Sekali lagi Nusantara Symphony Orchestra (NSO) memanjakan kami, manusia-manusia yang dahaga akan musik indah. Tepatnya dua hari lalu, seusai jam kantor yang memenatkan, kami menyempatkan diri menikmati NSO yang mengalunkan karya Brahms di Balai Sarbini.
Brahms, mungkin tak setenar Mozart ataupun Beethoven. Namun namanya cukup melegenda sebagai seorang komposer yang sangat patuh terhadap tradisi musik klasik. Komposer jaman romantik ini terkenal serius dan konservatif, lihat bagaimana dia masih memegang teguh urutan movement klasik dalam sebuah simponi, yakni berawal dari movement cepat, lalu melambat, kemudian diikuti dengan scherzo dan diakhiri dengan rondo besar.
Malam itu dua komposisi Brahms, Piano Concerto no 1 op 15 in D minor dan Symphony no 2 Op 73 in D major yang dibawakan NSO dengan konduktor Hikotaro Yazaki menelusuri kursi-kursi yang tak terisi, nemembusi pilar-pilar dan dinding melingkar di Balai Sarbini, lalu memenuhi ruang hati para pecinta musik klasik yang hadir kala itu.
Seperti sebelumnya, kami datang terlambat, maklum kebutuhan jasmani kadang tak bisa berkompromi, meskipun kepenuhan hati menjadi imbalannya. Jadilah kami memasuki ruangan tatkala tangan-tangan Jun Komatsu masih memainkan bagian pertama Piano Concerto – Maestoso. Ada sedikit kelegaan dalam hatiku, kami belum melewatkan bagian adagio. Kami ini pecinta adagio – komposisi lembut dengan melodi lambat serta gebrakan-gebrakan dramatis namun sederhana – yang tentu tak ingin kami lewatkan dalam setiap konser musik klasik.
“Komposisi yang pas untuk menemani tidur”, bisik partnerku tentang bagian adagio, yang segera kuiyakan dalam hati.
Karya Brahms yang satu ini rupanya banyak dipengaruhi oleh tokoh idolanya Beethoven. Hal ini terlihat dari bagian pertama Piano Concerto No 1 yang nampak kokoh itu, yang konon diilhami oleh karya Beethoven Symphony no.9. Disamping itu, pengaruh Beethoven ditemukan pula pada kemiripan bagian akhir rondo dengan piano concerto ketiga Beethoven.
Oh ya, Brahms ini konsisten sedari awal bahwa dia memang ingin menulis hanya musik saja. Kau takkan menemukan karya opera satupun dengan nama penulis Brahms, bahkan symphonic poem- pun, tidak. Dia tidak menyukai sesuatu yang berbau revolusioner terutama yang akan merusak aturan tone dalam musik klasik. Tak heran, komposer Jerman, Richard Wagner memandangnya sebagai perabot tua yang sudah rusak. Aku, Ibu dan Bapak penikmat Wagner tentu akan segera memahami alasan wagner ini, tatkala mendengar tiap movement piano concerto no1 milik Brahms. Sungguh-sungguh klasik yang konservatif. Sayang malam itu, Bapak dan Ibu ini tak tampak diantara penonton.
Setelah Intermission selama kurang lebih 15 menit yang kami isi dengan percakapan hangat – guna menandingi dinginnya suhu ruangan Balai Sarbini- NSO menyajikan Symphony no.2 op 73 in D major. Terdapat empat movement dalam symphony ini, allegro non troppo, adagio non troppo, allegretto grazioso dan allegro con spirito. Konon, dalam upayanya menulis symphony ini, Brahms ingin membuat symphony ini sebagai karya yang cukup tragis – mungkin ini upayanya untuk menjawab cemooh Wagner. Namun, lagi-lagi gaya klasiknya yang akhirnya turut mempertahankan bentuk musik klasik yang konservatif.
Dalam gerakan awal – allegro non troppo- cello dan bas dimainkan, kemudian disusul movement kedua dengan gaya lambat yang banyak dimainkan oleh cello. Bagian ketiga, dimulai dengan alat gesek, gerakan riang dan tarian yang lincah membawa Hikotaro Yazaki meliak-liuk. Kamipun turut riang, seriang gerakan tangan, kepala dan hentakan kaki kami yang mengikuti irama musik. Dan akhirnya, bagian-bagian panjang dengan alat gesek dengan irama halus dan lembut dibagian awal allegro con spirito seolah menina-bobokan kami (meskipun lagu nina bobo karangan Brahms justru ada pada bagian adagio dalam symphony no.2 ini). Kami yang tengah terlena, tiba-tiba saja terkaget dengan bagian akhir allegro con spirito yang menghentak bak ledakan musik yang menggemakan kemenangan.
Lagi .. lagi NSO menyajikan kepada kami malam nan indah.