Cinta dalam seoles balsem

“Cinta berhubungan langsung dengan rasa”, Ibu Tesarini mulai berkisah.

Kalau diartikan secara harafiah, balsem – menurut Ibu Tesarini- berarti cinta, karena olesannya akan menyisakan rasa. Rasa panas di kulit, lebih tepatnya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menceritakan kisah Ibu Tesarini, seorang wanita tegar yang digambarkan Arswendo dalam buku “Kau Memanggilku Malaikat”. Bahkan tulisan Arswendo ini, tak berkaitan sedikitpun dengan balsem. Anis telah menuliskannya dengan sangat menarik.

Lalu apa kaitannya antara balsem dan cinta? Mengapa dalam setiap olesannya, serasa cinta terkandung? Kalau memang pengertian secara literal bahwa “balsem menimbulkan rasa dan rasa adalah cinta” adalah pengertian yang sangat tak masuk akal dan sembrono, bagaimana kita mengaitkan setiap olesan balsem dengan cinta?

Kisahnya demikian …

Ketika kamu hendak menjalani aktifitas fisik selama beberapa hari, risiko keseleo atau pegal-pegal pastilah masuk dalam perhitunganmu. Kalau kamu termasuk dalam golongan orang yang mengikuti “common sense”, risiko itu akan kamu analisa. Kamu akan mulai memikirkan, seberapa besar kemungkinan kecelakaan akan terjadi, apa saja yang harus dilakukan guna meminimalisir damaging efeknya andai kecelakaan itu benar-benar terjadi.

Bisa saja “ikut life insurance” secara serta merta muncul dalam benakmu. Tapi rasanya koq terlalu berlebihan ya. Apalagi sampai menulis surat wasiat segala, walahh sungguh merepotkan.

“Selalu berhati-hati dalam melakukan aktifitas fisik, gunakan perhitungan, sesuaikan dengan kemampuan,” serasa sebuah petuah klasik yang membosankan yang terlontar dari seorang ibu, bapak, kakek, nenek, istri, suami ataupun kekasih pada si “significant other”-nya yang akan pamit pergi. Aku yakin diantara kita acapkali menjawabnya dalam hati demikian,”Ya, iyalah masa ya iya dong” atau “Duhh, basi banget deh”

Cara lain yang cukup biasa dan masuk di akal, adalah dengan membawa balsem. Ini adalah aktifitas hedging untuk mengurangi risiko terburuk. Iya membawa balsem bisa dikategorikan dalam aktifitas hedging, pun dalam konteks finance. Dengan selekas mungkin mengoleskan balsem, dapat mengurangi risiko semakin parahnya keseleo. Semakin parah keseleo semakin time consuming untuk pemulihannya, berarti semakin besar pula biaya perawatannya. So, membawa balsem dapat mengurangi beban biaya. Cukup masuk akal bukan?

Tapi apa jadinya kalau ada seseorang telah memikirkan semua kemungkinan terburuk yang dapat terjadi, yang baginya balsem merk bla-bla-bla adalah remedi terampuh, dan esok aktifitas fisik telah menantinya, namun balsem miliknya yang konon ampuh itu telah dia relakan begitu saja, lepas dari tangannya?

Balsem itu ada bersamaku saat ini di Singapura, dan beberapa jam lagi balsem itu akan segera berada di Bangkok untuk beberapa hari. Setiap olesannya, di siku tangan kananku yang bengkak gara-gara kecerobohanku semalam, akan membuatku teringat padanya.

“Rasa yang saya katakan ini bukan rasa pahit, rasa manis, rasa getir, rasa pedas, rasa enak… melainkan rasa, perasaan, atau bathin”, Ibu Tesarini melanjutkan kisahnya.

Balsem adalah cinta, karena dia telah menguatkan simpul-simpul yang berkaitan dengan rasa. Bukan rasa panas, pun pedas, yang terasa di kulit, tapi rasa bathin yang berhubungan langsung dengan ketulusan, tanpa pamrih, dan tanpa menuntut imbalan.

Thanks for showing me that love is simple. Holong do rohaku …

Sugeng Warsa Enggal

Sebagai penganut kalender gregorian, moment enam hari lalu adalah permulaan. Spesial? Bagiku, iya. Tapi ketika kami berkeliling Jakarta pada tanggal 1 Januari, banyak kami lihat manusia-manusia tampak menjalani hidup seperti hari-hari sebelumnya.

Malam tahun baru kemaren adekku dan keluarganya menghabiskan pergantian tahun di Kuta Bali. “Iya ada pesta kembang api disini, tapi yang nyalain para pengunjungnya” komentarnya sesaat setelah tahun 2008 kami tinggalkan.

“Fireworks di Sydney bagus loh”, kata partner yang belum pernah sekalipun merayakan tahun baru disana. Kalau melihat foto-foto di internet, yup akupun setuju, it could be one of the best cities for new year’s eve celebration.

Tahun lalu kami menghabiskan malam pergantian tahun di Marina Bay, Sg. Demi fireworks kami rela berdesak-desakkan. Tahun ini, fireworks cukup kami nikmati dari atas loteng rumah. Kulihat beberapa orang menengadah dari atas Masjid di depan rumah. Ahh andai aku bisa naik ke atas Masjid itu. Si ‘Anak Bungsu’ dari keluarga partner sibuk di halaman  rumah menyaksikan langit Jakarta yang sedikit berawan segera dihiasi taburan cahaya cerah bertubi-tubi. Sesaat tapi indah.

Tahun baru identik dengan kembang api? Tidak selalu. Seorang teman mengirimkan pesan dari sebuah pulau kecil di Kalimantan Timur. “Selamat tahun baru ya. Tadi malam aku menyaksikan gugusan bintang di Pulau Derawan …” 

Seorang sahabat di Bogor berkisah,” Buat persiapan pergantian tahun kami semua udah beli terompet, tapi sayang disayang terompet hanya menggantung saja. Anak-anak hanya kuat sampai jam 11 malam walaupun pas beli terompet udah yakin pasti bisa bertahan sampai pergantian tahun buat tiup terompet” Akhirnya temankupun menghabiskan malam itu hanya berdua dengan suaminya. Malam yang indah.

Temanku yang lain terbaring lemas, sakit kuning yang dideritanya memaksanya untuk tidak beranjak dari tempat tidur. Iya, hidup kadang tidak adil.

Titik di Malang mengirimkan pesan singkat “Merry X’mas and Happy New Year”. Ntahlah apa yang sedang berkecamuk di kepalanya. Anyway, happy new year too, Tik. 

Aku sendiri? Tak ada pesta meriah, tak ada desakan dari lautan manusia, tak ada tiupan terompet, tak ada segelas champagne dan tak ada teriakan-teriakan yang membahana. Tahun ini kami cukup berdoa bersama. Berharap semua keindahan, semua kebaikan dan kedamaian boleh di anugerahkan pada semua, manusia di bumi. Tapi, satu hal yang selalu aku percaya, Dia tidak menjanjikan langit selalu biru dan rumput yang selalu hijau. Penderitaan dan  air mata akan selalu menyertai. Tatkala partner memimpin doa ditengah keluarga kecil itu, dalam hati aku menyisipkan kata-kata, “Kiranya Engkau memberi masing-masing kami kekuatan dan ketabahan serta perisai kebijaksanaan dalam menjalani hari-hari kami.”

Selamat tahun baru. Berkutat dimasa lalu adalah sia-sia, kita tak kan pernah mampu mengubah masa itu. Terlalu fokus ke masa yang akan datang hanya membuat kita meradang, ketakutan akan ketidakpastian akan segera menjelang. Jadi, selamat menjalani hari ini. Let’s live in the moment.