Sebuah PR dari Anis

3 hari yang lalu Anis meninggalkan PR untukku. 25 fakta tentang aku rasanya terlalu banyak Nis, jadi perlu kutawar menjadi 10 saja yang mungkin tak banyak yang tahu, pun teman dekatku. So this is the 10 little known facts about me:

  1. Lebih seneng ngeliatin cewek cakep dari pada cowok ganteng … mmm don’t get me wrong ya 🙂 aku masih normal koq. Aku suka Luna Maya dan Meg Ryan
  2. Aku penggemar HC Andersen, dan Grimm brothers. Efeknya, aku nonton film Ever After sampe lebih dari 10 kali, meskipun film yang kusuka adalah English Patient, Before Sun(set/rise), and Eterrnal Sunshine of The Spotless Mind. Terobsesi untuk mengunjungi kastil-kastil di eropa. Paling seneng dongenin bocah-bocah. Suka menirukan percakapan dari sebuah cerita, “Ampun-ampun tanganku kan hanya dua. … “(Cinderella) “Kukuruyukkk… kepada Matahari Pagi datanglah, datanglah, sinarilah bumi ini Matahari-Matahari… Kukuruyukkk…(Sanggar Cerita – Istana Rimba Hijau). “Pipit..Pipit” “Ohh.. Pak Bul-bul yang datang..” (Sanggar Cerita – Pipit Mencari Bunda) … walahh banyak banget kalo mau ditulis semua.
  3. Akhir-akhir ini, otw pulang, sering ngelewatin bencong-bencong nongkrong di pinggiran Kuningan. Pengen kenalan dengan salah satu bencong itu, pengen ambil fotonya trus bikin cerita.
  4. Sering ngajak ngobrol kucing yang lagi lewat di depan pintu rumah. Kadang-kadang mereka yang memulai percakapannya. Tapi tak jarang mereka hanya lewat dan tersenyum.
  5. Pernah nyobain buah-buah aneh semisal jospiros malaboreco, atau buah sempur. Suka metik dedaunan trus menciumnya atau mencoba mengunyahnya. Ini efek tinggal di dalam komplek Kebun Raya selama beberapa tahun. Pernah keracunan karena memakan biji dari Pohon Hura Crepitans – tanaman berduri, endemik dari Amerika tengah dan Selatan. This has made me stop being nggragas.
  6. Dari semua kursus yang paling ingin diikuti, kursus menjahit yang paling sering muncul di kepala. Aku pingin bisa bikin baju sendiri.
  7. Kalo lagi sedih sering tiba-tiba meluk gitar or Alkitab. Nah susahnya kalo lagi sedih trus gak ada gitar or Alkitab, gak ada yg bisa dipeluk.
  8. Punya baby sitter dirumah yang setiap jam 6 pagi nyiapin kopi dan oatmeal, bikinin susu kalo malem, dan mijet tiap sabtu pagi. Tapi dia gak pernah mandiin aku.
  9. Jarang mandi kalo nyampe rumah di atas jam 10 malem. oppst.
  10. Mainan waktu kecil: gundu, yoyo, umbulan (apa ya bahasa indonesianya) and sepak bola. Pernah berantem sama anak cowok pas kelas 4 SD. Dan jarang mau ngalah sama mbak, adeknya or temen-temennya. Kecilnya cerewet dan suka teriak-teriak, tapi gedenya pendiem, baik hati, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan. *halahhh …ini mah butir-butir dari sila kedua Pancasila.

Kupikir Vira akan menuliskan fakta-fakta tentang dirinya, atau Mbak Enggar mungkin, atau Mas Nova (kembaranku)?

Analisa Warung Kopi

Sebagai penikmat kopi, akankah kamu membayar berapapun harga kopi yang kamu sukai? Mmm rasanya tidak juga buat mereka yang price sensitive. Lebih baik ngemut permen kopi, kalau memang harga kopinya kemahalan. Taukah kamu bahwa demi meraup uang, warung-warung kopi, semisal S’bux, Gloria Jeans, Costa Coffee, bahkan Kopi Dua Cangkir di Mall Taman Angrek, akan memanfaatkan berbagai cara untuk menangkap the so-called lavish customers-mereka yang less sensitive terhadap harga- lalu mengeksploitasinya. Berapapun harga kopi yang harus mereka bayar, mereka tidak akan peduli. Mereka inilah mesin uang buat para penjual kopi. Trik yang cukup wajar, sebenarnya. Sebuah perusahaan yang mencoba meningkatkan profit dengan memaksimumkan value dari scarcity power yang mereka miliki akan lebih tertarik pada customer yang willing to pay, bukan yang afford to pay. Lalu bagaimana sebuah coffee shop mengidentifikasi jenis customer yang willing to pay ini? melalui price-targeting strategy tentu saja.

“Unique target”, bahwa setiap customer itu unik sehingga setiap customer akan dikenakan harga yang berbeda-beda untuk satu produk yang sama. Misalnya, di sebuah café, sebagai penggemar susu, Vira akan membayar mahal untuk secangkir cappuccino, tapi bagi kami yang penggemar kopi hitam, secangkir cappuccino bisa lebih murah dari harga yang harus Vira bayarkan. Tak ada harga standard untuk segelas cappuccino. Sekali saja, warung itu tahu preferensi kita, mereka akan mengeksploitasinya. Metode ini sedikit kurang manusiawi memang, sekaligus susah untuk diterapkan. Seorang barista takkan mewawancaraimu panjang lebar hanya untuk memastikan preferensimu atas jenis kopi. Bisa jadi aku menjatuhkan pilihanku pada secangkir cappuccino karena harganya yang jauh lebih murah dari pada kopi htam. Tentu saja dengan strategi unique target, mereka gagal mengidentifikasiku sebagai penggemar kopi hitam. Lavish customer gagal terjaring.

Meskipun penerapannya tidak mudah, dan sangatlah tidak popular, toh ada juga yang mencobanya. Bukan coffee shop sih. Masih ingat kasusnya online shop Amazon pada sekitar tahun 2000? Ya, mereka mengeksploitasi preferensi customer dengan mengenakan harga yang lebih tinggi untuk tipikal buku yang mereka beli. Aku, misalnya, yang penggemar Susanna Tamaro, akan membayar dengan harga yang lebih mahal untuk buku yang sama yang dibeli oleh Anis. Bagaimana caranya? Yup sangat mudah, cookies yang tersimpan di komputer kita memudahkan Amazon untuk melacak buku-buku yang pernah kita pesan secara online. Praktik yang licik. Amanzon, tentu saja, harus membayar mahal atas kejadian ini. Oh ya, kalau ada yang tahu sebuah café menerapkan price-targeting strategy seperti ini, kasih tau ya? I wont visit the coffee shop.

Anehnya, kita akan fine-fine saja kalau coffee shop tersebut menerapkan “group target”. Seringkali meskipun kita sadar bahwa kita sedang di-abused melalui pengenaan tariff yang lebih mahal, dalam beberapa kasus, kita tidak protes. Orang dewasa mana yang akan protes kalau harus membayar tariff angkutan lebih mahal dibandingkan dengan tariff anak-anak atau pelajar? Atau warga asing mana yang akan protes ketika mereka harus membayar jauh lebih mahal ketimbang WNI kala memasuki area Candi Borobudur atau Prambanan?

Kembali ke coffee. Coffee bar di daerah stasiun Waterloo-London bernama The AMT Coffee menawarkan tariff yang lebih murah untuk para pekerja di sekitaran stand kopi tersebut. Tentu saja para commuter yang memanfaatkan underground dan bekerja jauh dari stasiun Waterloo mau tak mau harus membayar lebih mahal. Mahal, inilah harga dari being lavish. Commuters yang melewati Waterloo, for the sake of convenience, takkan keluar dari stasiun demi mencari segelas kopi.Bagaimana warung kopi di Jakarta? aku tak punya ide. Mungkin bisa ditanyakan kepada Bapak Kun sebagai loyal customer-nya S’bux, apakah dia mendapat diskon-diskon tertentu?

Nah ini dia cara yang cukup cerdik dan lumrah untuk diterapkan. “Self-incrimination strategy”. Mereka sangat berhati-hati dalam menerapkan price-targeting ini, sehingga seringkali tidak mudah bagi kita untuk menidentifikasi apakah sebuah warung kopi menerapkan strategi ini atau simply transferring the cost. Demi menangkap lavish customer, mereka biasanya menjual varian kopi yang tak jauh berbeda satu sama lain. Misalnya large or small cappuccino, dengan atau tanpa whipped cream. Tentu ada tambahah biaya dengan tambahan feature kopi. Hot Chocolate bisa jadi hanya seharga 25 ribu rupiah, namun ketika pilihan itu jatuh pada White chocolate harganya bisa jadi 35 ribu, padahal dengan ingredient yang hampir sama biaya untuk membuat dua jenis minuman ini seharusnya tak jauh berbeda. Inilah Self-incrimination strategy.

Sebagai customer, memang tak mudah untuk mengetahuinya. Mari kita coba memikirkan satu hal yang cukup sederhana. Untuk secangkir white coffee di Café Oh La La kita harus merogoh kocek sebesar 20 ribu, tidak peduli apakah kita meminumnya di café atau take it away. Kita tentu sudah menduga bahwa penetapan harga 20 ribu ini telah memperhitungkan gaji barista, pun biaya ruangan café. Jadi sederhananya, mereka yang memesan take away coffee, mestinya tak perlu membayar cost untuk space. Toh nyatanya tidak juga, kita tetap harus membayar 20 ribu. Charging untuk space café sangatlah tidak wajar. So Café Oh La La is implementing “Self-incrimination strategy”, karena mereka bisa mengambil keuntungan lebih dari mereka yang memesan take away coffee.

Kalau kamu menemukan warung kopi yang membedakan antara harga kopi yang diminum di tempat atau take away, mereka hanya transferring cost kepada customernya.

Beberapa warung kopi kegemaran kami menerapkan strategi ini, Kopi Dua Cangkir di Mall Taman Angrek misalnya. Ada dua jenis kopi yang kupikir identical ditawarkan di warung ini. Dengan penamaan yang berbeda mereka mematok harga Rp 10 ribu untuk segelas Kopi Toraja dan Rp 16 ribu untuk Kopi Macho yang berbahan dasar sama. Kami sempat dibuat bingung ketika dua kopi tersebut sampai ke meja kami. Kami kesulitan untuk membedakan mana Kopi Toraja dan mana Kopi Macho. Rasanya tak jauh berbeda. Aku segera teringat self-incrimination strategy ini. Yup, mereka cukup smart.

Masih banyak yang bisa dieksplore dari warung kopi kesukaan kami lainnya, Bakoel Koffie, Kopi Poenam atau Blumchen café, tapi untuk menulisnya aku perlu asupan kopi saat ini. Meanwhile… bagaimana dengan warung kopi kesukaanmu?