A test of Love

Alkisah, pada jaman raksasa masih hidup di muka bumi, tinggallah Baba Ayub dan keluarganya di sebuah desa miskin, kering dan terpencil. Tumbuhan dan pohon buah-buahan pun enggan hidup. Kondisi desa ini jauh dari makna dua kata yang merangkainya, Maidan Sabz, yang berarti “field of green”. Sumur-sumur mengering, kalaupun ada, kedalamannya akan cukup membuat siapapun yang menimbanya, mengeluh kelelahan. Sungai, ya sungai juga ada, namun penduduk desa harus berjalan hampir setengah jam untuk mencapainya. Itupun dengan kondisi air yang, sepanjang tahun, keruh bercampur lumpur.
Namun, sedemikian keras dan beratnya hidup di Maidan Sabz, terlebih lagi setelah 10 tahun berturut-turut kekeringan yang melanda desa ini, Baba Ayub masih menyebut dirinya sebagai manusia yang cukup berutung. Istri, tiga anak laki-laki dan dua anak perempuannya lah yang menjadi penghibur di atas segala cobaan dan deraan yang harus ditanggungnya. Tak sedikitpun Baba Ayub mengeluh.

Baba Ayub menyayangi kelima anaknya tanpa terkecuali, namun hatinya selalu jatuh pada si bungsu Qais, bocah 3 tahun bermata biru tua yang selalu menjadi darling bagi siapapun yang melihatnya. Bocah yang selalu ceria, berenergi dan menghabiskan energi siapapun yang didekatnya. Kala Qais belajar berjalan, dia membuat semua orang kuatir. Bagaimana tidak, kakinya akan selalu bergerak siang dan malam, bahkan kala tidurpun, seringkali tak tersadar, dengan mata terpejam dia keluar rumah. Sinar rembulan menjadi saksi keunikan bocah ini. Semua orang berusaha mencari penyembuhan untuk Qais, namun Baba Ayub punya rencana lain. Diambilnya salah satu lonceng dari leher kambingnya dan dikalungkannya ke leher Qais. Sekarang, kala bunyi lonceng mulai bergemerincing di tengah malam, Baba Ayub akan segara terjaga. Qais selalu menjadi sumber kerinduan Baba Ayub. Kala Baba Ayub menginjakkan rumah, setelah seharian bekerja, Qais dengan langkah kecilnya akan berlarian menyambut Baba Ayub, memeluknya, memperhatikan ayahnya membersihkan badannya, dan kemudian duduk disampingnya hingga saat makan malam tiba. Kala makan usai, Baba Ayub akan menyeruput segelas teh-nya. Dengan bahagia, dia memandangi satu persatu anggota keluarganya, sambil membayangkan, kelak, ketika satu persatu anaknya menikah dan memberinya cucu, kerajaan kecilnya akan terbangun. Sungguh, Baba Ayub bersyukur atas segala anugerah ini.

Demikian, hari demi hari berlalu … hingga suatu hari, kebahagiaan itu lenyap.

Seorang raksasa turun dari gunung ke arah Maidan Sabz. Bumipun menggelegar di setiap pijakannya. Penduduk segera berhamburan, berlarian menuju rumah dan menguncinya. Maidan Sabz segera menggelap, tertutup bayang-bayang besar, tubuh raksasa. Konon mata raksasa ini merah menyala. Namun tak seorangpun bisa meyakinkan hal itu. Karena siapapun yang kedapatan memandang mata sang raksasa, dia tak kan segan-segan memakannya. Warga desa hanya bisa terdiam dan tertunduk, menghindari tatapan langsung sang raksasa. Setiap warga berdoa, agar raksasa segera hengkang tanpa sempat mengetuk atap rumahnya. Karena setiap ketukan berarti malapetaka bagi keluarganya. Keluarga malang ini harus menyerahkan salah satu anaknya, atau sang raksasa akan merampas seluruhnya. Sungguh pilihan sulit bagi semua orang tua. Raksasa akan memasukkan bocah tak beruntung ini ke dalam karung dan membawanya pergi ke balik pegunungan ke tempat yang tak seorang pun berani menapakkan kakinya.

Tentu kamu sudah menduga, hari itu sang raksasa mengetuk atap rumah Baba Ayub. Istrinya tak kuasa memilih salah satu dari kelima anaknya yang harus dikorbankan. Tinggalah kini, Baba Ayub dengan segala pergumulan hebat dalam hatinya. Dan … kamu tentu juga sudah bisa menduga, siapa yang akhirnya dia serahkan pada sang raksasa. Qais. Bocah kecil itu, permata hatinya.

Sejak hari itu, hidup tak lagi sama. Baba Ayub berubah menjadi pemurung. Setiap hari, dia hanya terduduk diam, meratap, menyesali yang telah terjadi. Beberapa tahun berlalu, Maidan Sabz seolah menjadi refleksi hidup Baba Ayub. Semakin kering, semakin memburuk. Ternak, anak-anak, banyak yang mati kelaparan. Tapi Baba Ayub tak bergeming, pandangannya tetap mengarah pada bukit tempat sang raksasa membawa buah hatinya. Hingga suatu hari, dia memutuskan suatu hal yang sangat berani, yang tak seorangpun pernah ingin atau bahkan berpikir untuk melakukannya. Dia berjalan menyusuri perbukitan dengan tekad membawa Qais kembali. Perjalanan yang tak mudah. Mereka yang berpapasan dengan Baba Ayub menganggabnya sudah tidak waras lagi. Namun perjalanan berhari-hari itupun membuahkan hasil. Sampailah ia di depan pintu gerbang raksasa yang kokoh. Suara raksasa segera menggelegar tatkala Baba ayub melemparkan batu ke arah pintu gerbang. Sang raksasa marah dan mengancam akan membunuh Baba Ayub. Namun tak sedikitpun dia gentar. Bagi Baba Ayub, dirinya sudah mati tatkala raksasa merengut Qais dari hidupnya.

Sang raksasa segera meninggalkannya dan berjalan menyusuri lorong besar. Namun, tetap Baba Ayub mengikutinya dengan kesabaran yang mulai menipis. Dia terus mengikuti raksasa ini hingga berhenti di sebuah ruangan besar yang diujungnya ada sebuah tirai raksasa. Melihat keteguhan hatinya, sang raksasa memerintahkan Baba Ayub untuk mendekat, segara dibukanya tirai ini. Dari balik jendela kaca, tampaklah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Sebuah taman elok nan hijau dengan bunga beraneka warna, teras marmer yang indah dan kolam dengan air mancur yang menawan. Dan di dalamnya, anak-anak kecil berlarian gembira. Mereka tampak sehat dan bahagia. Seketika tampak di mata Baba Ayub, Qais, yang telah tumbuh dewasa, rambutnya sedikit lebih panjang dari pada Qais yang hidup dalam ingatan Baba Ayub. Baba Ayub mulai berteriak-teriak, melambai-lambai, memanggil Qais, namun tentu saja Qais tak bisa mendengarnya pun melihat keberadaannya. Beberapa saat …hingga sang raksasa menutup tirai itu dan berkata kepada Baba Ayub, bahwa ini semua adalah cobaan akan perasaan cintanya. Baba Ayub tidak mengerti sedikitpun maksud sang raksasa, yang dia tau, dia ingin membawa Qais pulang. Sang raksasa berkata bahwa Qais tidak mengenal Baba Ayub. Dia menujukkan kepada Baba Ayub bahwa di tempat itu, Qais memperoleh segala yang terbaik yang tak pernah dia dapatkan: makanan, pakaian, pendidikan, persahabatan dan kebahagiaan… yang selama ini menjadi sebuah luxury tak mampu Baba Ayub beli.

Sang raksasa segera menyodorkan jam pasir dan meletakkannya di kaki Baba Ayub seraya berkata, “Aku akan memperbolehkanmu membawanya pulang, tapi kalau itu pilihanmu, Qais tak kan pernah lagi bisa kembali ke tempat ini. Namun kalau kau memilih sebaliknya, kamu tak kan pernah lagi bisa menapakkan kakimu di sini. Dan ketika jam pasir itu telah habis tertumpah, kamu harus memutuskan”. Sekali lagi, Baba Ayub harus membuat pilihan yang sangat sulit dan menyakitkan.

Dear … dalam hidup, seringkali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, antara mempertahankan seseorang yang kita sayangi demi memuaskan keinginan kita untuk memiliki dan bersamanya selalu, atau melepaskannya dengan hati yang hancur, demi sebuah kesempatan yang jauh lebih berharga, yang mungkin tak pernah bisa kita tawarkan. Andaipun pilihan ini kau tanyakan padaku …to be honest … ini keputusan yang tidak mudah.

Dan Baba Ayub memilih untuk melepaskan Qais, buah hatinya, penyemangat hidupnya, demi sebuah kesempatan hidup yang jauh lebih baik, yang tak bisa dia tawarkan. Baba Ayub telah membuat keputusan besar bagi hidupnya, bagi hidup Qais. Sebelum melangkah pergi, raksasa itu memberinya botol kecil berisi cairan pekat. Baba Ayub pun pulang ke Maidan Sabz. Dan di sepanjang jalan, sesuai perintah sang raksasa, Baba Ayub meminum cairan itu. Sesampainya di Maidan Sabz, semua orang menjadi heran karena Baba Ayub tak pernah bisa menceritakan apa yang telah terjadi padanya dalam beberapa hari ini. Dia tak ingat lagi sorga hijau nan indah, tempat Qais bersama teman-temannya berlarian. Bahkan, dia tidak lagi ingat ada satu nama indah yang pernah mengisi hari-harinya. Kamu tau apa yang terjadi? Cairan itu telah menghapus semua kenangan Baba Ayub tentang Qais.

*cerita di atas disadur dari dongeng Sang Ayah kepada Abdullah dan Pari dalam buku “And the mountains echoed”.

Kuliah Terakhir Randy Pausch

“What wisdom would we impart to the world if we knew it was our last chance? If we had to vanish tomorrow, what would we want as our legacy?”, demikian tertulis di cover belakang buku terbitan Hyperion New York yang berjudul “The Last Lecture”, tulisan Randy Pausch dan Jeffrey Zaslow.

Buku ini cukup lama berada di laci meja.  Sudah ada cap “bukan milik pribadi”, karena buku setebal 206 halaman ini, yang sengaja dibawa partner ketika merayakan Natal di Malang dan sempat menjadi teman liburan kami beberapa hari kala itu, memang bukan milik sendiri.

Kisah “The Last Lecture” tak jauh berbeda dengan tulisan Mitch Albom dalam bukunya “ Tuesdays With Morrie”.. Sama-sama menyajikan pelajaran tetang makna hidup, yang dibumbui dengan kisah-kisah yang, menurutku, quite touching. Sama-sama berkisah tentang ‘last lecture’ –kuliah terakhir – sebelum sayap-sayap putih maut merengut hari-hari tokoh utama dalam kedua buku tersebut, Morrie Schwartz dan Randy Pausch. Sama-sama didasarkan pada kisah nyata, namun  dari sisi penggambaran yang berbeda. Tuesdays With Morrie dikisahkan oleh Mitch salah seorang mahasiswa Morrie, sedangkan “Last Lecture ditulis sendiri oleh Randy Pausch, seorang professor ilmu komputer spesialis human-computer interaction dari Carnegie Mellon yang harus meregang nyawa pada usia 47 tahun karena kanker pankreas. Vonis mati oleh dokter tidak membuat Randy Pausch berhenti, “We cannot change the cards we are dealt, just how we play the hand”, tulisnya.

Buku ini secara pribadi cukup menginspirasi sekaligus menyenangkan bagiku karena tersaji dengan beberapa gambar dan kejadian yang cukup membuatku tersenyum.  Di halaman 47 misalnya, sebuah foto dengan keterangan “Have you ever walked around a carnival with a giant stuffed animal?”, terpampang disana, tampak gambar Randy – yang menggendong sebuah boneka beruang berukuran besar- tertawa ceria. Memenangkan giant stuffed animal adalah salah satu mimpi masa kanak-kanak yang selalu dia hidupkan.

Kisah Randy menghidupi mimpi masa kanak-kanaknya itu cukup membuatku iri. “I just wanted the floating”, katanya, yang menyadari bahwa menjadi astronot adalah hal mustahil bagi mereka yang berkacamata. Keinginannya tak muluk-muluk. Menjadi astronot bukanlah mimpinya tapi berada di tempat dengan zero gravitasi akan selalu menjadi obsesi. Kecakapannyalah yang pada akhirnya membawa Randy floating di “The Weightless Wonder” sebuah wahana milik NASA di Johhnson Space Center in Houston. Aku yang sedari kecil gemar memandangi bintang, hingga malam kemarin pun, aku hanya mampu memandanginya, tak kurang dan tak lebih. Menjadi astronot hanya mimpi masa kecil yang tak pernah kuhidupi 🙁 .

Buku ini tak cuma berisi bagaimana menghidupi mimpi-mimpi kita dimasa kecil, namun lebih dari itu, buku ini juga menyajikan bagaimana kita bisa memfasilitasi mimpi orang lain. Karenanya, buku ini layak menjadi bacaan para pendidik, menjadi penyemangat tatkala rasa putus asa mengikis misi suci mereka. Sayang, buku “The Last Lecture” edisi bahasa Indonesia yang sengaja kubeli untuk seorang rekan guru tak pernah sampai ditangannya.

“It’s a thrill to fulfill your own childhood dreams, but as you get older, you may find that enabling the dreams of others is even more fun”, tulisnya. Di bagian keempat yang berjudul ‘Enabling The Dreams of Others’ Randy berkisah tentang Tommy salah seorang mahasiswanya di University of Virginia dimasa tahun 1993 yang bermimpi untuk menjadi bagian dalam pembuatan film Star Wars. Akhir kisah itu tentu saja mudah ditebak, Tommy terlibat di ketiga film  Star Wars pada tahun 1999, 2002 dan 2005. Oh ya, mungkin saja Tommy terlibat dalam pembuatan film Star Trek yang saat ini tengah diputar di bioskop-bioskop di Jakarta. Check it out and let me know :).

Randy juga berkisah bagaimana dia membuat kelasnya menjadi fun and challenging,      melalui project “Building Virtual Worlds” dimana dia menyajikan sarana bagi para mahasiswanya dari latar belakang studi yang berbeda – diantaranya terdapat mahasiswa matematika, bahasa Inggris, bahkan Seni – untuk bergabung dalam satu team work,  mengerjakan sebuah proyek untuk menerjemahkan imajinasi mereka. Kelas ini berhasil mencuri perhatian banyak orang, sehingga ruangan kelas yang mulanya hanya diisi oleh 50 mahasiswanya kini telah dipindahkan ke ruang auditorium besar guna menampung luapan 400 manusia yang segera akan membuat kegaduhan tatkala salah satu team favorit mereka melakukan presentasi.

Lalu bagaimana dengan kisah-kisah yang bagiku cukup touching? Waktuku tak cukup banyak untuk mengisahkan semua. Namun, hatiku kembali merasa sesak tatkala aku membaca bagian dimana penonton “Last Lecture” di auditorium besar itu menyanyikan lagu “Happy Birthday” untuk Jai – Istri Randy  yang kala itu menyaksinya suaminya menyampaikan kuliah terakhirnya,  dan satu-satunya kata yang dia bisikkan pada Randy ketika dia memeluk Randy di atas stage adalah “Please don’t die”. Bahkan menuliskannya disini membuatku merinding. Istri mana yang bisa setegar Jai, mengetahui bahwa beberapa saat lagi suaminya takkan berada disampingnya untuk selamanya. “I can’t imagine rolling over in bed and you’re not there”, “I can’t picture myself taking the kids on vacation and you’re not being with us”, kata-kata ini serasa menusuk hatiku. Jelas, untuk mengalami hal seperti itu, aku tak mampu.

Ah, aku tak ingin merusak suasana hatimu yang membaca tulisan ini.  Lagi pula, buku ini harus segera  berpindah tangan. Buku yang juga bukan milik partner trekking ini akan segera kembali kepada pemilih sah. I don’t know you,“The Owner” but thanks for sharing your book. And for partner … Mauliate. Hati-hati di gunung, adeknya nitip mata!

ps. Randy Pausch meninggal pada tanggal 25 Juli 2008, jauh sebelum aku membaca buku ini, dipenghujung tahun 2008.

Cinta dalam seoles balsem

“Cinta berhubungan langsung dengan rasa”, Ibu Tesarini mulai berkisah.

Kalau diartikan secara harafiah, balsem – menurut Ibu Tesarini- berarti cinta, karena olesannya akan menyisakan rasa. Rasa panas di kulit, lebih tepatnya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menceritakan kisah Ibu Tesarini, seorang wanita tegar yang digambarkan Arswendo dalam buku “Kau Memanggilku Malaikat”. Bahkan tulisan Arswendo ini, tak berkaitan sedikitpun dengan balsem. Anis telah menuliskannya dengan sangat menarik.

Lalu apa kaitannya antara balsem dan cinta? Mengapa dalam setiap olesannya, serasa cinta terkandung? Kalau memang pengertian secara literal bahwa “balsem menimbulkan rasa dan rasa adalah cinta” adalah pengertian yang sangat tak masuk akal dan sembrono, bagaimana kita mengaitkan setiap olesan balsem dengan cinta?

Kisahnya demikian …

Ketika kamu hendak menjalani aktifitas fisik selama beberapa hari, risiko keseleo atau pegal-pegal pastilah masuk dalam perhitunganmu. Kalau kamu termasuk dalam golongan orang yang mengikuti “common sense”, risiko itu akan kamu analisa. Kamu akan mulai memikirkan, seberapa besar kemungkinan kecelakaan akan terjadi, apa saja yang harus dilakukan guna meminimalisir damaging efeknya andai kecelakaan itu benar-benar terjadi.

Bisa saja “ikut life insurance” secara serta merta muncul dalam benakmu. Tapi rasanya koq terlalu berlebihan ya. Apalagi sampai menulis surat wasiat segala, walahh sungguh merepotkan.

“Selalu berhati-hati dalam melakukan aktifitas fisik, gunakan perhitungan, sesuaikan dengan kemampuan,” serasa sebuah petuah klasik yang membosankan yang terlontar dari seorang ibu, bapak, kakek, nenek, istri, suami ataupun kekasih pada si “significant other”-nya yang akan pamit pergi. Aku yakin diantara kita acapkali menjawabnya dalam hati demikian,”Ya, iyalah masa ya iya dong” atau “Duhh, basi banget deh”

Cara lain yang cukup biasa dan masuk di akal, adalah dengan membawa balsem. Ini adalah aktifitas hedging untuk mengurangi risiko terburuk. Iya membawa balsem bisa dikategorikan dalam aktifitas hedging, pun dalam konteks finance. Dengan selekas mungkin mengoleskan balsem, dapat mengurangi risiko semakin parahnya keseleo. Semakin parah keseleo semakin time consuming untuk pemulihannya, berarti semakin besar pula biaya perawatannya. So, membawa balsem dapat mengurangi beban biaya. Cukup masuk akal bukan?

Tapi apa jadinya kalau ada seseorang telah memikirkan semua kemungkinan terburuk yang dapat terjadi, yang baginya balsem merk bla-bla-bla adalah remedi terampuh, dan esok aktifitas fisik telah menantinya, namun balsem miliknya yang konon ampuh itu telah dia relakan begitu saja, lepas dari tangannya?

Balsem itu ada bersamaku saat ini di Singapura, dan beberapa jam lagi balsem itu akan segera berada di Bangkok untuk beberapa hari. Setiap olesannya, di siku tangan kananku yang bengkak gara-gara kecerobohanku semalam, akan membuatku teringat padanya.

“Rasa yang saya katakan ini bukan rasa pahit, rasa manis, rasa getir, rasa pedas, rasa enak… melainkan rasa, perasaan, atau bathin”, Ibu Tesarini melanjutkan kisahnya.

Balsem adalah cinta, karena dia telah menguatkan simpul-simpul yang berkaitan dengan rasa. Bukan rasa panas, pun pedas, yang terasa di kulit, tapi rasa bathin yang berhubungan langsung dengan ketulusan, tanpa pamrih, dan tanpa menuntut imbalan.

Thanks for showing me that love is simple. Holong do rohaku …

Rectoverso – Cerminan Hati seorang Dee

Dewi Lestari. Nama yang indah, seindah kata-kata yang dia rangkai menjadi satu lirik lagu “Satu Bintang di Langit Kelam”. Lagu yang tak lekang waktu mencuri hatiku.

Di satu toko buku itu, dia mengingatkanku. Kuambillah Rectoverso.

Kupikir Rectoverso akan melanjutkan luapan dopamine yang mungkin tak sadar dia ciptakan untukku. Namun sebaliknya. Rectoverso merengut luapan itu. Jadilah, Rectoverso mengganggu ketenangan batin yang telah dia hadirkan akhir-akhir ini, ah tidak, sudah 10 bulan ini.

Buku dari uraian 11 kisah, dengan judul yang sama persis dengan judul lagu-lagu di album terbaru Dewi itu, seolah mengguyur kembali kisah-kisah yang sengaja kubuat kering, supaya dengan mudah angin menerbangkannya. Sudah banyak bifurkasi yang telah kulewati dengan sangat hati-hati.

Jadi buku ini adalah buku tentang kekelaman, kegalauan, kegetiran dan kepenatan hati? Bagiku buku ini bercerita tentang pencerahan, pencarian diri. Bahwa ada satu Kuasa yang memahami kita, menuntun kita untuk mengerti bahwa setiap kejadian adalah cermin bagi hidup kita. Inilah Rectoverso, yang oleh Dewi diuraikan sebagai dua citra namun satu kesatuan. Satu koin dengan dua sisi wajah.

Kata-kata yang digunakan Dewi memang tak asing bagi pembaca buku-bukunya terdahulu. Bagiku, tentu sangat familiar. Lebih mirip tulisan Vira, kupikir.

Ada dua kisah dalam buku ini yang sempat membuat malamku menjadi sebuah perenungan panjang.

“Aku Ada”, demikian diberinya judul untuk satu kisah itu.

Pernahkah kau rasakan di suatu masa, sendiri meraja? Waktu terus berjalan, karena matahari tak pernah mau berhenti. Dan kau merasa beban itu semakin meradang, kesendirian itu membunuhmu. Percayalah … kaupun tak pernah sendiri. Kau tak sendiri menapaki pasir putih. Kala amarah masih memenuhi ruang hatimu, maka yang kau lihat dibelakangmu hanya sepasang jejak, tertinggal di pasir itu. Tapi ketahuilah itu bukan lagi jejakmu.

“Barangkali karena telah ratusan kali kamu lakukan itu; menyendiri di tepi pantai; menyusuri garisnya seperti merunut urat laut. …
Ingin rasanya aku ikut berlari, berteriak agar kau kembali, mencengkeram bahumu agar kau tahu aku ada di sini …
Percayakah kamu? Aku selalu ada …
Dengarkah kamu? Aku ada. Aku masih ada. Aku selalu ada. Rasakan aku, sebut namaku seperti mantra yang meruncing menuju satu titik untuk kemudian melebur, meluber, dan melebar. Rasakan perasaanku yang bergerak bersama alam untuk menyapamu.
Kayuhanmu tahu-tahu terhenti Sudah jauh engkau berenang meninggalkan pantai, basah kuyup dan megap-megap. Namun tiba-tiba kau tergerak untuk diam, merasakan ombak yang dengan aneh mengembalikanmu mundur. Semakin kuat kau mengayuh, kau malah semakin mundur ke pasir tempat kau melangkah. Perlahan kau berdiri, menatap laut dengan tatapan asing seolah itu pertemuan kalian yang pertama kali. Setengah mati telah kau lawan lautan untuk mencari jawab atas amarahmu pada kematian, dan dengan sabar bagai ibunda menimang anaknya yang meraung murka agar kembali tenang, lautan mengembalikanmu kembali ke tepiannya. Seolah berkata, belum saatnya. Tempatmu di sana. Kembalilah ke pasir tempat jejak-jejakmu tersimpan, kembali padanya yang menantimu dengan senyum sayang … “

Berikutnya, “Hanya Isyarat”.

Sering kali kita gagal memahami, bahwa ada cinta berlebih disekeliling kita. Tapi kita hanya mengejar bayangan tercerai untuk kita gapai. Maka berbahagialah mereka yang hanya mengetahui apa yang sanggup ia miliki.

“Aku mulai berkisah, tentang satu sahabatku yang lahir di negeri orang lalu menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana. Setiap kali ibunya hendak menghidangkan daging ayam sebagai lauk, ibunya pergi ke pasar untuk membeli bagian punggung saja. Hanya itu yang ibunya mampu beli. Sahabatkupun beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam neniliki bagian lain selain punggung. Ia tidak tahu paha, dada, atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi yang ia punya tentang ayam. …
Aku menghela napas. Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh … ”

Aku sengaja tak ingin bercerita banyak tentang isi buku ini. Kekuatan buku Dee adalah pada rangkaian kata-katanya, yang tak mungkin kau nikmati melalui terjemahan bebas pada kalimat yang keluar dari olahan otakku yang sangat terbatas. Jadi belilah buku ini.

Tiba-tiba dini hari merengkuh dan sebuah sms menggugah sadarku. Sudah lewat pukul tiga.”…mimpi indah ya.”. Aku tak membalasnya karena aku tahu aku harus tidur. Tapi aku tak ingin bermimpi. Senyum segera mengembang, aku bersyukur lagi-lagi dia datang bak penyelamat.

Buku yang seharusnya hadir 4 tahun lalu itu segera ku letakkan. Lalu akupun tertidur. Dan hanya tertidur tanpa bermimpi. Karena dengan bermimpi aku telah menghadirkan kemungkinan mimpi buruk itu memburuku.

Kututup mataku, sambil tersadar penuh, aku telah berjalan denganNya di pantai berpasir putih itu. Tapi tak ada lagi jejakku. Hanya jejakNya. Karena Dia tahu aku tak mampu. Dia telah menggendongku.

Terimakasih … malaikatku, kamu telah hadir menyelamatkanku. Kamu tak sekedar indah, tapi kamu adalah anugerah.

Histoire de la sexualité – Foucault yang tak menabukan Seks

Bagaimana anatomi politis atau pembentukan masyarakat yang ada sekarang terhadap gagasan tentang seks? Michel Foucault menjanjikan sebuah jawaban. Tentu dengan pemikiran khas Perancis yang jelimet namun cendekia.

Dua minggu yang lalu, aku sempat kaget ketika mendengar kata ‘payudara’ tiba-tiba terlontar dari mulut Romo Gabriel tatkala mengisahkan etimologi kata El-shadday, yang merupakan penamaan lain dari Allah yang mencukupi. El-Shadday yang berarti payudara diterjemahkan sebagai sumber makanan dan sumber kehidupan. Aku tak ingin berbincang tentang Allah dan sejarah gereja di sini, meskipun akhir-akhir ini topik ini mulai menarik perhatianku. Hanya saja aku ingin bertanya. Berapa diantara kamu yang akan bereaksi sama sepertiku, kaget, mendengar hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas diumbar di depan umum? Bahkan untuk menulisnya di sini sempat membuatku ragu.

Berapa orang diantara kamu yang mewarisi norma-norma borjuasi victorian, sepertiku, yang sungguh puritan dengan menganggap bahwa seksualitas bersifat diam, menahan diri dan munafik?

Berapa kali aku harus menyadarkan diri bahwa wacara seksual dengan segala unsur negatif – pelarangan, penyensoran, penyangkalan – adalah buah dari hipotesis represi.

Sadarkah kita bahwa seringkali kita berpretensi membicarakan seks dari sudut pandang yang netral, seolah-olah membincangkan hal-hal yang berbau ilmiah. Ini adalah bentuk pengelakan atas ketidakmampuan kita dalam menggagas wacana seks secara gamblang tanpa ada tirai moral yang membatasi kata-kata yang berkaitan dengan seks.

Dengan Pendekatan filsafat kontemporer yang melihat kegiatan berfilsafat bukan lagi semata-mata mencari kebenaran, namun lebih kepada penguraian sejarah, Michel Foucault menyajikan sejarah seksualitas.

Dalam hipotesis represi, Foucault menjelaskan bahwa sejak dahulu ada semacam proses penapisan kosakata yang sangat ketat, yang mengakibatkan terbatasnya kata-kata yang boleh digunakan untuk menggambarkan wacana seks. Bahkan beberapa kata tersebut telah dibakukan dalam bentuk retorika kiasan pun metafora sehingga orang tidak mudah memahaminya. Dan tentu kaidah-kaidah kesantunan di zaman modern telah menjaring kata-kata tertentu, sehingga kaidah kesantunan dianggap hadir bak polisi kata-kata.

Sebagai bentuk upaya menghidupkannya, sejak abad ke-18, pewacanaan seks mulai dihadirkan dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan telah memperbanyak bentuk wacana tentang seks dengan menetapkan batasan-batasan, membakukan isinya serta mulai melatih pembicara-pembicara yang handal.

Disamping itu, Abad pertengahan juga telah memunculkan wacanan tunggal untuk menciptakan suatu alat untuk membicarakan seks. Sakramen pengakuan dosa yang lazim muncul di gereja-gereja Katholik, salah satunya. Proses pengakuan dosa telah membuat seks layak untuk diungkapkan. Pun demikian, tetap saja terdapat buku panduan yang pada akhirnya justru membatasi kata-kata  tertentu. Sanchez dan Tamburini mengungkapkan bahwa setidaknya ada beberapa ungkapan tentang seks yang harus dihindari dalam sakramen ini, misalnya posisi pasangan, berbagai gerak sentuhan serta beberapa ungkapan lain yang tak ingin kutuliskan disini.

Pengakuan dosa sebagai tool untuk pengungkapan seks secara gamblang sebenarnya sangatlah kontradiktif dengan tujuan semula, karena menurutku, ketika ajaran pastoral Kristen menjadikan seks sebagai sesuatu yang diakui sebagai dosa, maka secara natural hal ini justru akan menjadikan seks sebagai sebuah teka teki yang harus terus menerus disembunyikan. Pengakuan dosa hanyalah alat pemaksa dan seks tidak dengan sendirinya pun sukarela menampilkan diri.

Buku ini juga membahas berbagai penyimpangan seksual yang, sejak awal, diwacanakan sebagai bentuk-bentuk seksualitas yang tidak tunduk pada tujuan reproduksi. Wacana yang berkembang kala itu justru mengutuk ‘kenikmatan menyimpang’ dan menolak ‘kegiatan tanpa hasil’ yang tak bertujuan untuk regenerasi. Keganjilan seksual mulai disisipkan sebagai kategori penyakit jiwa. Namun melihat kenyataan abad ke-19, penyebaran seksual dan pengokohan bentuk-bentuk penyimpangan makin berlipat ganda. Jaman sekarang kita justru mencetuskan heterogenitas seksual. Derivatifnya semakin banyak. Jadi tepatlah istilah yang menyebutkan bahwa ‘semakin dikekang semakin menjadi’. So … yuk mulai ikut mewacanakan.

For those of you who are on holiday, but rain prevents you from having outdoor activities, this book is worth reading. 🙂 No .. no.. it’s not true. Keep Painting!

Overall, buku ini ditulis dengan kata-kata yang jelimet dan susah dimengerti. Bukan buku yang layak untuk dinikmati secara santai, namun cukup worthy kalau ingin sekedar tahu sejarah seksualitas.

Hidup dalam kesementaraan

Kita bukan malaikat tentu saja, karena ini bukan city of angels. Tapi bagaimana membuat hidup yang singkat ini menjadi berarti, tentu bukan hal yang mudah. Berapa kali kita mesti menyerah hanya karena prasangka yang berkuasa menciutkan niatan kita? Seorang sahabat selalu mengingatkan “Hidup itu untuk memberi dan memberi”.

Beberapa hari lalu ketika seorang teman dekat berkisah tentang kesementaraan dan kesia-siaan, hatiku seakan menyatu dengannya. Memang, jarak antara kehidupan dan kematian sangatlah tipis dan diantaranya terbentang kesementaraan. Dan kala kesementaraan ini hanya kita isi dengan cinta kasih, betapa indahnya dunia. Tapi sekali lagi kita hidup bukan di dunia utopia. Prasangka buruk dan pikiran negatif akan selalu menginisiasi dan menjustifikasi tindakan kita. Alih-alih bertindak hati-hati, kita justru menyakiti hati orang lain. Tentu, nothing is totally wrong, bahkan jam matipun dalam sehari bisa benar dua kali dalam menunjukkan waktu.

Tapi, akankah kita membiarkan prasangka buruk membunuh niatan tulus kita? Aku segera teringat kisah Christina, istri Paulo Coelho tatkala menyaksikan berita di TV yang menayangkan seorang turis gadungan di Rio de Janeiro yang tertangkap polisi akibat ulahnya menipu penduduk lokal, dengan berpura-pura menjadi korban perampokan. Apakah Christina menyesali tindakannya yang telah menolong turis gadungan itu beberapa hari sebelumnya? Nothing can stop us from being ourselves.

Dan di akhir cerita itu, dikisahkanlah seorang Saint di sebuah kota yang selalu mendapat cemooh dari penduduk lokal. Namun yang dia lakukan justru menebar kebaikan dan memberkati mereka. Terusik dengan tindakan Saint ini, salah seorang penduduk itu bertanya, “Mengapa engkau justru membalas perlakuan buruk dan cemooh kami dengan sikap manis dan bahkan kau memberkati kami?”

“Masing-masing kita bisa memberi, hanya dari yang kita miliki”, jawab Saint.

Anyway … masih ingat kisah the Good Samaritans? Tak ada yang sia-sia dalam menjalani hidup. Dan semoga Dia menguatkan kita semua yang ingin belajar menjadi tulus.

Java yang berarti Kopi

A cup of Java adalah buku bacaan wajib bagi mereka penikmat kopi dan bagi mereka yang merencanakan bulan madunya di Losari Coffee Plantation Resort and Spa. Berbulan madu di daerah berketinggian 900 meter di atas permukaan laut, dikelilingi delapan gunung, diantara pohon-pohon kopi, sambil sesekali disuguhi aroma kopi yang sedang di sangrai secara tradisional, dan diselimuti udara sejuk pengunungan di Magelang, namun tanpa dilengkapi pengetahuan tentang sejarah panjang kopi, perkebunannya dan tempat peristirahatannya, bagiku, adalah sebuah kerugian besar. Pemilik Losari Coffee Plantation, Gabriella Teggia sendirilah bersama Mark Hanusz yang berkisah tentang kopi Jawa, dilengkapi foto-foto menarik seputar kopi.

A Cup of Java, buku wajib bagi mereka yang mengganggap bahwa minum kopi adalah salah satu festival harian dalam hidup mereka. Penjabaran dari kata ‘Java’ bisa beragam. Ya, ini tentu buku yang membahas asal muasal kopi di Pulau Jawa. Buku ini juga membahas perkebunan-perkebunan kopi dan perkembangan industri kopi di pulau ini. Namun kata ‘Java’ disini tak sekedar berfungsi sebagai kata keterangan tempat. Java, tak lain dan tak bukan, adalah julukan dari kopi itu sendiri.

Demikian kisahnya …. Tersebutlah pada tahun 1893 dalam rangka memperingati perayaan 400 tahun ditemukannya Benua Amerika oleh Christopher Columbus, diselenggarakanlah World’s Columbian Exhibition di Chicago. Di area seluas 553 acre dan diikuti negara-negara di seluruh penjuru dunia, hamburger dan ferris wheel mulai diperkenalkan ke publik, diantara produk produk lain yang cukup menarik.

Tepat di tengah-tengah fairground, yang tak kalah popular di kalangan pengunjung, tersebutlah sebuah tempat bernama “Java Village. Di sini, Batik, Wayang pun Gamelan diperkenalkan pertama kalinya pada dunia. Tentu siapa lagi kalau bukan Meneer-meneer dari Netherlands East Indies yang memboyongnya kemari.

Nah, terletak di dalam Java Village, sebuah Java Lunch Room yang menyajikan tak lain dari pure java coffee mulai menjadi bahan perbincangan para pengunjung pameran. Mereka mulai menyebut minuman panas yang disajikan dicangkir ini sebagai ‘a cup of java’. Sejak saat inilah kata Java berasosiasi dengan Kopi.

Buku ini juga tak urung membuatku bangga. Siapa yang mengira bahwa kopi yang saat ini berkembang pesat di Amerika tengah dan selatan, sebenarnya berasal dari Pulau Jawa. Ini, berkat keingintahuan seorang saudagar muda VOC bernama Pieter Van der Droeke yang mencoba minuman panas yang oleh penduduk local dijuluki Qahwa. Dengan cara menyelundupkan beberapa biji kopi – kala itu demi alasan hygienist dan untuk menghindari masuknya virus-virus ke negara-negara so-called beradab, semua produk makanan dan minuman harus terlebih dahulu melalui proses pendidihan dan pembakaran sebelum dikirim- Broeke mengirimkannya ke Amsterdam Botanical Garden untuk mempelajari lebih lanjut kultivasi tanaman ini. Berawal dari Amsterdam Botanical Garden inilah kopi jawa akhirnya melanglang buana.

Lalu, bagaimana asosiasi kata ‘Java’ dengan bahasa pemrograman, yang iconnya digambarkan dengan sebuah cangkir? Kupikir Bapak ini bisa menjawabnya secara lebih komprehensif. Tulisannya yang jauh lebih menarik dan lengkap tentang kopi jawa membuatku harus berhenti menulis sampai disini. Selamat menikmati a cup of java.

Pesta Buku

Pesta Buku hampir usai, aku belum juga beranjak. Tak seperti tahun lalu, aku datang di minggu pertama pembukaannya. Kini, dengan alasan sibuk, lelah, partner jalan yang belum datang (kala itu sih…), kambing hitam untuk tidak datang ke pameran itu-pun akhirnya dapat diterima semua. Toh inibuku.com masih setia mengirimkan pesanan buku-bukuku tanpa aku harus beranjak dari depan komputer. Terlebih lagi waktu senggangku masih didominasi tulisan Greg Mortenson dan David Oliver Relin dalam Three Cups of Tea, kisah Greg Mortenson yang gagal mendaki K2 – konon oleh para climbers K2 dianggap sebagai the toughest summit to reach on earth, bahkan mereka menjulukinya “the killer”, pun “the savage peak” – yang berakhir dengan misi kemanusiaan di Pakistan dan Afganistan. Jadi, buku baru untuk sesaat belum dibutuhkan.

Oh ya, rak buku yang penuh juga menjadi alasanku untuk menunda ke Pesta Buku.
Tentu hasil belanjaan di Pesta Buku akan memenuhi actual rak bukuku, tapi tidak dengan virtual rak bukuku, ini bukan karena buku-buku berbahasa Indonesia belum masuk disini .

Jadi alasan kuat apalagi yang bisa memaksaku untuk pergi ke pesta buku tahun ini?

Ketika kata "Pulang" diintepretasi oleh Law of Attraction

Pagi ini, kudapati sebuah email dari seseorang di ujung sana yang baru kukenal kemarin dan yang just say thanks karena tulisan-tulisan bebas yang tak berarah di halaman web ini telah menemaninya minum kopi. Email pagi tadi tak hanya berisi kata-kata. Diawali dengan “Stay with me, Lord, to show me Your will” dia attached beberapa lagu, yang memang cukup pas menemaniku minum kopi Arabica Welsel yang kubawa dari Vietnam beberapa hari lalu.

Salah satu lagu kiriman si …-maaf aku tak tahu harus memanggilnya apa, aku yang ceroboh belum sempat menanyakan siapa namanya- bertajuk Pulang. Pasti tau kan lagunya Float – yang cuma tiga itu yang sungguh superb, yang sempat dijadikan soundtrack film 3 Hari Untuk Selamanya. Nikmat memang mendengarkan Float sembari minum kopi, serasa ada yang floating disela-sela biji kopi yang tak hancur. Tapi judul lagu itu seolah mengingatkanku, bahwa aku sangat menunggu kata-kata itu sejak dua minggu yang lalu. Ya, “Pulang”, kata-kata yang menyejukkan dan kian meraja, kala detik-detik “Ku akan Pulang” segera menghampiriku.

Email pagi tadi, lagu itu dan pikiran-pikiranku, semakin menguatkanku untuk mencoba meng-iyakan teori “Law of Attraction” yang pada prinsipnya “Like attracts like”, bahwa ketika kita berpikir tentang suatu hal, kita telah mengundang pikiran-pikiran yang serupa untuk masuk dalam hidup kita. Meskipun interpretasi tentang Law of Attraction ini masih debatable, aku mencoba menelan ide ini bulat-bulat.

Jauh sebelum membaca buku “The Secret” tulisan Rhonda Byrne yang berkisah tentang hukum tarik menarik ini, aku sebenarnya telah beberapa kali mencoba menerapkannya. Semisal, pada saat kita sedih dan kita ingin keluar dari kesedihan itu, cobalah berpikir sesuatu yang positif dan menyenangkan. Karena semakin kita memikirkan sesuatu yang tidak mengenakkan maka secara tidak sengaja kita mengundang pikiran-pikiran serupa untuk masuk dalam diri kita. Hasilnya, kita semakin terpuruk.

Pun itu terjadi pagi tadi, ketika pikiranku tak kunjung beralih dari kata “pulang” seseorang diujung sana mengirimiku lagu bertajuk Pulang. The universe helps you whenever you think about it.

Sekali lagi aku buktikan bahwa dunia ini dikuasai oleh pikiran-pikiran kita dan kitalah yang berkuasa atas pikiran kita sendiri. Kubuktikan pula bahwa tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, jadi, segeralah pulang! Ketika “Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa …” tak lagi memiliki arti. We need a “real person” :).

De Passievrucht ~ A Father's Affair

Apakah lelaki memiliki hati dan emosi?

Buku tentang pencarian atas sebuah jawaban di masa silam ini akan menyajikan kepada kita bahwa kegelisahan, kepedihan dan larutan emosi tidak hanya menjadi dominasi kaum perempuan.

De Passievrucht, Buku yang telah selesai kubaca beberapa bulan lalu ini sebenarnya cukup menarik untuk dibaca meskipun isinya kadang terasa vulgar. Tak banyak mengumbar metafor, jadinya aku gak yakin juga dikau akan suka buku ini Vir, mengingat Matahari di atas Gili yang sarat dengan metafora nan indah dan berlimpah bahasa nan elegan, tak mampu mengusik hatimu.

Kisah ini sempat menggugah memoriku akan tempat-tempat di Negeri Kincir Angin yang tak besar itu. Stavoren,Wadden zee, Enkhuizen, Ijselmeer, Pulau Ameland semuanya masih segar  dalam ingatanku.  

Anyway, tersebutlah Armin seorang lelaki yang divonis dokter menderita kelainan Klinefelter, kelainan pada kromosom kelamin, bawaan lahir yang dapat berdampak pada kemandulan.

Mestinya masalah yang tak mudah ini takkan bertambah berat kalau ‘Bo’-bocah berusia 13 tahun yang selama ini dianggap sebagai anak kandungnya- tak hadir dalam hidup Armin. Beban ini terasa kian bertambah, tatkala kunci atas pertanyaan “Siapa sebenarnya ayah Bo” telah meninggal kala Bo masih berusia 3 tahun. Ya, Monika, pasangan hidup Armin yang cantik yang entah dengan sengaja atau tidak , telah  berselingkuh.T

ragedi ini takkan pernah terungkap kalau saja Armin, yang mendambakan seorang anak dari kekasih barunya Ellen yang juga sahabat dekat Monika, memeriksakan dirinya ke dokter. Guratan wajah Bo yang hampir serupa dengan Armin takkan pernah memunculkan dugaan perselingkuhan Monika di masa silam.

Pencarian demi pencarianpun dijalani. Satu persatu, mereka yang pernah dekat dengan Monikapun menjadi sasaran. Gelisah, putus asa, perasaan curiga membuat Armin semakin tak keruan. Namun dia terus mencari jawaban. Putus asa itu lebih berbahaya dari pada seekor macan sekalipun.

“Jadi Bo bukanlah buah kasih di malam dingin di musim panas itu, di jok belakangan Renault 5 warna kuning”, pikiran ini menghantui Armin.

Jadi benarlah apa yang ditulis Kitab Apokrifa, Injil Filipus, sebagaimana kata-kata ini memenuhi ruang pikir Armin. “Anak-anak yang kelak dilahirkan seorang perempuan akan mirip kekasih ibunya. Jika kekasih itu suaminya, mirip dengan suaminya. Jika ia pemikat, mereka akan mirip pemikat.”Maka benar pula hasil survey yang menyebutkan bahwa kebanyakan orang akan secara sengaja mengatakan bahwa anak pertama dari pasangan yang mereka kunjungi di rumah sakit lebih mirip dengan ayahnya. Ini hanya upaya untuk memberikan perasaan tenang semata pada seorang lelaki yang baru beberapa saat menjadi ayah.

Kamu akan terkejut kala menjumpai bahwa jawaban atas semua pertanyaan itu adalah Mr. Minderhout, yang tak lain adalah ayah kandung Armin. Jadi hubungan Armin dan Bo meskipun sangat dekat secara biologis, tetap, bukanlah hubungan ayah dan anak. Proses penemuan atas jawaban pertanyaan itu memang tak terlalu dalam dikisahkan. Rupanya Karel Gastra Van Loon, sang penulis, lebih ingin mengeksploitasi proses kedukaan, keresahan, serta perasaan dikhianati dengan mengumbar emosi Armin yang sepertinya menjadi fokus dalam buku ini. Namun secara keseluruhan buku setebal 361 halaman , kupikir, layak untuk menjadi teman dikala sendiri.