Day 3 : Balige – Pematangsiantar – Medan

Palm Tree Plantation

Pagi-pagi Pasar Balige, yang bereksterior khas rumah adat Batak, kami singgahi. Ini obyek menarik untuk kameraku. Sesisir pisang Barangan Medan dan beberapa jpeg file menjadi hasil eksplorasi kami pagi itu.

 

Tak banyak agenda dalam list perjalanan kami untuk hari terakhir ini. Kampus Dell di Laguboti yang berada di pinggiran Danau Toba gagal kami masuki. Yup, ini bukan public area. Sebagai gantinya, makam Nommensen yang terletak tak jauh dari Laguboti kami singgahi.

 

Sepanjang perjalanan dari Balige, Porsea dan Parapat, pemandangan indah cukup menghibur mata. Sebuah lanskap yang tak jauh berbeda dengan Lauterbrunnen di Swiss sempat kami lewati. Sayang, jalan yang sempit tak memungkinkan kami berhenti, hanya untuk sekedar mengabadikannya dalam Canon D40. 

 

Sesaat kemudian, Parapat kembali kami lewati. Disinilah irisan perjalanan kami selama 3 hari ini terjadi. Sungguh-sungguh efisien. Berikutnya deretan hutan dan kebun kelapa sawit memenuhi ruang pandang kami. Kamera sempat beraksi, beberapa menit sebelum kami memasuki kota Pematang Siantar.

 

Waktu tersisa tak cukup banyak. Satu jam di Pematangsiantar-pun, kami habiskan untuk mengunjungi seorang teman, makan siang dan menikmati kopi dari warung kopi Sedap. Kopi hitam Sidikalang yang kami minum di Siantar ini, brewing-nya cukup khas, membuat rasa kopi cukup greng untuk dinikmati.  Penasaran itu akhirnya terobati juga, ini rupanya warung kopi yang sering diceritakan partner trekking. 

 

Perjalanan Pematangsiantar menuju Medan memakan waktu 3 jam lebih, jalanan yang cukup padat memaksa kami bergerak lambat. Sesampainya di Medan, berbekal peta kota, lokasi toko Bolu Meranti di jalan Kruing-pun kami temukan. Terparkirnya mobil Inova di depan bandara Polonia tepat pukul 17.30 menyudahi perjalanan 3 hari kami di ranah asli Suku Batak. 

 

Mengakhiri catatan perjalanan kali ini, otakku terus saja mengiangkan kata-kata Nehru “We live in a wonderful world that is full of beauty, charm and adventure. There is no end to the adventures we can have if only we seek them with our eyes open.”. Yup another beauty of this country awaits us. Next trip is being planned.  

Day 2 : Samosir – Tele – Dolok Sanggul – Siborongborong – Tarutung

Magnificent view of Lake Toba

 

Pagi itu matahari tersembunyi diantara awan-awan putih. Banyak inang-inang berbaju hitam dan amang-amang memakai jas dan kopiah bergegas pergi ke gereja. Yup, hari ini umat kristiani memperingati wafat isa almasih. Sementara kami, asyik memotret dan menikmati liburan kami.

 

Di Huta Siallagan, kami sempat singgah sejenak. Deretan rumah adat Batak dan sebuah pohon besar yang dibawahnya terdapat kursi batu tempat persidangan jaman dahulu kala, menjadi sugguhan area wisata ini.

 

Selepas Desa Ambarita, gerimis menghantar kami melalui jalan mulus di bawah bukit hijau, di kejauhan Danau Toba tampak tenang, seolah tak terusik dengan gejolak hati kami yang diliputi luapan kekaguman.   

 

Ditengah euphoria itu, terselip sedikit kegamangan ketika mobil mulai memasuki Kecamatan Pangururan. Sesaat lagi kami akan melewati perbukitan di Tele. Rute yang tak mudah. Aku hanya bisa pasrah. Meskipun  pengemudi inova ini sangat handal dan percaya diri, tak ayal jantungku berdetak tak menentu tatkala mobil mulai menapaki jalan yang tak mulus. “Jangan lupa menulis surat wasiat kalau nekat lewat Tele”, demikian gurauan beberapa teman. Kisah-kisah berujung maut yang terjadi di Tele sempat ku baca beberapa hari sebelum keberangkatan. Nyaliku sempat ciut, tapi partner trekking berkeras hati melewati Tele. Akupun tersadar, “He’s more adventurous than me”. Kanan kami dinding terjal dengan reruntuhan batu yang terlihat masih baru. Sisi kiri kami jurang menganga menuju maut. Sesekali aku mengingatkan “Pak Sopir” agar tetap fokus pada jalan, sementara aku menikmati bukit-bukit dan lembah yang … wow … sungguh elok. Maaf ya Bang, Abang cukup porsea dengan cerita Adeknya, next time Adeknya yang nyetir.  

 

Jarak 50 kilo lebih Tuk-tuk Siadong – Tele kami tempuh dalam waktu 2 jam. Sesuai rencana, kami berhenti sesaat di menara Pandang Tele. Disisi ini pemandangan Danau Toba yang menyatu dengan perbukitan di Tele sungguh menawan hati. “Ini tak sebanding dengan Hutaginjang koq” ucap partner. Pemandangan yang indah menjadi trade off atas risiko yang cukup signifikan, pikirku dalam hati. Aku yang risk averse telah berlebihan meng-assess risiko perjalanan melewati perbukitan di Tele. As long as you have a very good and talented driver, this route is highly recommended. Its outstanding beauty is the reward. 

 

Selepas Menara Pandang Tele,  kami memasuki jalan utama Sidikalang ke Siborongborong. Jalan yang tak rata menjulur begitu saja diantara hutan-hutan yang tampak gundul. Inikah tanda ketidakmampuan alam dalam meredam nafsu serakah manusia? Atau … ini bukti ketidakmampuan manusia untuk secara naluriah melihat ke masa depan, sehingga tindakan-tindakan mereka hanya didasari oleh kepentingan sesaat? Miris melihatnya.

 

Memasuki kecamatan Siborongborong mataku mulai mencari sasaran. Benar, perkebunan kopi yang membuat Siborong-borong menjadi incaran para kolektor Kopi Starbucks adalah salah satu tujuan dalam list perjalanan kami. Kamipun memutuskan mencari warung kopi di pasar Siborongborong, yang terletak di sebuah pertigaan yang mempertemukan jalur Pematangsiantar dan Sidikalang ke arah Tarutung, pun Sibolga. Sayang, tak ada warung yang cukup representatif untuk menjadi tongkrongan kami. Sementara itu, mencari Starbucks di kecamatan sekecil ini adalah suatu upaya yang sia-sia. Lalu melajulah mobil kami menuju titik terjauh- diukur dari Medan – dari rute perjalanan kami selama 3 hari ini, Tarutung.

 

Memasuki Tarutung, partner trekking  mulai menyanyikan “Desaku yang tercinta” keras-keras, membuatku sesaat teringat kampung halamanku. Sebuah kota tua menanti kami, lagi-lagi dengan sambutan rintik hujan.

 

Tepat di depan kantor DPRD – yang megah dan berdesain khas rumah adat Suku Batak – terlihat banyak petugas keamanan mondar-mandir. Hari itu, tepat satu hari Bupati Tapanuli Utara dilantik. Pengamanan tampak sangat berlebihan, membuatku bertanya-tanya, “ada apa ini?” Tiba-tiba saja terlintas di kepalaku, Pak Sintong Panjaitan, yang – dari buku yang kami baca “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”- sedang menghabiskan masa tuanya di kota kelahirannya ini.

 

Tak banyak yang bisa dikunjungi di sana, selain kepentingan-kepentingan pribadi yang tak perlu kuuraikan di sini. Selebihnya, lembah hijau nan indah, dan pegunungan yang melingkarinya jelas membuat ibu kota Tapanuli Utara ini bak kota kecamatan di daerah Malang bagian utara di tahun 80-an, sejuk dan indah. Sore itu kabut mulai menyelimuti Desa Lumban Siagian dan rintik hujan untuk sesaat terhenti, memberi kami sedikit keleluasaan untuk menikmati hari. 

 

Sebelum matahari menghilang diantara perbukitan, kami menyempatkan diri mengunjungi Monumen Raja Panggabean, berfoto bersama salah satu buyut sang raja, mengambil foto lanskap kota dari atas Sungai (Aek) Sigeaon, dan menikmati kopi dari warung kopi di pinggir sungai. Tak lupa dua buah durian, asli dari kota durian (Cat: Tarutung dalam bahasa batak berarti durian) kami nikmati. 

Day 1 : Medan – Berastagi – Tongging – Parapat – Samosir

Sipiso-Piso

 

 

Pukul 10.00 pagi selepas Bandara Polonia, kami menyusuri jalan Jamin Ginting yang ternyata cukup panjang, menuju sisi barat kota Medan. Sepanjang jalan itu, partner trekking mendongengiku kisah-kisah perjuangan, dari Jamin Ginting hingga Alex Kawilarang. Lagu Padamu Negeri serasa teraung-raung ditelinga, disela-sela perasaan bersalah tidak ikut mencontreng.   Namun keputusan melakukan perjalanan ke Sumatera Utara dan menjadi golput dalam pemilu kali ini ternyata tepat. Tidak terdaftarnya aku dalam DPT membuat feeling guilty sedikit teredam.

 

Perjalanan menuju Berastagi cukup lancar, sesekali iring-iringan mobil mulai merambat lambat, menaiki perbukitan. Siang pukul 12.00 tibalah kami di Berastagi, sebuah kecamatan di Kabupaten Karo. Setelah makan siang, kami sempatkan melihat untuk sesaat, Pajak (pasar.red) Buah Berastagi. Sebuah plang bertuliskan “cuci kereta” sempat menarik perhatianku. Perjalananpun berlanjut setelah sesi foto di tugu Perjuangan 45 yang menjadi salah satu landmark kota, kami lakukan.

 

Setelah bergerak kira-kira 10 km arah selatan Berastagi, sampailah kami di Kabanjahe. Kami tidak berhenti di sini. Kami cukup puas melihat pemandangan gunung Sibayak dan Gunung Sinabung dari atas mobil. Pedangan buah-buahan dikanan kiri jalan ikut memeriahkan perjalanan kami siang itu. Tak lupa satu sisir pisang menemani kami melaju menuju Tongging, dimana air terjung Sipiso-piso berada.

 

Tiba di Kecamatan Merek, kami memasuki jalan kecil menuju Sipiso-piso dan Desa Tongging. Hati mulai berdebar. Akhirnya sesaat lagi Danau Toba tampak oleh mataku. Inilah sisi pertama  danau Toba yang akan kami nikmati dalam 3 hari ini.

 

Tampak dari atas, Desa ini bak negeri dongeng, terhampar indah di lembah hijau, dihiasi danau luas nan tenang. Namun tatkala mobil kami mulai memasuki area desa, rasa sepi mulai merasuk. Pasti geliatnya yang tak selincah Tomok atau desa-desa lain di Samosir, membuat desa ini tak terlalu ramai dikunjungi wisatawan asing. Atau sarana transportasi yang kurang mendukung membuat keelokan Desa Togging terpaksa terpendam. Namun tidak demikian halnya dengan air terjun Sipiso-piso yang kala itu ramai pengunjung yang datang meskipun tuk sesaat.

 

Pemandangan perbukitan di Tongging, yang mirip bukit-bukit di Scotland, segera tergantikan dengan pemandangan ladang sayuran dan buah-buahan, disela-selanya perkebunan kopi rakyat membuat ruang pandang kami cukup hijau. Beberapa kali mobil harus memperlambat lajunya demi anjing-anjing dan ayam-ayam kampung yang sepertinya terbiasa dengan jalan yang lengang, sehingga membuat mereka bersantai ria di atas aspal jalan.

 

Perjalanan Tongging  menuju Parapat, melalui Silimakuta, Pematangpurba, dan Dolokpardamean menghabiskan waktu kurang dari dua jam. Tiba di Ajibata, antrian mobil telah menunggu. Kami sangat beruntung, feri masih bisa menampung mobil kami untuk penyeberangan pukul 17.45.  Pelabuhan yang tak besar ini cukup dipadati mobil-mobil yang siap untuk diseberangkan. Cara yang mereka gunakanpun cukup sederhana. Setelah mengitung jumlah mobil yang telah disesuaikan dengan kapasitas feri, pintu gerbang untuk keluar masuk pelabuhan-pun segera ditutup. Petugas segera meneriakkan nomor-nomor plat mobil, sebagai pertanda pemilik mobil agar segera membayar di loket. 95 Ribu untuk satu kali penyeberangan Ajibata menuju Tomok yang hanya memakan waktu kurang lebih 1 jam. Dengan fasilitas di atas feri yang sangat terbatas, tak banyak yang bisa kami lakukan selain tidur di mobil sambil memutar kembali lukisan-lukisan alam yang telah menyuguhi hari kami dengan keindahan.

 

Hujanpun turut menyambut, tatkala feri merapat di Tomok. Mata yang masih awas, mencari plang hotel diantara derasnya hujan. Sesaat kemudian, mobil kami telah berada di area parkir Hotel Tabo di kawasan Tuk-Tuk Siadong, dan Ito’ Jerman-pun menyambut kami.

      

Tak lama berselang, malampun segera meraih kami ke dalam pelukannya.

3 Hari, Tano Batak terjelajahi

Lake Side View

Sebuah pepatah Tao menyebutkan ,“A journey of a thousand miles must begin with a single step”. Sebelum melanglang jauh ke negeri orang, tak ada salahnya menengok negeri sendiri. Tak perlu jauh-jauh ke Swiss, Sumatera Utara punya banyak pegunungan dengan lembah hijau nan elok. Sebuah sindirian untuk diri sendiri. 

 

Banyak tulisan di website pun majalah yang mengawali tulisan kisah perjalanan mereka ke Sumatera Utara, dengan kata-kata  tak afdol kalau melakukan perjalanan ke Sumatera Utara tapi tak singgah di Danau  Toba. Ahhh lagi-lagi aku – yang telah dua kali ke Medan dan hanya tahu jalan dari Hotel Grand Angkasa ke Bandara Polonia – tersindir.

 

Finally, on 9 – 11 April 2009 we embarked on a trip through North Sumatra. Danau Tobapun tersinggahi

 

Alih-alih mengunjungi sanak saudara dan handai taulan di Tarutung, Balige dan Pematangsiantar, kami melakukan perjalanan yang eksotik sekaligus menengangkan di kecamatan dan desa-desa sekitar Danau Toba.

Perjalanan kali ini cukup efisien, tiga hari perjalanan, tiga perempat lingkar luar Danau Toba kami jelajahi.

Berbekal peta wisata dan peta Prop. Sumatera Utara, melajulah kijang inova sewaan kami menyusuri jalan-jalan yang tak selalu mulus.

Cat : beberapa foto perjalanan selama 3 hari di Sumatera Utara dapat dilihat di album ini