Malaikatpun ada dimana-mana

Sebuah kejadian tidak mengenakkan terjadi padaku kemaren malam. Seseorang menabrak kaca spion ketika mobil terparkir seharian di halaman kantor, sehingga kaca spion itu sedikit meleset dari tempatnya, dan motor penggerak spion pun tak membuat kaca bergeming dari posisinya. Aku sedikit ceroboh. Belajar dari my better half “kalau kita tidak suka risiko, lebih baik dihindari dengan kegiatan preventif”, maka aku akan menutup spion setiap aku meninggalkan mobil. Namun kemaren sungguh diluar kebiasaanku. Dan parahnya, aku baru menyadari hal itu ketika mobil telah melaju ke jalan raya. Di tengah keramaian jalanan, yang tampak olehku hanya warna hitam pekat, warna mobilku tentu saja. Aku hanya bisa nggerundel sambil sesekali mengukuti saran teman untuk mencoba dan mencoba lagi motor penggerak spion, siapa tahu keajaiban terjadi. Konyolnya, akupun percaya. Kaca semakin bergerak ketika mobil bergerak. Memahami bahaya yang mengintai, akupun berhenti dipinggir jalan, yang malam itu entah kenapa sangat padat sekali, menambah penderitaanku saja. Beberapa kali mencoba meletakkan kembali kaca spion ke rangka spion dan lagi-lagi gagal. Tiba-tiba seseorang muncul dari kegelapan. Hati mulai dag dig dug, terlebih pesan Bapak Mertua setiap pagi sebelum aku berangkat kantor serasa masuk ke akal sehatku, “kalau ada orang tiba-tiba pingsan di jalan, atau minta tolong, dicuekin saja, bisa jadi mereka punya niatan jahat, terus saja nyetir, jangan dipedulikan”. Turns out, Mas… , aku gak sempat bertanya siapa namanya, menolongku dan voila, berhasil. Aku sungguh bersyukur, masih ada manusia yang peduli. Aku bersyukur, Mas itu tidak pernah mendengar pesan yang sama seperti pesan Bapak Mertuaku, karena bisa jadi Mas …sebut saja Mas Malaikat, tidak akan pernah menolongku. Akhirnya saya sampai dengan selamat sampai ke rumah tanpa ada halangan yang berarti, kecuali kemacetan yang sudah masuk dalam risk appetiteku. Anyway … siapapun Anda Mas, saya bersyukur Tuhan mengirim Anda melewati jalan yang sama, malam yang sama, jam, menit dan detik yang sama ketika saya melintasi area itu. Malaikat itu Tuhan kirimkan saat aku membutuhkan.

Tepat satu tahun lalu, di Berlin Hauptbahnhof, stasiun kereta api utama di kota itu, sepasang suami istri dari negara berkembang bingung bukan kepalang. Gara-gara ticketing machine yang kurang friendly dan hanya menyajikan infomasi dalam bahasa Jerman. Sang istri sih ngakunya 22 tahun silam pernah belajar bahasa Jerman, dan sesekali membuat artikel dalam bahasa Jerman. Tapi ternyata kemampuan yang cuma seujung jari ini tidak membantu sama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan beberapa saat lagi bus reguler yang melewati hotel tempat mereka menginap akan semakin jarang. Tiba-tiba ada lelaki bersepeda dengan gaya hippie mendekati mereka berdua, dan menyapanya dalam bahasa Inggris. Bak malaikat turun dari sorga, lelaki ini menawarkan bantuan. Dia bahkan menjelaskan kepada pasangan ini tipe tiket yang sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga menghemat beberapa puluh euro. Sampai detik itu, pasangan ini masih berpikir bahwa lelaki ini pasti akan meminta imbalan. Turned out, lelaki hippie ini segera mengayuh sepedanya begitu bunyi printer di ticketing machine mulai menyala. Pasangan itu, yang adalah kami berdua, hanya sempat mengucapkan terimakasih sebelum dia mengilang di kegelapan malam. Malaikat itu Tuhan kirimkan saat kami membutuhkan.

A test of Love

Alkisah, pada jaman raksasa masih hidup di muka bumi, tinggallah Baba Ayub dan keluarganya di sebuah desa miskin, kering dan terpencil. Tumbuhan dan pohon buah-buahan pun enggan hidup. Kondisi desa ini jauh dari makna dua kata yang merangkainya, Maidan Sabz, yang berarti “field of green”. Sumur-sumur mengering, kalaupun ada, kedalamannya akan cukup membuat siapapun yang menimbanya, mengeluh kelelahan. Sungai, ya sungai juga ada, namun penduduk desa harus berjalan hampir setengah jam untuk mencapainya. Itupun dengan kondisi air yang, sepanjang tahun, keruh bercampur lumpur.
Namun, sedemikian keras dan beratnya hidup di Maidan Sabz, terlebih lagi setelah 10 tahun berturut-turut kekeringan yang melanda desa ini, Baba Ayub masih menyebut dirinya sebagai manusia yang cukup berutung. Istri, tiga anak laki-laki dan dua anak perempuannya lah yang menjadi penghibur di atas segala cobaan dan deraan yang harus ditanggungnya. Tak sedikitpun Baba Ayub mengeluh.

Baba Ayub menyayangi kelima anaknya tanpa terkecuali, namun hatinya selalu jatuh pada si bungsu Qais, bocah 3 tahun bermata biru tua yang selalu menjadi darling bagi siapapun yang melihatnya. Bocah yang selalu ceria, berenergi dan menghabiskan energi siapapun yang didekatnya. Kala Qais belajar berjalan, dia membuat semua orang kuatir. Bagaimana tidak, kakinya akan selalu bergerak siang dan malam, bahkan kala tidurpun, seringkali tak tersadar, dengan mata terpejam dia keluar rumah. Sinar rembulan menjadi saksi keunikan bocah ini. Semua orang berusaha mencari penyembuhan untuk Qais, namun Baba Ayub punya rencana lain. Diambilnya salah satu lonceng dari leher kambingnya dan dikalungkannya ke leher Qais. Sekarang, kala bunyi lonceng mulai bergemerincing di tengah malam, Baba Ayub akan segara terjaga. Qais selalu menjadi sumber kerinduan Baba Ayub. Kala Baba Ayub menginjakkan rumah, setelah seharian bekerja, Qais dengan langkah kecilnya akan berlarian menyambut Baba Ayub, memeluknya, memperhatikan ayahnya membersihkan badannya, dan kemudian duduk disampingnya hingga saat makan malam tiba. Kala makan usai, Baba Ayub akan menyeruput segelas teh-nya. Dengan bahagia, dia memandangi satu persatu anggota keluarganya, sambil membayangkan, kelak, ketika satu persatu anaknya menikah dan memberinya cucu, kerajaan kecilnya akan terbangun. Sungguh, Baba Ayub bersyukur atas segala anugerah ini.

Demikian, hari demi hari berlalu … hingga suatu hari, kebahagiaan itu lenyap.

Seorang raksasa turun dari gunung ke arah Maidan Sabz. Bumipun menggelegar di setiap pijakannya. Penduduk segera berhamburan, berlarian menuju rumah dan menguncinya. Maidan Sabz segera menggelap, tertutup bayang-bayang besar, tubuh raksasa. Konon mata raksasa ini merah menyala. Namun tak seorangpun bisa meyakinkan hal itu. Karena siapapun yang kedapatan memandang mata sang raksasa, dia tak kan segan-segan memakannya. Warga desa hanya bisa terdiam dan tertunduk, menghindari tatapan langsung sang raksasa. Setiap warga berdoa, agar raksasa segera hengkang tanpa sempat mengetuk atap rumahnya. Karena setiap ketukan berarti malapetaka bagi keluarganya. Keluarga malang ini harus menyerahkan salah satu anaknya, atau sang raksasa akan merampas seluruhnya. Sungguh pilihan sulit bagi semua orang tua. Raksasa akan memasukkan bocah tak beruntung ini ke dalam karung dan membawanya pergi ke balik pegunungan ke tempat yang tak seorang pun berani menapakkan kakinya.

Tentu kamu sudah menduga, hari itu sang raksasa mengetuk atap rumah Baba Ayub. Istrinya tak kuasa memilih salah satu dari kelima anaknya yang harus dikorbankan. Tinggalah kini, Baba Ayub dengan segala pergumulan hebat dalam hatinya. Dan … kamu tentu juga sudah bisa menduga, siapa yang akhirnya dia serahkan pada sang raksasa. Qais. Bocah kecil itu, permata hatinya.

Sejak hari itu, hidup tak lagi sama. Baba Ayub berubah menjadi pemurung. Setiap hari, dia hanya terduduk diam, meratap, menyesali yang telah terjadi. Beberapa tahun berlalu, Maidan Sabz seolah menjadi refleksi hidup Baba Ayub. Semakin kering, semakin memburuk. Ternak, anak-anak, banyak yang mati kelaparan. Tapi Baba Ayub tak bergeming, pandangannya tetap mengarah pada bukit tempat sang raksasa membawa buah hatinya. Hingga suatu hari, dia memutuskan suatu hal yang sangat berani, yang tak seorangpun pernah ingin atau bahkan berpikir untuk melakukannya. Dia berjalan menyusuri perbukitan dengan tekad membawa Qais kembali. Perjalanan yang tak mudah. Mereka yang berpapasan dengan Baba Ayub menganggabnya sudah tidak waras lagi. Namun perjalanan berhari-hari itupun membuahkan hasil. Sampailah ia di depan pintu gerbang raksasa yang kokoh. Suara raksasa segera menggelegar tatkala Baba ayub melemparkan batu ke arah pintu gerbang. Sang raksasa marah dan mengancam akan membunuh Baba Ayub. Namun tak sedikitpun dia gentar. Bagi Baba Ayub, dirinya sudah mati tatkala raksasa merengut Qais dari hidupnya.

Sang raksasa segera meninggalkannya dan berjalan menyusuri lorong besar. Namun, tetap Baba Ayub mengikutinya dengan kesabaran yang mulai menipis. Dia terus mengikuti raksasa ini hingga berhenti di sebuah ruangan besar yang diujungnya ada sebuah tirai raksasa. Melihat keteguhan hatinya, sang raksasa memerintahkan Baba Ayub untuk mendekat, segara dibukanya tirai ini. Dari balik jendela kaca, tampaklah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Sebuah taman elok nan hijau dengan bunga beraneka warna, teras marmer yang indah dan kolam dengan air mancur yang menawan. Dan di dalamnya, anak-anak kecil berlarian gembira. Mereka tampak sehat dan bahagia. Seketika tampak di mata Baba Ayub, Qais, yang telah tumbuh dewasa, rambutnya sedikit lebih panjang dari pada Qais yang hidup dalam ingatan Baba Ayub. Baba Ayub mulai berteriak-teriak, melambai-lambai, memanggil Qais, namun tentu saja Qais tak bisa mendengarnya pun melihat keberadaannya. Beberapa saat …hingga sang raksasa menutup tirai itu dan berkata kepada Baba Ayub, bahwa ini semua adalah cobaan akan perasaan cintanya. Baba Ayub tidak mengerti sedikitpun maksud sang raksasa, yang dia tau, dia ingin membawa Qais pulang. Sang raksasa berkata bahwa Qais tidak mengenal Baba Ayub. Dia menujukkan kepada Baba Ayub bahwa di tempat itu, Qais memperoleh segala yang terbaik yang tak pernah dia dapatkan: makanan, pakaian, pendidikan, persahabatan dan kebahagiaan… yang selama ini menjadi sebuah luxury tak mampu Baba Ayub beli.

Sang raksasa segera menyodorkan jam pasir dan meletakkannya di kaki Baba Ayub seraya berkata, “Aku akan memperbolehkanmu membawanya pulang, tapi kalau itu pilihanmu, Qais tak kan pernah lagi bisa kembali ke tempat ini. Namun kalau kau memilih sebaliknya, kamu tak kan pernah lagi bisa menapakkan kakimu di sini. Dan ketika jam pasir itu telah habis tertumpah, kamu harus memutuskan”. Sekali lagi, Baba Ayub harus membuat pilihan yang sangat sulit dan menyakitkan.

Dear … dalam hidup, seringkali kita dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, antara mempertahankan seseorang yang kita sayangi demi memuaskan keinginan kita untuk memiliki dan bersamanya selalu, atau melepaskannya dengan hati yang hancur, demi sebuah kesempatan yang jauh lebih berharga, yang mungkin tak pernah bisa kita tawarkan. Andaipun pilihan ini kau tanyakan padaku …to be honest … ini keputusan yang tidak mudah.

Dan Baba Ayub memilih untuk melepaskan Qais, buah hatinya, penyemangat hidupnya, demi sebuah kesempatan hidup yang jauh lebih baik, yang tak bisa dia tawarkan. Baba Ayub telah membuat keputusan besar bagi hidupnya, bagi hidup Qais. Sebelum melangkah pergi, raksasa itu memberinya botol kecil berisi cairan pekat. Baba Ayub pun pulang ke Maidan Sabz. Dan di sepanjang jalan, sesuai perintah sang raksasa, Baba Ayub meminum cairan itu. Sesampainya di Maidan Sabz, semua orang menjadi heran karena Baba Ayub tak pernah bisa menceritakan apa yang telah terjadi padanya dalam beberapa hari ini. Dia tak ingat lagi sorga hijau nan indah, tempat Qais bersama teman-temannya berlarian. Bahkan, dia tidak lagi ingat ada satu nama indah yang pernah mengisi hari-harinya. Kamu tau apa yang terjadi? Cairan itu telah menghapus semua kenangan Baba Ayub tentang Qais.

*cerita di atas disadur dari dongeng Sang Ayah kepada Abdullah dan Pari dalam buku “And the mountains echoed”.

Demi Kaum Miaow

cat stories
cat stories

Hidup ini berjalan dengan cukup ajaib. Seorang teman bercerita, upayanya untuk membuang kucing betina di rumahnya menemui kegagalan, untuk kedua kalinya. Bahkan upaya terakhir diwarnai dengan perang bathin sang kucing hingga membuahkan cakaran-cakaran maut di tubuh temanku. Si kucing betina kembali dan temanku pun kecewa. Tak hanya dia yang kecewa, aku lebih lagi, sedih memikirkan nasib kucing itu. Btw, am a cat person and I love cats.

Tapi… seperti kataku di awal. Hidup ini berjalan dengan cukup ajaib. Di saat yang bersamaan, seorang sahabat tiba-tiba mengirimkan sebuah gambar, koleksi novel “cat stories” nya, karya James Herriot dalam empat bahasa. Ada satu buku yang hampir tak kukenali bahasanya karena cover bukunya menggunakan judul dalam bahasa Inggris. Sahabatku segera nyeletuk “yang satu itu memang tidak punya kepribadian”. Hahah, kami merujuk pada buku terbitan gramedia yang masih memberi judul “cat stories” ketimbang “Kisah-kisah Kitty” atau “Kisah-kisah Kucing”, apapun judulnya yang penting triple K :D. Sahabatku berseloroh bahwa judul dalam bahasa Indonesia terserah aku.”Demi Kaum Miaow dan demi kucing yang adil dan beradab”, katanya. Malam itu, aku terkekeh sendiri. Apalagi setelah teringat kembali kisah sahabatku beberapa tahun lalu tentang celebrity cat di Ginza yang fotonya dia kirimkan lagi padaku malam itu.

Lihat, hidup ini memang penuh keajaiban. Sesaat kesedihan itu berubah menjadi keceriaan.

Jadi… kucingpun punya hak. Biarkan dia pergi dengan sendirinya. Jangan beri insentif untuk kuncing itu betah di rumah, kalau memang kamu tidak menghendaki kucing itu tinggal. Ini semua demi keadilan sosial bagi seluruh kucing Indonesia. Salam miaow.

For you who bring me new tomorrows

This song is about a bride,who’s walking down the isle. She remembers the past but has stories for futures. The song was originally performed by Lea Salonga who happens to be one of my favorite singers.

If I were to live a hundred years, I would sing the song which I planned to sing for him exactly a year ago at the church, just the same a hundred years from now, word for word.

Two Words (I do)                     by Lea Salonga

In a while, in a word,
Every moment now returns.
For a while, seen or heard,
How each memory softly burns.
Facing you who brings me new tomorrows,
I thank God for yesterdays,
How they led me to this very hour,
How they led me to this place…

Every touch, every smile,
You have given me in care.
Keep in heart, always I’ll,
Now be treasuring everywhere.
And if life should come to just one question,
Do I hold this moment true?
No trace of sadness,
Always with gladness…
‘I DO…’

Now a song that speaks of now and ever,
Beckons me to someone new,
Unexpected, unexplored, unseen,
Filled with promise coming through.

In a while, in a word,
You and I forever change,
Love so clear, never blurred,
Has me feeling wondrous, strange,
And if life should come to just one question,
Do I face each moment true?
No trace of sadness, always with gladness,
‘I DO…’

Never with sadness…
Always with gladness…
‘I…DO….’

Just gonna stand there, and watch me burn …

“Hey, so sad”, kataku.

“Iya, Just gonna stand there, and hear me cry …” .

Sepenggal pembicaraan kami, menanggapi sebuah lagu yang dengan sengaja dia drop di accountku.  Aku lalu menelisik ke tiap bait, “ Just gonna stand there, and watch me burn. But that’s alright because I like the way it hurts…”.

Diam, pasrah menjadi obyek permainan alam, hingga waktu menjadi penentu saat saat kita hancur. Sounds insane. Tapi tak kupungkiri, akupun pernah melalui masa ini, dengan ritme yang sangat lambat. How painful it was. Beruntung, seorang malaikat mengangkatku 🙂

Entah mengapa, pikiranku tiba-tiba melayang pada sosok cantik yang pernah ada menghiasi langit malam beberapa ratus tahun yang lalu. Tycho’s Star. Bintang dengan pijar menawan, meskipun hanya untuk sesaat.

Pada tanggal 11 November 1572, Cassiopeia mendadak menjadi pusat perhatian. Tycho Brahe seorang astronom Denmark, tiba-tiba menemukan sebuah obyek terang kala berkontemplasi menengadah ke atas langit malam. Obyek yang tiba-tiba muncul di sekitaran Cassiopeia ini tampak sangat terang. This star was more brilliant than Venus and could even be seen in daylight. Bayangkan Venus, benda langit yang paling terang dengan apparent magnitudes -3 pun, tampak kalah pamor. Tentu jangan membandingkan benda ini dengan bulan apalagi matahari.  Jaraknya yang sepuluh ribu tahun cahaya, tentu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan sang surya yang massive.

Namun, apa yang awalnya diduga sebagai sebuah bintang, ternyata adalah sebuah proses bunuh diri, penghancuran diri sendiri. A Supernova. What Tycho saw in Cassiopeia was the violent and almost totally self destructive death of a massive star.

Kemunculan bintang ini di tahun 1572 ternyata hanya sesaat. Beberapa bulan kemudian bintang ini mengecil, mengubah warnanya yang putih menjadi kuning kemerahan. Semakin mengecil dan semakin tak kasat mata, lalu lenyap. Tycho’s Star, hancur perlahan dalam delapan belas bulan, melebur dengan alam. Menyisakan debu-debu bintang dilangit kelam. Bersamaan dengan itu, nafaspun tertiup bagi lahirnya bintang-bintang baru.

Perlahan aku kembali pada bait lagu Rihana dan Eminem. Lalu terbersit dalam akal, bahwa sebenarnyalah kita belajar pada alam.

Duhh koq jadi sedih ya …  well… Nanti malam, kala langit cerah, tengoklah ke langit utara. Cari konstelasi kecil yang membentuk symbol W, Cassiopeia. Tak jauh dari situ, Tycho’s star pernah berdiam diri, menanti saat saat penghancuran dirinya sendiri. Bulan ini dan bulan depan, Cassiopeia akan tampak kasat mata. Inilah saat yang tepat untuk mengenang Tycho’s star.

Sarapan Pagi

Akibat ditinggal suami selama seminggu ini, dan efek ulah mertua yang memaksa mengantarku ke kantor (teramat) pagi hari (gilee, tiap jam 6.30 aku sudah sampai di kantor, barengan dengan CS yang terlebih dahulu membuka pintu), aku terpaksa menyimak berita di koran. Biasanya berita dari online portal sudah cukup bagiku.

Selama seminggu ini pemberitaan di Wall Street Journal dan Financial Times tentang misteri terapresiasinya yen Jepang cukup ramai menghiasi kolom di kedua koran tersebut, disamping ketakutan double dip recession di US yang juga beberapa kali menjadi headlines.

Dari beberapa catatan di koran tersebut, China dicurigai berada dibalik semua permasalahan ini.

Sejumlah analis menyebutkan fenomena ini sebagai sebuah misteri, bagaimana tidak,melihat yield differential saja kenaikan yen secara dramatis ini serasa mimpi. Jepang adalah source of carry trade, secara otomatis yen was forced down for years.

Basic factor lain yang dapat menjadi driver penguatan yen seperti current account surplus juga tidak mendukung. Current account surplus beberapa tahun ini cenderung menurun. Current account surplus sebesar 4.7% pada tahun 2007 diperkirakan turun menjadi sebesar 3.6% tahun ini.

Argumen lain yang menambahkan keanehan fenomena ini adalah faktor economic growth Jepang yang tampak seperti anak kembar  dengan growth di US. Data CEIC menyebutkan forecast GDP year on year tahun 2010 untuk Jepang adalah  sebesar 3.0% sedangkan untuk US sebesar 2.8%. Alhasil, faktor ini bukanlah alasan yang tepat untuk menggambarkan penguatan yen yang cukup dramatis.

Alasan yang tersisa hanyalah deflasi yang semakin memburuk ditambah dengan aksi China dalam memborong Yen. Penguatan secara dramatis ini tentu sangat menguntungkan bagi China dan juga korea sebagai manufaktur produk elektronik dan otomotif. Barang-barang dari Jepang semakin tidak kompetitif.  Apakah ini sengaja diinisiasi oleh China? Entahlah. Setidaknya, andaipun ini benar, aku akan menjadi orang pertama yang mengacungkan jempol untuk strategi China dalam meningkatkan ekspornya. Meskipun terlihat kurang etis, setidaknya ini bisa membuktikan bahwa money can buy anything.

Eniwei ini hanya rumors, dan kebenarannya masih disangsikan. Namun setidaknya, apapun alasan penguatan yen, pemerintah Jepang serasa kebakaran jenggot so that they step up effort to weaken yen.

Kusmi Tea

Setelah vonis untuk mengurangi asupan kopi ke tubuh itu berlaku, keluarga besarmu seolah menjadi safe heaven. Rasa yang light tentunya tak bisa menggantikan kenikmatan kopi dengan cita rata bold dan mantappp. Tapi apa boleh dikata, kesehatanku tentu yang paling utama.

Kamu perlu tau, aku tak mudah berpaling ke jenis teh yang lain. Sebagai penikmat teh melati, aku telah semena-mena menilai rasa teh yang lain. Terus terang teh Oolong kurang berjodoh dengan lidahku. Apalagi teh chamomile yang jelas jelas gagal membuatku relax. Bahkan diantara beberapa merk teh melati yang ada, aku cenderung setia satu atau dua merk saja.

Penampilanmu yang cukup elegan nan menawan, sepintas membuatmu terlihat berkelas. Tapi inilah aku, penikmat teh melati asli dari negeri sendiri. Aku tak goyah hanya dengan silauan mata. Hatiku pun takkan jatuh tanpa menelusup ke dalam cita rasamu.

Lalu pagi menjelang siang itu, aku melewatimu dan lantas mengacuhkanmu. Kamu beruntung, suamiku yang ganteng itu langsung melirikmu. Iya, dia jatuh hati. Semenjak memasuki Galleries Lafayette di lantai 6, matanya telah mengarah kepadamu. Seharusnyalah kau tersanjung. Aku menghampirimu sesaat hanya ketika suamiku bertanya, “Dek, mo nyobain yang rasa apa?” Kamu pasti sudah menduga jawabanku. “Indifferent”. Di duniaku hanya teh melati yang hidup, dan hanya dua merk saja yang menancap tajam di hatiku. Maaf, aku belum mengenalmu. Tapi suamiku yang baik hati tentu takkan sesinis aku. The finest Russia blend, bisik suamiku bangga tatkala meraupmu dari deretan teh di rak itu.

Beberapa hari sesudahnya… demi suamiku, aku menyeduhmu di air panas. Sengaja aku membaca buku petunjuk yang tersedia di dalam kotak kemasanmu yang memang cantik. Kaleng yang membungkusmu saja tampak unik. Tak bisa kupungkiri bahwa suamiku pun langsung jatuh hati.

Hatiku mulai bergetar tatkala sepintas aku melihat sejarah panjangmu. Dari Rusia, lalu London dan berakhir di Paris. Dari tangan seorang bocah bernama Pavel Michailovitch Kousmichoff, yang mulai belajar meramu teh diusianya yang cukup dini, 14 tahun, kamu menjadi teh kelas dunia. Bermula dari warung teh kecil di Sadovaïa Street, Rusia, tempatmu terlahir, reputasimu mulai memuncak. Kala itu tahun menunjukkan angka 1867.

Membaca kisah panjangmu telah menyulutkan gelora jiwaku. Rasa itu kian memuncak tatkala rasamu yang sedikit bold, tapi pleasant dan smooth itu terkecap di lidahku. Akupun jatuh hati.

Land of The Loving

Deep in your eyes is a promise
Love can be ours if we want it
Starting tonight ev’ry dream I ever knew
Here in your arms I’m believing
Fin’lly my life has a meaning of its own
Here in the land of loving I am home

I was alone in the city
Searchin’ for someone to find me
cold empty nights and a million strangers’ eyes
Here in your arms I’m beginning
To leave behind all the loneliness I knew
Here in the land of loving there is you

In this simple room magic is made
Though the world seems unchanged
Leave the lights on I’m a little afraid
This might be just one sweet dream

Deep in the night love is growing
Though I had no way of knowing
That when I found you I found ev’rything I need
Here in your love I’ll be staying
Fin’lly my life won’t be living all alone
Here in the land of the loving I am home

I am home

Reaksi Negatif Pasar

Market sesi 1

Pasar bereaksi negatif atas berita itu, Bu. Pada detik aku mengetik kata-kata ini, pasar telah jatuh 3,24%.

Aku berharap para selebritas dadakan itu puas. Tapi kupikir mereka takkan puas, karena Anda bukan the ultimate target. Mereka punya banyak alasan untuk membuat Anda mundur, tapi mereka juga punya beribu kalimat untuk mengomentari kemunduran Anda. Tak ada satu pun hal yang benar di mata mereka. Tapi sudahlah, suatu saat nanti, akan kusampaikan kepada anakku, bahwa ibunya bangga menjadi bagian dari perubahan besar yang Ibu pimpin. Dan satu hal akan aku sampaikan padanya, agar dia hidup berbekal hati nurani. Akan aku tutup telinganya dari ucapan-ucapan politisi busuk yang hanya bisa mengumbar kebohongan di media.

Anda layak mendapat tempat dimana orang-orang mengapresiasi kemampuan Anda Bu. Suatu hari negeri ini akan menyesal kehilangan orang-orang terbaiknya. Ahh kupikir tak harus nanti, saat ini pun sebagian bangsa ini menangis. Politik memang jahat.

"Feeling" analysis

stochastic - tak terdeteksi hati

 

Toh meskipun harga penutupan terakhir secara konsisten sejak pertengahan bulan Februari hingga saat ini menunjukkan trend yang mendekati harga tertinggi, mengindikasikan adanya dorongan beli, tak jua INCO terlepas untuk sekedar merealisasikan gain. Pun jumlah tak bertambah didepan rayuan potensi laba. Momentum itu selalu saja menjauh dari jari-jariku. Bullish sign tak terdeteksi hati. “Feeling” analysis terlalu mendominasi.