Berinvestasi di China lebih berisiko dari pada di Indonesia?

Melanjutkan tulisan sebelumnya, masih tentang persepsi investor tentang risiko berinvestasi di Indonesia. Tulisan Vikram Khanna hasil wawancaranya dengan Sir Tim Lankester, bisa membangun image positif tentang Indonesia.

Ini bukan sekedar pendapat Pak Lankester, tapi hasil riset beliau yang saat ini tengah menjadi consultant to UNDP. Siapa Pak Lankester ini? Beliau, pernah menjadi economistnya World Bank dan kemudian menjadi boad member, pernah menjadi pimpinan di DFID (ini semacam Uk’s official development assistant agency), lalu Direktur di SOAS (ini kampus terkenal di UK-heran deh kalo ada alumni UK yang gak tau) and at this moment beliau menjabat President of Oxford University’s Corpus Christi College.

Pendapat beliau yang ditulis oleh Vikram ini sengaja ku rewrite disini tidak dimaksudkan untuk persuade or provoke to support the opinion that Indonesia is on track towards what we call as “sustainable government reform”. Pendapat Pak Lankester yang cukup mengejutkan ini menjelaskan mengapa to do business in china is riskier than in Indonesia.

“It is a matter of getting the perception right”, katanya kepada Vikram. Sama halnya dengan India ‘the perception underplays the reality’ sedangkan di China ‘the perception overplays the reality’.

Memang, tiger-nya Asia ini berkembang sangat pesat, lihat saja angka tingkat pertumbuhannya, economic scale serta ketersediaan infrastrukturnya menjadi nilai lebih untuk attract big rush into China. Namun, Pak Lankester beranggapan, banking system di China is still frail. “Legal system is bad if you’re a foreign investor”, tambahnya. Ditambah lagi dengan political problems. Siapa yang bisa memastikan kondisi politik China dalam 10 tahun kedepan? Apakah pemerintahannya akan seperti saat ini? Apakah mereka akan lebih liberal, sebagaimana keinginan rakyat banyak, mampukah mereka melakukannya? There are political risks is China that are underrated.

Menurut Pak Lankester, Indonesia pun shares similar problems. Namun pandangan beliau, permasalahan ini tidak sebesar di China. Indonesia sedikit banyak mirip dengan India. Tentu untuk menuju ke arah demokrasi, kedua negara ini memiliki certain degree of political instability, termasuk juga masalah infrastruktur. Namun masih banyak lagi yang terkait dengan investasi di India or Indonesia yang understated.

British company di China merasa tidak bisa memaksimal usahanya, mengingat biaya untuk mendirikan suatu usaha sangat tinggi. Lain halnya dengan di Indonesia, banyak perusahaan Inggris maupun Amerika memperoleh peluang to make money, asalkan menemukan partner yang pas.

Indonesia, menurut beliau, has made huge progress di bidang legal and judicial reform. Blossoming civil society termasuk pula partisipasi media untuk turut menciptakan kondisi ini menjadi point positif. Makro ekonomi membaik, to do business straight without being corrupt mulai membudaya.

At local level pemda akan bersaing, investor akan mencari daerah-daerah tujuan investasi yang relatif lebih bersih. Dan ini akan memicu daerah-daerah dengan reputasi buruk untuk mulai berbenah diri. Ini idealnya yaaa.

So to conclude, beliau beranggapan bahwa :”Indonesia is going to have a working democracy – not always efficient, but working reasonably well”. Sementara China remains the big unknown in Asia.

Want to further hear his opinion? Pak Lankester akan memaparkan presentasinya tentang “the challenge of sustainable governance reform” di Hotel Borobudur, besok pagi 9 Agustus 2007, atas undangan Ibu Menteri.

Sovereign Credit Rating

Ditengah gonjang-ganjing global market yang berimbas ke regional market- dari isu subprime mortgage berdampak kepada ditariknya dana-dana efek carry trade ke mata uang aslinya semisal yen atau ditariknya dana dari riskier portofolio di emerging market yang membuat rupiah melemah- masih ada beberapa hal yang menyejukkan hati. Misalnya, berita lembaga pemeringkat internasional Moody’s yang hendak menaikkan peringkat sovereign rating Indonesia dari B1 ke Ba3.

Sovereign rating ini menunjukkan tingkat kemampuan dan kemauan Pemerintah dalam memenuhi semua kewajibannya. Karenanya sovereign rating menunjukkan pula penilaian atas keseluruhan resiko dari suatu pemerintahan. Sehingga seringkali, credit rating dianggap sebagai forward looking terhadap terjadinya default.

Nah investor-investor luar negeri, terutama yang risk-averse ini sering kali melihat sovereign rating sebagai acuan mereka. Investor Jepang, for instance, mereka akan melihat rating yang at least harus masuk kategori investment grade. Indonesia sendiri sebenarnya belum masuk kategori investment grade. Masih banyak yang harus kita benahi, termasuk urusan politik dan keamanan. This is absolutely beyond our control as a sovereign financial institution. Cuma kami berusaha untuk bersinergi dengan mereka yang berwenang di bidang itu. Mari bersama-sama memajukan bangsa, menuju Indonesia mencapai investment grade. Itu slogan kami, timnas peningkatan rating Indonesia. Siapa bilang cuma sepak bola yang punya Tim Nas. Iyo gak Kang Hedi?

Tapi kenapa kita peduli terhadap sovereign rating? Apakah negeriku bisa berubah dengan naiknya sovereign rating?
Gambaran sederhananya begini: secara langsung, bisa digambarkan bahwa dengan sovereign rating yang semakin baik, berarti anggapan investor atas investasi di Indonesia is less risky, maka risk premium yang mereka kenakan untuk berinvestasi di Indonesia (either pasar uang or pasar modal) akan berkurang, artinya cost of borrowing semakin kecil, which means anggaran pemerintah kita bisa dihemat, sehingga ada kegiatan-kegiatan pro rakyat lain yang bisa dibiayai dari pengalihan biaya dampak pengenaan risk premium ini.

Dampak secara tidak langsungnya : melihat sovereign rating yang naik, investor akan beranggapan investasi di Indonesia less risky, yang artinya berinvestasi di private sektorpun juga less risky. Mereka akan berbondong-bondong menanamkan modalnya di Indonesia, membangun pabrik-pabrik di daerah misalnya. Efeknya, tenaga kerja didaerah terserap, income percapita naik, purchasing power naik. Positifnya lagi, semakin banyak perusahaan-perusahaan, infrastruktur, semisal jembatan or jalan, port or bandara menjadi suatu kebutuhan, akhirnya kita juga yang menikmatinya.

Ayo bangun Indonesia! Lets make positive image of our beautiful city eh country.

NAP (Normaal Amsterdams Peil)

speeltuin.jpg Nijmegen

Taman bermain ini cukup menarik, letaknya di Heerhugowaard. Saking menariknya, anak-anakpun tak bisa menyentuhnya, bahkan oleh orang dewasapun. It’s too dangerous kecuali anda pemain akrobat. Tak bisa kubayangkan kalau suatu saat aku bersama anakku melewati taman ini, dan dia merengek, “Mama ik wil het spelen!” (Mama aku ingin bermain). Atau membayangkan mengajak Denis bermain, dia akan senang sekali bisa keluar dari rumah, tapi betapa kecewanya dia ketika melihat semua mainan tak bisa diraihnya, bahkan oleh tantenyapun tidak.

Taman ini sengaja dibuat dari titik ketinggian sama dengan NAP (Normaal Amsterdams Peil). NAP, lebih dipahami kaum awam sebagai referensi sea level di Netherlands. Kebanyakan orang tidak lagi mengetahui apa kepanjangan dari NAP, namun selalu mengasosikannya dengan sea level. Beberapa waktu lalu ketika aku singgah di Nijmegen, sebuah kota tua berbatasan dengan Jerman yang merupakan tempat pertemuan dua sungai besar Maas dan Waal, aku melihat pal dengan meteran di sana. Terusik rasa isengku, aku memakainya untuk mengukur tinggi badanku. Karena penasaran aku mencari information board dekat pal meteran tersebut guna melihat apa fungsi meteran ini. Rupanya ini pal monumental untuk mengingatkan bahwa kota ini telah beberapa kali tenggelam, well not really tenggelam, cuman banjir aja. Dan disitu tertulis pula NAP.

Berdasarkan ensiklopedi bebas, NAP adalah vertical datum yang banyak digunakan di Eropa Barat. Awalnya NAP hanya digunakan di Belanda yang kemudian diadopsi German sekitar tahun 1879 dengan nama Normal Null, berikutnya negara-negara Eropa lainnyapun turut menggunakan NAP sebagai referensi. Pada mulanya zero level dari NAP adalah rata-rata tinggi banjir yang terjadi di musim panas di Amsterdam, kota yang terhubung dengan laut lepas pada tahun 1684. Jadi awalnya NAP tidak dimaksudkan sebagai sea level tapi rata-rata tinggi banjir. Namun, sekarang NAP lebih sering dihubungkan dengan sea level di pantai-pantai di Belanda, mungkin seiring perkembangan teknologi, banjir tak lagi identik dengan musim panas di Amsterdam. Water management di negara ini sudah cukup canggih.

Dua minggu lagi kami sekelas berkesempatan menengok, water management di Rotterdam, kalau di Indonesia punya banjir kanal, di Belanda mereka punya delta work. Sebuah proyek yang merupakan flood defense system, guna meghindari kejadian banjir besar akibat luapan North Sea yang merusak tanggul-tanggul buatan disepanjang area ini.

Namun kami tidak ada berdiskusi masalah water management di negara ini, kami mebih tertarik melihatnya dari angle finance. Aku, misalnya akan tertarik membahas bagaimana risk yang mengancam proyek ini didefine, kemudian memilah-milah mana yang harus di retained, transferred atau simply avoided.

Risk Management

Banyak yang mempercayai bahwa risk management adalah salah satu inovasi terpenting diabad 20. Dengan segala konsep khususnya financial derivatives, risk management menjadi bagian dari bisnis keuangan. Future, option ataupun swap kini tak lagi asing di telinga para pelaku bisnis keuangan. Kalau ditarik ke beberapa ribu tahun kebelakang, risk management bukan hal yag baru. Konon di jaman Babilon 1800 sebelum masehi, konsep option sebagai financial derivatives sudah dikenal. Dari interpretasi Code Hammurabi dijelaskan bahwa konsep ini dimanfaatkan untuk meng-cover kemungkinan terjadinya kerugian akibat gagal panen

Dalam pengelolaan utang pemerintah, future dan option masih belum dikembangkan, sedangkan swap sedang dijajaki. Beberapa lender seperti World Bank dan ADB menawarkan fasilitas swap untuk me-manage utang pemerintah, namun tentu saja khusus untuk outstanding utang pemerintah ke lender ini.

Di dunia perbankan, risk management justru menjadi salah satu fungsi vital yang diawali dari Basel Commitee of Banking Supervision. Model risk measurement berkembang pesat. Pengelolaan sebagian utang pemerintah, terutama yang berbentuk securities misalnya, konon menggunakan Monte Carlo simulation yang merupakan metode standard untuk mengukur market risk. Lalu bagaimana dengan government loan ? mmm.. no comment dulu deh. 

   

Cerita Keluarga Mickey diantara Sandwich Tuna

Mickey Eisner   Group kami yang mixed kewarganegaraan kebagian tugas menganalisa kasus Disney dalam perspektif manajemen strategi. Kami cukup excited berbagi pendapat hingga seseorang datang menghentikan diskusi kami karena waktu telah usai. Kami sepaham tentang Michael Eisner yang kami anggap saat itu sebagai ‘evil’. Well here it is the short story: 

Cerita ini diawali oleh Walt dan Roy yang – setelah kartun kreasinya  ‘Oswald the Lucky Rabbit’ dibajak –  menjadi pusat perhatian dunia karena karakter yang diciptakannya Mikey Mouse. Menyusul sukses sebelumnya, lahirlah Goofy dan Donald Duck yang kemudian menjadi kontributor penting bagi keuangan Disney Brothers Studio. Full-length animation films menjadi target selanjutnya dengan diproduksinya Snow White and the Seven Dwarfs (1937), Pinocchio (1940) dan Bambi (1942). Market intuitive-nya membawa  Disney kepada bisnis merchandising. Baju, pencil dan kaleng soda dengan karakter Disney mulai dijual dipasaran. Dan sempat pula jump into produksi program TV dan video musik. Di tahun 1955, Disneyland a ‘Magical Kingdom’ berhasil dibangun  di Anaheim California.  Impian Walt-pun menjadi kenyataan. 11 tahun kemudian Walt meninggal. Namun Roy melanjutkan impian ini dengan membangun Disney World di Orlando, yang pembangunannya selesai sesaat sebelum Roy meninggal di tahun 1971. Namun kreatifitas duo bersaudara ini sepertinya menguap sesaat setelah Jungle Book-Proyek terakhir Walt- direalease di tahun 1967. Sejak tahun itu hingga 1983 Disney studio sepertinya vakum. Hanya 4% penikmat film Amerika yang menonton Disney Picture. Penjualan merchandise menurun tajam. Dan pada saat yang bersamaan, Disney channel di release, namun antusiasme penonton tidak lagi mendominasi. Menambah beban keuangan Disney. Dan akhirnya  disewalah new management team di tahun 1984, yang terdiri atas Michael Eisner  sebagai Chief Executive Officer dan Frank Wells Chief Operational Officer.  Eisner sebenarnya cukup berpengalaman dan bisa dibilang sebagai tokoh sukses dibalik film Saturday Night Fever, Grease, the Star Trek, Raiders of the Lost Ark, and Beverly Hills Cop, serta TV shows seperti Happy Days, Laverne and Shirley, Cheers and Family Ties pada saat dia menjabat sebagai president sekaligus COO di Paramount Pictures. Dia seorang yang passionate, creative dan hands-on, cenderung melihat sesuatu secara detail termasuk terlibat dalam pembacaan script dan  pemilihan konstum pemain. Kebalikannya, Frank Wells yang mantan vice chairman Warner Brothers adalah seseorang dengan perencanaan yang operasional ketimbang sekedar mengandalkan kreatifitas dan seseorang dengan kemampuan me-manage people skills. Eisner dan Wells adalah pasangan yang serasi dan saling menutupi kekurangan masing-masing dalam manajemen. Mereka bersinergi sampai saat kematian Wells, akibat kecelakaan helicopter.  Ditangan mereka, Disney terselamatkan dari kehancuran. Dengan dana terbatas mereka mulai memproduksi film, dengan anggaran murah dan segmen pasar anak-anak muda, seperti Good Morning Vietnam dan Down and Out in Beverly Hills. Kemudian film seperti Pretty Woman dan Pulp Fiction yang merupakan hasil produksi Miramax sebuah avant garde movie studio yang telah dibeli oleh Disney pada tahun 1993,  menjadi saksi kesuksesan Disney Manajemen. Lalu film animasi yang merupakan core business di awal lahirnya karakter-karakter Disney, mulai diproduksi dan mencapai sukses. Diantaranya The Little Mermaid, Beauty and the Beast, Aladdin and the Lion King.  

Namun ternyata diantara kesuksesan-kesuksesan tersebut, Disney Management menyimpan bomb yang suatu saat bisa menghancurkan perusahaan termasuk para share holder. Dalam issue Strategic thinking, Disney management lebih kepada proses kreatif  (intuitive) ketimbang logic. Eisner adalah sosok yang intuitif  dan teramat dominan dalam manajemen sepeninggal Wells di tahun 1994. Hal ini terbawa dalam manajemen Disney.  

Dalam International context, manajemen lebih dominan  kepada globalization strategy ketimbang local strategy. Hal ini terlihat pada saat keputusan manajemen untuk meng-copy  sukses Tokyo Disneyland dan membangun Euro Disney di Perancis tanpa melihat bagaimana behaviour pasar eropa. Mereka beranggapan bahwa Disneyland di Amerika, Jepang pun Eropa mestinya sama. Tapi nyatanya, para pengunjung Tokyo Disneyland sangat mengapresiasi replica tokoh-tokoh Disney , sedangkan  pengunjung Euro Disney  memiliki taste yang berbeda. Dan memerlukan waktu beberapa tahun bagi manajemen untuk mulai mengadaptasi Euro Disney kepada taste pasar Eropa. Hasilnya, significant losses during the period.  Hal ini juga menjadi bukti pula bahwa dari konteks organization purposes, Disney lebih condong kepada strategi untuk meraup keuntungan (profitability) namun less responsibility. Mereka tidak melihat bahwa market sama sekali tidak mengapresiasi. Dalam human resource management, strategi profitability ini nampak jelas dilihat dari  manajemen Eisner yang cenderung mencekoki anggota manajemen dengan ide-ide kreatifnya demi profitability tanpa memberi mereka otonomi dan kesempatan untuk bermanuver. Hasilnya, para executives di Disney manajemen hengkang sebagai akibat overbearing presence-nya. Anehnya Eisner malah melihat hal ini sebaliknya. Dalam beberapa wawancara dia menyebutkan,I’ve never had a problem with anybody who was truly talented. This autonomy crap? That means you’re off working alone. If you want autonomy, be a poet.  Beberapa majalah bereaksi dengan menuliskan, … but with Wells gone, no one was there to repair damaged egos and sooth hurt feelings.” Eisner lebih mengejar profit ketimbang membuat sinerni dengan para anggota manajemen dan membuat mereka happy. The management was simply less responsible to its staff. So demi profitability, management mengacuhkan market, mengacuhkan pula karyawan.Jelas sekali dalam Organizational Context, Disney Management lebih menitikberatkan kepada strategy control, berlebihan malah. 

Kembali kepada konteks profitability versus responsibility, manajemen terlalu berambisius dalam keputusannya membeli ABC TV network, ABC Radio Network dan 80% saham ESPN. Entah apakah keputusan ini didasari kecintaan Eisner kepada ABC network tempatnya dulu bekerja sebagai daytime programmer. Namun bagiku, sebagai seorang business man, dia akan berpikir strategic ketimbang alasan-alasan yang irrasional. Keputusan tersebut diatas membuat shareholder kurang comfortable dan berakibat pada pertumbuhan income perusahaan yang memburuk.  Dalam Corporate level strategy beberapa kali managemen terlihat lebih ber- synergy ketimbang responsiveness. Hal ini bisa dilihat pada saat Disney men-subcontract-kan pembuatan film animasi seperti Toy Story dan Lilo and Stitch kepada Pixar yang merupakan independent studio yang bergerak dibidang computer-generated animasi. Namun kemudian hal ini justru dipertanyakan mengingat core business Disney adalah film animasi, namun Disney tidak memiliki expertise di bidang ini. Sehingga pertanyaan berikutnya, perlukah managemen reconsider to apply responsiveness organization dengan men-develop in-house capability, ketimbang men-outsourcing-kan.Well… hampir semua film animasi produksi Disney pernah kutonton namun baru kali ini aku membahas manajemen di dalamnya. It is always easy to say but when you go into the real situation everything will be different. Lebih enak berbicara dan mendiskusikan masalah ini sambil duduk-duduk dirumput dengan terpaan sinar matahari yang hangat dan menikmati sandwich tuna, ketimbang berada di kursi manajemen dan harus memutuskan sesuatu.