Ketika Isaiah bertemu Anna

Rasanya cukup kontradiktif, satu indera membaca tentang kisah cinta satu malam Isaiah Berlin dan Anna Akhmatova sedangkan indera lain mendengarkan lagu Beatles “long and winding road” dalam waktu yang bersamaan. Satu indera memberiku impresi bahwa cinta bisa terbangun dalam tempo sesaat, sedangkan indera lain memberiku kesan bahwa cinta itu tak mudah, harus melalui jalan terjal panjang nan berliku. At the end otakku memilih cara termudah dan cenderung abu-abu. It depends on how … on who … when… where. Tak ada yang absolut, seperti hitam dan putih.
Sebuah artikel di New York Times membuatku teringat kembali kisah cinta Celine-Jesse dan percakapan percakapan mereka sepanjang malam di Vienna. Kisah cinta semalam juga terjadi pada Isaiah Berlin dan Anna Akhmatova , justru jauh sebelum ide percakapan Celine dan Jesse terlahir.
Kala itu, tahun 1945 di Leningrad, Isaiah, filsuf sekaligus historian Inggris kelahiran Rusia, menghabiskan malam bersama seorang teman, yang tiba-tiba menawarkan apakah dia mau bertemu dengan Anna Akhmatova seorang modernis poet asal Rusia.
Tak ada yang istimewa dengan Anna, selain hidupnya yang menurutku cukup menyedihkan di jaman Stalin. Bagaimana tidak, dijaman itu kebebasannya terengut. Karya-karyanya dikerdilkan, bahkan mempublikasikan puisi karyanya adalah suatu hal yang tak mudah. Bekas suaminya, Nikolai Gumilev tewas di tangan polisi rahasia Soviet, anaknya Lev Gumilev ditahan beberapa kali, sedangkan partnernya Punin meninggal pada masa tahanan di Guleg. Bahkan pertemuan dengan Isaiah Berlin sang western liberalist, di apartemennya di Leningrad pada tahun 1945 membuahkan banyak masalah. Karyanya dilarang untuk dipublikasikan di beberapa jurnal. Tuduhan bahwa dia meracuni kaum muda Soviet juga tak terelakkan. Anna bisa digambarkan sebagai sosok liberalis yang berada pada tempat dan waktu yang tidak tepat. Stalinism mengekang segala yang berbau kebebasan.
Pertemuan Anna dan Isaiah bak pertemuan pemikiran dan idealisme yang lama terkungkung dalam belenggu tirani dan menunggu waktu untuk meledak. Bisa dibayangkan, malam itu percakapan dua manusia yang tak pernah bertemu sebelumnya, menjadi moment supernova. Letupan yang tertahan berpuluh puluh tahun yang melahirkan bauran warna meriah dan indah.
Di awal percapakan, mereka dibatasi oleh orang-orang sekeliling mereka. Topikpun tak jauh dari permasalahan perang dan kampus- kampus di Inggris. Menjelang tengah malam, kala pengungjung satu persatu pergi, Anna mulai berkisah tentang masa kanak-kanaknya, tentang pernikahannya, tentang eksekusi mantan suaminya. Selanjutnya, dengan penuh semangat Anna bercerita tentang Don Juan, sebuah epic satire karya Lord Byron, saking semangatnya hingga membuat Isaiah beberapa kali memandang ke jendela untuk menyembunyikan emosinya. Anna kemudian mengisahkan tentang beberapa pusinya yang berakhir pada eksekusi salah seorang koleganya oleh penguasa Soviet.
Percakapan ini tak berakhir hingga pukul 4 pagi, kala mereka dengan passion-nya mengungkapkan kesamaan pandangannya tentang Pushkin dan Chekhov. Isaiah memuji kecerdasan Turgenev sementara Anna lebih menyukai niatan licik dari Dostoyevsky. Percakapan mereka semakin dalam tentang art dan literatur-literatur dunia, tentang kesepian mereka… They shared many things, ideas souls… Pengetahuan pun pandangan Anna dan Isaiah tak sekedar beririsan namun hampir sepadan dan sebangun. Tiba-tiba saja, masing-masing merasa saling memahami kerinduannya. Isaiah akhirnya meninggalkan apartemen itu dan kembali ke hotelnya. Siang itu pukul 11 pagi, Isaiah bergumam dalam hatinya, berkali-kali, “I am in love… I am in love … I am in love…”.
Dari puisi karya Anna tentang percakapan di malam itu, kita seolah mendapat impresi bahwa mereka berakhir di tempat tidur. Tapi menurutku itu tidak penting. Yang cukup menarik di sini adalah seberapa banyak di antara kita yang “move” hanya dengan percakapan-percakapan berkelas sebagaimana terjadi pada Anna dan Isaiah? Di jaman modern seperti saat ini, di kala segala informasi dengan sangat mudah kita dapatkan, banyak hal yang dapat kita pilih sebagai topik bahasan. Lalu seberapa banyak di antara kita yang hingga kini masih memperbincangkan art dan literatur-literatur dunia dengan passion yang sama seperti mereka berdua, dan lalu membawa mereka pada cinta yang menurutku sangat indah? Pernahkan kita merasakan cinta seperti yang mereka alami di suatu malam, di tahun 1945, di Leningrad? Pernahkah? Aku? …. setidaknya aku pernah bermimpi.

Sendiri bersama Sergei


Rasanya vira menangkap firasatku. Selayaknya vira, kala hati tak mau berkompromi, ingin rasanya semua manusia manusia ini pergi, biar aku tertinggal sendiri. Dan komposisi ini akan menemani, menelisir jauh ke dalam sel sel hati dan tak sadar mood swing telah teraktivasi. Ruanganku serasa menggelap dan Vocalise .Op. 34 No. 14-pun menyesap.

… Sebab itu aku selalu mendoakanmu

In my prayers this morning you became the sky which through the entire night did not close its eyes, a clear expanse ready to receive the first light, a curve of silence in wait of sound

As the sun drifted above my head, you became in my prayers the tips of pines, eternally green and forever presenting abstruse questions to the wind that hisses from directions unknown

In my prayers at dusk you became the sparrow that fluffed its feathers in the mist, alighted on the branch and felled the tassel of the guava flowers and then in sudden excitement flew away to alight on the mango branch

In my prayers this evening you became the distant wind that descended ever so slowly, tiptoed down the path and slipped through the cracks of the panes and door to press its cheeks and lips against my hair, chin and eyelashes

In my prayers tonight you became the beating of my heart that has so patiently endured what seems to be limitless pain and faithfully revealed one secret after another, the unending song of my life

I love you, and for that reason, will never stop praying for your well-being

— Musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono “Dalam Doaku”, composed by Ananda Sukarlan —

Ketika stroke menghancurkan hati kami

“Lebih baik mencegah dari pada mengobati”, seperti ungkapan klise, ketika mengetahui Papa terserang stroke. Terlambat. Terlambat sudah. Seharusnya ini bisa dihindari. Karena statistik menyebutkan bahwa stroke dapat dicegah pada hampir 85% orang. Kita hanya perlu memahami dan mengendalikan faktor risiko pribadi.

Minggu sore itu, tak biasanya kepalaku pusing, perasaan tidak enak tanpa sebab menyerangku. Tidak. Kurasa tidak sore itu saja, seminggu sebelumnya perasaan galau memburuku, tatkala melihat kiriman foto dari adekku, yang tersenyum diapit Papa dan Mama yang tampak tak mau kalah menarik, ikutan memberikan senyumnya yang terbaik. Namun tunggu sebentar…, ada yang aneh dengan senyum itu. Tak biasanya mukanya seperti itu, seperti tertarik ke atas. Aku terus berpikir, sedemikian cepatkah waktu berlalu sehingga kini Papa tampak tua dan layu. Aku sempat menghibur diri, dan menganggap bahwa dia sedang memaksakan sebuah senyuman.

Seharusnyalah aku mengetahui tanda-tanda itu sedari awal. Sehingga upaya pencegahan dapat segera diputuskan. Ternyata, aku sama halnya dengan mereka semua, yang memahami ketika semuanya sudah terjadi.

Ketika sebuah pesan singkat menyebutkan bahwa papa terserang stoke, aku limbung dan bingung. Kisah kisah penderita stroke yang banyak ditulis orang di internet, seolah menjadi penghibur. Memberi kekuatan bahwa ini bukan akhir  dari segalanya.  Benarlah apa yang tertulis pada kalimat pertama, di sebuah buku karya dr Valery Feigin,Ph.D yang  menyebutkan bahwa stoke menimbukan beban yang sangat besar bagi para pengidapnya, keluarga dan orang yang merawatnya.

Andai aku membaca buku ini jauh sebelum aku menerima foto kiriman adekku tadi, mungkin ceritanya tak kan begini.  Namun inilah manusia, yang tak kan pernah mampu menghindari kehendak yang Kuasa.

Aku sangat sadar bahwa otak adalah organ vital yang bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual. Dan aku sadar betul bahwa otak sangat bergantung pada pasokan darahnya. Terhentinya pasokan ini, dalam 7-10 detik saja dapat berakibat fatal. Karenanya bagi pasien yang terserang stroke, waktu menjadi penentu. Dalam jangka waktu tak lebih dari 3 jam setelah serangan, pasien harus sudah mendapatkan perawatan medis. Untuk itu, menyimpan nomor telepon rumah sakit yang memiliki unit stroke, menjadi sangat penting.

Buku setebal  221 halaman ini mengulas jelas masalah stroke, terutama bagi kaum awam yang seringkali dipusingkan dengan istilah istilah kedokteran yang susah dimengerti. Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke ini sangatlah bermanfaat, apalagi dengan semakin banyaknya kasus ini terjadi akhir-akhir ini.

Buku  ini menjawab banyak tanda tanya besar di kepalaku, terutama tentang seberapa besar peluang bagi pasien untuk pulih kembali, apa saja terapi yang tersedia, adakah strategi pengobatan yang lain, seberapa besar kemungkinan mengalami stroke kembali.

Tak hanya itu, tindakan preventifpun secara lugas dibahas. Memahami faktor risiko stroke menjadi kunci. Tak lebih dari 24 fakto risiko yang diungkap di buku ini, antara lain seperti hipertensi, kadar kolesterol yang tinggi, aterosklerosis (pengerasan arteri) dan stenosis (penyempitan) sebagai dampak melekatnya kolesterol “jahat” yang menumpuk sebagai plak arteri, diabetes, hingga faktor riwayat keluarga dan genetika. Buku ini mengingatkanku kembali  bahwa kolesterol “baik” (HDL) justru membawa kolesterol “jahat” (LDL) menjauhi arteri, sehingga faktor risiko aterosklerosis dan stenosis dapat diminimalkan. Faktor risiko lain yang sempat mengagetkanku adalah mendengkur yang disertai apnea tidur (periode tidak bernafas berkala yang berlangsung lebih dari sepuluh detik).

Lalu bagaimana mengenali tanda tanda awal? Pesan berantai yang kuterima dua minggu lalu menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga cara “STR” untuk mengenali gejala awal stroke. Smile, mintalah penderita untuk tersenyum, apabila pipinya miring maka telah ada kelumpuhan saraf. Sebuah tanda yang sangat jelas. Seharusnya aku mengetahui ini segera setelah melihat keanehan pada foto kiriman adekku, sehingga obat penurun kolesterol dan tekanan darah akan membuat papaku terhindar dari serangan stroke.  Talk, mintalah orang tersebut untuk berbicara kalimat singkat, apabila terdengar pelo, ini adalah gejala stroke. Raise both arms, mintalah agar orang tersebut mengangkat kedua tangannya, kalau tidak bisa, ini pertanda bahwa kelumpuhan mulai menyerang.

Gejala awal juga dijelaskan di buku ini. Seperti, rasa baal  dan hilangnya kekuatan, terutama apabila terjadi  pada salah satu sisi tubuh, hilangnya penglihatan total atau parsial di salah satu sisi tubuh, tak mampu berbicara dengan benar, serta hilangnya keseimbangan.

Seberapa mematikankah stroke? Buku ini menjelaskan bahwa sebagian stroke bersifat fatal, sedangkan sebagian lain menyebabkan cacat tetap atau sementara. Risiko kematian akan semakin kecil, seiring semakin lamanya waktu berlalu akibat stroke. Risiko kematian terbesar adalah pada tiga hari pertama. Bagi mereka yang bertahan hingga satu tahun, risiko kematian semakin kecil.

Kemudian, seberapa besar kemungkinan pasien mengalami serangan stoke lagi? Kemungkinan ini sangat tergantung pada jenis stroke awal, usia pasien, dan penyakit yang menjadi faktor risiko stroke. Dampak terbesar stroke berulang biasanya terjadi pada 6 hingga 12 bulan setelah stroke sebelumnya. Namun sebagian besar stroke kedua terjadi dalam kurun waktu lima tahun pertama. Lalu bagaimana mengurangi kemungkinan terserang stroke untuk kedua kalinya, yg konon lebih mematikan? Tentu pengelolaan terhadap faktor risiko dan gaya hidup yang harus berubah. Papaku tak lagi makan garam dan goreng- gorengan. Faktor risiko kolesterol dan tekanan darah yang tinggi ditekan sedemikian rupa. Pada banyak kasus pemberian obat khusus serta pembedahanpun dilakukan. Obat anti pembekuan darah/antitrombosit seperti aspirin, dipiridamol dan klopidogen lazim diberikan bagi pasien guna menghindari berulangnya serangan stroke.

Lalu seberapa besar peluang untuk pulih? Dr Feigin menjawab bahwa pemulihan stroke adalah sebuah proses yang cukup panjang. Namun sebagian besar, pemulihan terjadi pada 2-3 tahun pertama, terutama pada 2-6 bulan pertama.  Papaku mulai menggerakkan tangan kanannya pada minggu kedua setelah serangan stroke. Meskipun gerakan itu sangat lemah, tak ayal sempat membuatku menangis haru tatkala sebuah video singkat dikirimkan adekku melalui perangkat selularnya.  Tiga minggu pertama, kursi roda menjadi tumpuan utamanya. Sebulan sesudahnya Papa mulai berlatih berjalan sendiri, dengan bantuan tongkat berkaki tiga. Tiga minggu yang lalu, kulihat dalam video singkat dia telah mampu berjalan sendiri. Meskipun terlihat sangat lambat dan melelahkan, setidaknya memberinya semangat bahwa fungsi otak yang telah rusak, sedikit demi sedikit tergantikan. Di rumah sakit sempat kubaca bahwa fungsi otak pasien yang rusak akibat terputusnya aliran darah ke otak, akan digantikan oleh sel-sel otak yang baru. Sel-sel baru ini seperti bayi yang baru lahir, yang perlu dilatih untuk menjalankan fungsi-fungsi yang hilang, seperti ketidakmampuan berjalan dan menggerakkan tangan dan jari-jari pun ketidakmampuan berbicara.  Karenanya terapi paska serangangan stroke menjadi sangat penting.  Seperti tertulis dalam buku ini, bahwa janji perbaikan dan penyembuhan yang cepat akan terdengar sangat indah bagi mereka yang baru mengalami serangan stroke dan keluarganya. Tapi, realistis saja, penyembuhan ini butuh waktu dan kesabaran. Hingga hari ini, Papa masih menjalani fisio terapi dengan sabar. Sesekali dia pergi ke ahli akupunktur. Dalam buku ini disebutkan bahwa  akupunktur, jamu, pijat, homeopati ( metode penyembuhan secara holistik), disarankan agar digunakan sebagai terapi pelengkap saja, bukan alternatif utama penyembuhan.

Semoga dengan tulisan ini, aku dapat berbagi kekuatan dengan mereka, keluarga para penderita stroke. Dan semoga kisah ini menjadi pembelajaran bagi  siapapun yang pernah singgah dan membaca tulisan ini.

Vois sur ton chemin

Vois sur ton chemin
Gamins oubliés égarés
Donnez leur la main
Pour les mener
Vers d’autres lendemains

Sens au coeur de la nuit
L’onde d’espoir
Ardeur de la vie
Sentier de gloire

Bonheurs enfantins
Trop vite oubliés effacés
Une lumière dorée brille sans fin
Tout au bout du chemin

Sens au coeur de la nuit
L’onde d’espoir
Ardeur de la vie
Sentier de la gloire

Sarapan Pagi

Akibat ditinggal suami selama seminggu ini, dan efek ulah mertua yang memaksa mengantarku ke kantor (teramat) pagi hari (gilee, tiap jam 6.30 aku sudah sampai di kantor, barengan dengan CS yang terlebih dahulu membuka pintu), aku terpaksa menyimak berita di koran. Biasanya berita dari online portal sudah cukup bagiku.

Selama seminggu ini pemberitaan di Wall Street Journal dan Financial Times tentang misteri terapresiasinya yen Jepang cukup ramai menghiasi kolom di kedua koran tersebut, disamping ketakutan double dip recession di US yang juga beberapa kali menjadi headlines.

Dari beberapa catatan di koran tersebut, China dicurigai berada dibalik semua permasalahan ini.

Sejumlah analis menyebutkan fenomena ini sebagai sebuah misteri, bagaimana tidak,melihat yield differential saja kenaikan yen secara dramatis ini serasa mimpi. Jepang adalah source of carry trade, secara otomatis yen was forced down for years.

Basic factor lain yang dapat menjadi driver penguatan yen seperti current account surplus juga tidak mendukung. Current account surplus beberapa tahun ini cenderung menurun. Current account surplus sebesar 4.7% pada tahun 2007 diperkirakan turun menjadi sebesar 3.6% tahun ini.

Argumen lain yang menambahkan keanehan fenomena ini adalah faktor economic growth Jepang yang tampak seperti anak kembar  dengan growth di US. Data CEIC menyebutkan forecast GDP year on year tahun 2010 untuk Jepang adalah  sebesar 3.0% sedangkan untuk US sebesar 2.8%. Alhasil, faktor ini bukanlah alasan yang tepat untuk menggambarkan penguatan yen yang cukup dramatis.

Alasan yang tersisa hanyalah deflasi yang semakin memburuk ditambah dengan aksi China dalam memborong Yen. Penguatan secara dramatis ini tentu sangat menguntungkan bagi China dan juga korea sebagai manufaktur produk elektronik dan otomotif. Barang-barang dari Jepang semakin tidak kompetitif.  Apakah ini sengaja diinisiasi oleh China? Entahlah. Setidaknya, andaipun ini benar, aku akan menjadi orang pertama yang mengacungkan jempol untuk strategi China dalam meningkatkan ekspornya. Meskipun terlihat kurang etis, setidaknya ini bisa membuktikan bahwa money can buy anything.

Eniwei ini hanya rumors, dan kebenarannya masih disangsikan. Namun setidaknya, apapun alasan penguatan yen, pemerintah Jepang serasa kebakaran jenggot so that they step up effort to weaken yen.

Kanonskogelboom

Pagi-pagi sekali pasangan hati sudah mengirimkan foto di atas, yang diambil dari Siantar Hotel, tempatnya menginap selama seminggu ke depan.  He knows well my passion for plants and trees. Dan aku yakin, tatkala melihat foto di atas, adekku dan mbakku akan segera membayangkan sebuah tempat di Kebun Raya Purwodadi di mana  pohon ini dengan gagahnya menjulang tinggi ke angkasa.

Kanonskogelboom aka Couroupita guianensis aka Pohon Sala adalah pohon dengan buah mirip canon ball. It is the size and appearance of the fruits that have given to the tree its name. Dengan ketinggian yang bisa mencapai 25 meter, pohon yang berasal dari daerah tropis di timur laut Amerika Selatan ini, memang terlihat gagah.

Sekilas, bunganya mirip dengan angrek, tentu dengan aroma yang khas. Aku masih bisa mengingat jelas aroma bunga ini. Berbeda dengan bunganya, buah dari Couroupita guianensis cenderung berbau tak sedap. Bunganya pun muncul di cabang-cabang pohon yang tampak meliuk tak beraturan. Umumnya bunga ini akan muncul di bagian bawah batang pohon.

Lengkap sudah karateristik unik Couroupita guianensis. Batang utamanya yang kokoh menjulang tinggi dan mahkota bunganya yang indah membuat pohon ini menjadi perpaduan yang menarik antara stregth dan beauty.

Selain di hutan-hutan tropis di Amerika selatan pun di Indonesia, Couroupita guianensis tampak tumbuh subur di India. Di negara tersebut, pohon ini sudah dikenal sekitar dua atau tiga abad yang lalu.  Sebagaimana pohon Bodhi, Couroupita guianensis memiliki tempat tersendiri bagi umat Hindu. Bahkan di India, tiap etnis memberikan penamaan khusus bagi pohon ini. Setidaknya ada tiga julukan bagi Couroupita guianensis , yakni, Shiv Kamal, Nagalingam dan Nagkeshar. Bagi umat hindu di India, pohon ini cukup memiliki nilai magis. Lihat saja bentuk mahkota bunganya yang mirip bagian atas kepala naga, binatang yang mereka keramatkan.  Sedemikian pentingnya pohon ini, sehingga dia menghiasi kuil shiva dan kuil-kuil lain di India. Tak ayal, Kebun Raya Bali memiliki koleksi Couroupita guianensis cukup banyak, dibandingkan dengan kebun raya lain di Indonesia.

Lalu, mengapa pohon ini sampai di Siantar Hotel, Pematang Siantar, Sumut? Apakah ini terkait dengan keberadaan etnis India yang cukup banyak di Sumatera Utara? Ataukah seorang Belanda, atau Jerman yang berhasil membawanya ke kota ini? Entahlah. I guess it’s now your job, Abango, to find out! Btw, the trees are used as remedy to stomach aches too. So kalo pas lagi jauh dari adeknya gini, dan tiba-tiba sakit perut menyerang, ingat pohon ini ya? Jangan sampai kejadian di Palangka Raya terulang di Siantar 😀

Resta Qui


Resta qui con me, stay here with me …
You, who are mine
One moment and we will fly there
Where all is paradise if we are there
… alone but together

miss Toscana very much