“Lebih baik mencegah dari pada mengobati”, seperti ungkapan klise, ketika mengetahui Papa terserang stroke. Terlambat. Terlambat sudah. Seharusnya ini bisa dihindari. Karena statistik menyebutkan bahwa stroke dapat dicegah pada hampir 85% orang. Kita hanya perlu memahami dan mengendalikan faktor risiko pribadi.
Minggu sore itu, tak biasanya kepalaku pusing, perasaan tidak enak tanpa sebab menyerangku. Tidak. Kurasa tidak sore itu saja, seminggu sebelumnya perasaan galau memburuku, tatkala melihat kiriman foto dari adekku, yang tersenyum diapit Papa dan Mama yang tampak tak mau kalah menarik, ikutan memberikan senyumnya yang terbaik. Namun tunggu sebentar…, ada yang aneh dengan senyum itu. Tak biasanya mukanya seperti itu, seperti tertarik ke atas. Aku terus berpikir, sedemikian cepatkah waktu berlalu sehingga kini Papa tampak tua dan layu. Aku sempat menghibur diri, dan menganggap bahwa dia sedang memaksakan sebuah senyuman.
Seharusnyalah aku mengetahui tanda-tanda itu sedari awal. Sehingga upaya pencegahan dapat segera diputuskan. Ternyata, aku sama halnya dengan mereka semua, yang memahami ketika semuanya sudah terjadi.
Ketika sebuah pesan singkat menyebutkan bahwa papa terserang stoke, aku limbung dan bingung. Kisah kisah penderita stroke yang banyak ditulis orang di internet, seolah menjadi penghibur. Memberi kekuatan bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Benarlah apa yang tertulis pada kalimat pertama, di sebuah buku karya dr Valery Feigin,Ph.D yang menyebutkan bahwa stoke menimbukan beban yang sangat besar bagi para pengidapnya, keluarga dan orang yang merawatnya.
Andai aku membaca buku ini jauh sebelum aku menerima foto kiriman adekku tadi, mungkin ceritanya tak kan begini. Namun inilah manusia, yang tak kan pernah mampu menghindari kehendak yang Kuasa.
Aku sangat sadar bahwa otak adalah organ vital yang bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual. Dan aku sadar betul bahwa otak sangat bergantung pada pasokan darahnya. Terhentinya pasokan ini, dalam 7-10 detik saja dapat berakibat fatal. Karenanya bagi pasien yang terserang stroke, waktu menjadi penentu. Dalam jangka waktu tak lebih dari 3 jam setelah serangan, pasien harus sudah mendapatkan perawatan medis. Untuk itu, menyimpan nomor telepon rumah sakit yang memiliki unit stroke, menjadi sangat penting.
Buku setebal 221 halaman ini mengulas jelas masalah stroke, terutama bagi kaum awam yang seringkali dipusingkan dengan istilah istilah kedokteran yang susah dimengerti. Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke ini sangatlah bermanfaat, apalagi dengan semakin banyaknya kasus ini terjadi akhir-akhir ini.
Buku ini menjawab banyak tanda tanya besar di kepalaku, terutama tentang seberapa besar peluang bagi pasien untuk pulih kembali, apa saja terapi yang tersedia, adakah strategi pengobatan yang lain, seberapa besar kemungkinan mengalami stroke kembali.
Tak hanya itu, tindakan preventifpun secara lugas dibahas. Memahami faktor risiko stroke menjadi kunci. Tak lebih dari 24 fakto risiko yang diungkap di buku ini, antara lain seperti hipertensi, kadar kolesterol yang tinggi, aterosklerosis (pengerasan arteri) dan stenosis (penyempitan) sebagai dampak melekatnya kolesterol “jahat” yang menumpuk sebagai plak arteri, diabetes, hingga faktor riwayat keluarga dan genetika. Buku ini mengingatkanku kembali bahwa kolesterol “baik” (HDL) justru membawa kolesterol “jahat” (LDL) menjauhi arteri, sehingga faktor risiko aterosklerosis dan stenosis dapat diminimalkan. Faktor risiko lain yang sempat mengagetkanku adalah mendengkur yang disertai apnea tidur (periode tidak bernafas berkala yang berlangsung lebih dari sepuluh detik).
Lalu bagaimana mengenali tanda tanda awal? Pesan berantai yang kuterima dua minggu lalu menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga cara “STR” untuk mengenali gejala awal stroke. Smile, mintalah penderita untuk tersenyum, apabila pipinya miring maka telah ada kelumpuhan saraf. Sebuah tanda yang sangat jelas. Seharusnya aku mengetahui ini segera setelah melihat keanehan pada foto kiriman adekku, sehingga obat penurun kolesterol dan tekanan darah akan membuat papaku terhindar dari serangan stroke. Talk, mintalah orang tersebut untuk berbicara kalimat singkat, apabila terdengar pelo, ini adalah gejala stroke. Raise both arms, mintalah agar orang tersebut mengangkat kedua tangannya, kalau tidak bisa, ini pertanda bahwa kelumpuhan mulai menyerang.
Gejala awal juga dijelaskan di buku ini. Seperti, rasa baal dan hilangnya kekuatan, terutama apabila terjadi pada salah satu sisi tubuh, hilangnya penglihatan total atau parsial di salah satu sisi tubuh, tak mampu berbicara dengan benar, serta hilangnya keseimbangan.
Seberapa mematikankah stroke? Buku ini menjelaskan bahwa sebagian stroke bersifat fatal, sedangkan sebagian lain menyebabkan cacat tetap atau sementara. Risiko kematian akan semakin kecil, seiring semakin lamanya waktu berlalu akibat stroke. Risiko kematian terbesar adalah pada tiga hari pertama. Bagi mereka yang bertahan hingga satu tahun, risiko kematian semakin kecil.
Kemudian, seberapa besar kemungkinan pasien mengalami serangan stoke lagi? Kemungkinan ini sangat tergantung pada jenis stroke awal, usia pasien, dan penyakit yang menjadi faktor risiko stroke. Dampak terbesar stroke berulang biasanya terjadi pada 6 hingga 12 bulan setelah stroke sebelumnya. Namun sebagian besar stroke kedua terjadi dalam kurun waktu lima tahun pertama. Lalu bagaimana mengurangi kemungkinan terserang stroke untuk kedua kalinya, yg konon lebih mematikan? Tentu pengelolaan terhadap faktor risiko dan gaya hidup yang harus berubah. Papaku tak lagi makan garam dan goreng- gorengan. Faktor risiko kolesterol dan tekanan darah yang tinggi ditekan sedemikian rupa. Pada banyak kasus pemberian obat khusus serta pembedahanpun dilakukan. Obat anti pembekuan darah/antitrombosit seperti aspirin, dipiridamol dan klopidogen lazim diberikan bagi pasien guna menghindari berulangnya serangan stroke.
Lalu seberapa besar peluang untuk pulih? Dr Feigin menjawab bahwa pemulihan stroke adalah sebuah proses yang cukup panjang. Namun sebagian besar, pemulihan terjadi pada 2-3 tahun pertama, terutama pada 2-6 bulan pertama. Papaku mulai menggerakkan tangan kanannya pada minggu kedua setelah serangan stroke. Meskipun gerakan itu sangat lemah, tak ayal sempat membuatku menangis haru tatkala sebuah video singkat dikirimkan adekku melalui perangkat selularnya. Tiga minggu pertama, kursi roda menjadi tumpuan utamanya. Sebulan sesudahnya Papa mulai berlatih berjalan sendiri, dengan bantuan tongkat berkaki tiga. Tiga minggu yang lalu, kulihat dalam video singkat dia telah mampu berjalan sendiri. Meskipun terlihat sangat lambat dan melelahkan, setidaknya memberinya semangat bahwa fungsi otak yang telah rusak, sedikit demi sedikit tergantikan. Di rumah sakit sempat kubaca bahwa fungsi otak pasien yang rusak akibat terputusnya aliran darah ke otak, akan digantikan oleh sel-sel otak yang baru. Sel-sel baru ini seperti bayi yang baru lahir, yang perlu dilatih untuk menjalankan fungsi-fungsi yang hilang, seperti ketidakmampuan berjalan dan menggerakkan tangan dan jari-jari pun ketidakmampuan berbicara. Karenanya terapi paska serangangan stroke menjadi sangat penting. Seperti tertulis dalam buku ini, bahwa janji perbaikan dan penyembuhan yang cepat akan terdengar sangat indah bagi mereka yang baru mengalami serangan stroke dan keluarganya. Tapi, realistis saja, penyembuhan ini butuh waktu dan kesabaran. Hingga hari ini, Papa masih menjalani fisio terapi dengan sabar. Sesekali dia pergi ke ahli akupunktur. Dalam buku ini disebutkan bahwa akupunktur, jamu, pijat, homeopati ( metode penyembuhan secara holistik), disarankan agar digunakan sebagai terapi pelengkap saja, bukan alternatif utama penyembuhan.
Semoga dengan tulisan ini, aku dapat berbagi kekuatan dengan mereka, keluarga para penderita stroke. Dan semoga kisah ini menjadi pembelajaran bagi siapapun yang pernah singgah dan membaca tulisan ini.