Aku dan Buku

“Mengapa ada perasaan peduli terhadap orang yang tidak kita kenal? Apakah kasih itu bersifat menular? Atau hanya sebuah “kesamaan” yang mendorong seseorang untuk merasa peduli?” Sejujurnya, aku tak pernah menemukan jawaban pasti untuk pertanyaan-pertanyaan ini.

Lalu apa kaitannya ide paragraph di atas dengan paragraph-paragraph selanjutnya? Jawabannya ada pada buku dan aku.

Pernahkah kamu menginventarisir hal-hal yang pernah kamu alami akibat buku yang kamu bawa? Pernahkah orang peduli dengan buku yang sedang kamu baca? Vira pernah berkisah tentang kebiasaannya membaca di atas public transportation, yang akupun sebenarnya memiliki kebiasaan yang sama. Dari pada kepala dibiarkan idle, unoccupied oleh suatu ide, buku menjadi teman paling setia, disamping lagu-lagu yang terputar di Mp3 player. Buku membuat jarak tak lagi menjadi masalah.

Tepat seminggu yang lalu, seorang bapak tua yang duduk disamping kananku tiba tiba menyapaku dan menanyakan majalah apakah yang sedang kubaca. Rupanya artikel tentang Aidit yang disertai beberapa foto Presiden pertama RI menarik perhatiannya. Setelah kutunjukkan halaman depan Intisari edisi September 2008, Bapak yang mengaku berusia 80 tahun di bulan Oktober nanti, memulai kisahnya bertugas di Angkatan Udara RI. Akhirnya di sepanjang jalan menuju kantor, aku mendengarkan dengan seksama, dongeng pagi yang dikisahkan dalam tiga bahasa sekaligus, Indonesia, Inggris dan Belanda, tentang nama besar Bung Karno. Sebelum berpisah, dia sempat berujar “The nation which forgets its defenders will itself be forgotten”. Aku tersenyum, bersyukur atas pagiku yang indah.

Kejadian itu segera memunculkan ingatanku pada kasus serupa di atas pesawat yang membawaku menuju kota Surabaya, beberapa tahun lalu. Kejadian ini hampir menjawab pencarianku akan seorang dokter yang telah membantuku keluar dari perut mamaku.

“Kamu veteriner, Mbak?” seseorang disamping kananku tiba-tiba menuduhku. Mendapatkan tuduhan yang kurang beralasan, aku segera bertanya, “Memang saya terlihat seperti dokter hewan, Pak?” Ah rupanya novel yang sedang kubaca itu sempat menarik perhatian si Bapak. Mungkin Andrea Hirata pun Bapak satu ini akan mendapat tuduhan serupa gara-gara menggemari novel-novel dari penulis yang sama, James Herriot. Percakapanku dengan Bapak yang ternyata adalah salah satu dari beberapa dokter kandungan, yang pada hari kelahiranku masih aktif bertugas di RS Syaiful Anwar Malang itu, membawaku ke imajinasi konyol jaman dahulu tentang ‘bagaimanakah muka dokter yang membantu kelahiranku? Apakah dia tersenyum melihatku yang baru pertama kali itu menengok dunia? Bisakah dia bercerita tentang keceriaan yang tergambar di wajah Papa dan Mamaku pada hari Kamis menjelang petang, beberapa puluh tahun silam?’

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan konyol itu belum saatnya terjawab karena Bapak itu bukanlah dokter yang membantu persalinan Mama.

Jadi apakah yang membawa Bapak-bapak itu segera menyapaku? Kasih yang menular? Buku yang kubawa? Atau isi buku itu yang memiliki tempat pribadi di hati mereka? Setidaknya gara-gara buku pula, partnerku terpaksa kuakui sebagai suami karena seseorang yang baru beberapa menit memperkenalkan dirinya tiba-tiba bertanya hal-hal yang sedikit pribadi. Kala itu aku memegang buku Foucault.

Buku membawa kisah menarik bagimu kah? Berbagilah kisah denganku!


17 thoughts on “Aku dan Buku”

  1. 1. jadi, nov apa rasanya ‘bersuami’ yang di-ijab-kan oleh buku…humm..apa yang sudah disatukan oleh buku..tidak dapat dipisahkan oleh manusia.

    2. aku juga sempat beberapa kali bertukar name card karena buku yang sedang aku baca. one day, ketika aku lagi makan di sebuah resto, ada seorang perempuan yang menyapa..”hai mbak..waktu itu kita satu bus, mbak baca buku puisi”….BAH! berasa seleb kali aku!!

    3. Pertemuanmu dengan bapak itu..pasti manis…tidakkah itu membuatmu begitu suka, karena tiba-tiba ada ‘crayon’ baru di kanvas waktumu??

  2. Buku Herriot, dan juga Soe Hok Gie, membuat aku mulai menulis catatan harian, yang terus bermetamorfosis, dan sekarang jadi blogging :). Buku Herriot juga bikin aku kenal nama Wagner, dan curious pada musiknya. Tapi jarang ada yang mau menginisiasi talk dengan aku di jalan gara2 buku yang aku baca. Cuman ingat seorang bapak tua yang penasaran sama buku “C” yang aku pegang. Atau buku Dilbert yang bikin diskusi panjang tentang manajemen dengan seorang expat. Atau … eh, lama2 banyak juga.

  3. buku selalu ajaib, selalu memberi hal-hal baru yang sebelumnya kita tak tahu walaupun banyak orang bilang itu buku ini itu nggak bagus.

  4. @Vira: (1) Yang disatukan oleh manusia, jangan dipisahkan oleh buku Vir. Jangan mentang-mentang doyan buku, partnernya dicuekin 🙂 Umm rasanya diijabkan oleh buku? Wow, susah diceritakan 😉
    (2) Kurasa dikau memang layak menjadi seleb Vir! Jangankan oleh buku, hal-hal yang lain sekalipun, melayakkanmu jadi seleb koq.
    (3) Iya Vir … Tuhan membuat hidupku jadi terlalu berwarna 🙂
    @Endi: Gara-gara buku, Anda jadi terpaksa membaca tulisan-tulisan kitsch saya, Pak.
    @Koen: Kebayang gak kalo Calvin n Hobbes yang dibawa Pak? Sebelah kita akan ikut kecicikan.
    @Hedi: Most of the time, kita menilai bagus enggaknya sebuah buku dengan taste kita Sam, yang rasanya sangat-sangat personal. Tapi bener, kadang meskipun kita gak minat karena kita pikir buku itu gak bagus, buku itu masih saja memberi apa yang belum kita miliki: “Pengetahuan Baru”.

  5. Lima sekawan yang membuatku ingin jadi petualang 🙂 dan terealisasikan ketika aktif bergabung dalam kegiatan kepramukaan :).

  6. @Enggar: Aku juga suka tuh Mbak. selain Lima Sekawan, jaman dulu, daku juga menggemari Seri Detektif Cilik: Hawkeye Collins & Amy Adams. Buku-buku cerita itu membuatku pengen jadi detektif, cuma gak kesampaian gara-gara kuliahnya salah ambil jurusan.

  7. @Nova: Wah, kayaknya daku pelit kalo bagi-bagi buku Kang, kecuali buku tulis dan buku gambar 😉
    @Apelga: Really? how are you so sure it was me?

  8. i accidentally got a link of one of your article about karimun jawa when googling for wisma apung. I think we were there on the same days =-)

  9. @Apelga: Berarti saya mengenal Anda :). Karena terisolasi di tengah lautan selama 4 hari tidak memungkinkan kita untuk tidak saling mengenal. Betulkan? So Lebaran kemaren jalan kemanakah? Mencari tempat yang mampu menyajikan euphoria sama seperti ketika singgah di Wisma Apung?

  10. iya, minimal kalau bertemu lagi, akan ada kesan kita memang pernah beririsan di satu tempat dan waktu yang sama =D.
    kemaren ngga kemana2, cuma menikmati jakarta yang sepi saja =D
    mungkin boleh juga kalo ada rencana untuk explore tempat lain untuk kirim invitation nya ke gue, you’ve got my mail right =-)

  11. hi Novi.. salam perkenalan.. I came to know your blog from a friend …
    Browsed your gorgeous pictures and seneng rasanya kalao bisa menambah kawan yg suka travelling as much as you do!! You indeed are an explorer yah.. and an avid reader as well!! Your “Aku dan Buku” … puts a smile on my face!! 🙂
    You have my email yes?? Do you mind keeping in touch via email as well??
    Seperti kata “apelga” … kalo ada rencana untuk explore pelosok2 di Indonesia…. kabari yahhh.. Keep in touch ok!! Will bookmark your blog for future updates!! 🙂

  12. hhhmmm.. pernah suatu sore sambil ngopi ditemani oleh novelnya Thomas Harris – Hannibal, trus disapa ama orang separuh baya yg ntah kenapa gue ngerasa tuh bapak wajahnya mirip ama Anthony Hopkins.. tatapannya dingin dan senyumannya penuh rencana…

    uniknya lagi ternyata tuh bapak cukup tau detil ttg si tokoh Hannibal dan Novelnya Thomas Harris… setelah membahas beberapa adegan dalam cerita di novel, gue langsung izin pamit… ngacir dulu ah… takutnya tuh bapak psycho juga… atau mungkin gue yg udah jadi paranoid ngebaca novelnya Thomas Harris…

    Me, a Book and a Serial Killer… 🙂

Leave a Reply to Endi Cancel reply

Your email address will not be published.