one being, dengan satu tubuh dan satu leher, namun memiliki kepala dengan dua wajah, looking in different directions. Dengan empat tangan, empat kaki dan dua sex organ yang berbeda, membuatnya seolah-olah seperti dua manusia yang glued back to back.

Tatkala dewa-dewa Yunani mendengar tentang makhluk ini, merekapun gelisah, ancaman telah berwujud. Karena makhluk dengan empat tangan berarti dia dapat bekerja lebih keras; dengan dua wajah berarti dia akan selalu waspada dan tak kan bisa dikejutkan oleh hal apapun, dan empat kaki berarti dia lebih mampu bertahan, berdiri dan berjalan untuk jangka waktu yang lama tanpa merasa lelah. Dan yang lebih membahayakan, dengan two different sets of sex organs berarti makhluk ini mampu melakukan self reproducing tanpa memerlukan makhluk lainnya. Betul-betul powerful.

Zeus-pun murka dan berencana untuk membuat makhluk ini kehilangan sebagian kekuatannya. Dengan hempasan halilintar terpotonglah makhluk ini menjadi dua bagian. Inilah awal penciptaan Adam dan Hawa.

Mereka beranak pinak, memenuhi bumi. Namun manusia lelaki dan perempuan ini tidaklah sekuat dulu, kala mereka masih menjadi satu tubuh. And now they have to search for their lost half and embrace it, and in that embrace, regain their former strength, their ability to avoid betrayal and the stamina to walk for long periods of time.

So dear friends, it’s the nature of being in a relationship; we are each of us dependable. Surely, nothing’s wrong, because we’re in the process of regaining our strength. I know this posting won’t change your mind, Vir dan ingat Gregor Mendel-pun takkan bangun hanya demi meyakinkanmu, bahwa kamu bisa menghasilkan gen-gen terbaik di dunia :).

 


Pesta Buku

Pesta Buku hampir usai, aku belum juga beranjak. Tak seperti tahun lalu, aku datang di minggu pertama pembukaannya. Kini, dengan alasan sibuk, lelah, partner jalan yang belum datang (kala itu sih…), kambing hitam untuk tidak datang ke pameran itu-pun akhirnya dapat diterima semua. Toh inibuku.com masih setia mengirimkan pesanan buku-bukuku tanpa aku harus beranjak dari depan komputer. Terlebih lagi waktu senggangku masih didominasi tulisan Greg Mortenson dan David Oliver Relin dalam Three Cups of Tea, kisah Greg Mortenson yang gagal mendaki K2 – konon oleh para climbers K2 dianggap sebagai the toughest summit to reach on earth, bahkan mereka menjulukinya “the killer”, pun “the savage peak” – yang berakhir dengan misi kemanusiaan di Pakistan dan Afganistan. Jadi, buku baru untuk sesaat belum dibutuhkan.

Oh ya, rak buku yang penuh juga menjadi alasanku untuk menunda ke Pesta Buku.
Tentu hasil belanjaan di Pesta Buku akan memenuhi actual rak bukuku, tapi tidak dengan virtual rak bukuku, ini bukan karena buku-buku berbahasa Indonesia belum masuk disini .

Jadi alasan kuat apalagi yang bisa memaksaku untuk pergi ke pesta buku tahun ini?

Ketika kata "Pulang" diintepretasi oleh Law of Attraction

Pagi ini, kudapati sebuah email dari seseorang di ujung sana yang baru kukenal kemarin dan yang just say thanks karena tulisan-tulisan bebas yang tak berarah di halaman web ini telah menemaninya minum kopi. Email pagi tadi tak hanya berisi kata-kata. Diawali dengan “Stay with me, Lord, to show me Your will” dia attached beberapa lagu, yang memang cukup pas menemaniku minum kopi Arabica Welsel yang kubawa dari Vietnam beberapa hari lalu.

Salah satu lagu kiriman si …-maaf aku tak tahu harus memanggilnya apa, aku yang ceroboh belum sempat menanyakan siapa namanya- bertajuk Pulang. Pasti tau kan lagunya Float – yang cuma tiga itu yang sungguh superb, yang sempat dijadikan soundtrack film 3 Hari Untuk Selamanya. Nikmat memang mendengarkan Float sembari minum kopi, serasa ada yang floating disela-sela biji kopi yang tak hancur. Tapi judul lagu itu seolah mengingatkanku, bahwa aku sangat menunggu kata-kata itu sejak dua minggu yang lalu. Ya, “Pulang”, kata-kata yang menyejukkan dan kian meraja, kala detik-detik “Ku akan Pulang” segera menghampiriku.

Email pagi tadi, lagu itu dan pikiran-pikiranku, semakin menguatkanku untuk mencoba meng-iyakan teori “Law of Attraction” yang pada prinsipnya “Like attracts like”, bahwa ketika kita berpikir tentang suatu hal, kita telah mengundang pikiran-pikiran yang serupa untuk masuk dalam hidup kita. Meskipun interpretasi tentang Law of Attraction ini masih debatable, aku mencoba menelan ide ini bulat-bulat.

Jauh sebelum membaca buku “The Secret” tulisan Rhonda Byrne yang berkisah tentang hukum tarik menarik ini, aku sebenarnya telah beberapa kali mencoba menerapkannya. Semisal, pada saat kita sedih dan kita ingin keluar dari kesedihan itu, cobalah berpikir sesuatu yang positif dan menyenangkan. Karena semakin kita memikirkan sesuatu yang tidak mengenakkan maka secara tidak sengaja kita mengundang pikiran-pikiran serupa untuk masuk dalam diri kita. Hasilnya, kita semakin terpuruk.

Pun itu terjadi pagi tadi, ketika pikiranku tak kunjung beralih dari kata “pulang” seseorang diujung sana mengirimiku lagu bertajuk Pulang. The universe helps you whenever you think about it.

Sekali lagi aku buktikan bahwa dunia ini dikuasai oleh pikiran-pikiran kita dan kitalah yang berkuasa atas pikiran kita sendiri. Kubuktikan pula bahwa tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, jadi, segeralah pulang! Ketika “Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa …” tak lagi memiliki arti. We need a “real person” :).