When in Rome

Banyak jalan menuju Roma. Demikian ungkapan populer yang memang awalnya digunakan untuk menggambarkan paved roads di jaman kekaisaran Roma yang semuanya mengarah ke Roman Forum,tepat di depan Colosseum.

Sayang Appian Way, paved road yang tersisa dari jaman itu, tak sempat dikunjungi. Itinerary yang padat membuat dua hari kami cukup penat. Setidaknya, kami sempat melempar koin ke Trevi Fountain yang konon akan membuat kami kembali ke kota ini.  Yes, someday we will.

Benar saja, baru tiga hari kembali ke Jakarta, pasangan hati sudah membuat rencana-rencana baru yang di dalamnya, kota Roma menjadi salah satu alternatif.

Ok let me share our itinerary :

  1. Kami tinggal di Biara Suore San Giuseppe di Cluny. They accept cash only.  Tapi reservation is needed. Cukup email ke casaprocura.cluny@tiscali.it. Prompt reply will be granted. Kamar kami cukup sederhana tapi bersih. Suasana sepi dan tenang rupanya membuat tidur kami cukup lelap.  Jarak dari Stasiun Termini ke convent cukup dekat, bus stop ke empat dari rute bus 174, atau cukup 15 menit jalan kaki dari Stasiun Termini. Mini market, laundry, cafe and metro station are nearby. Tinggal di biara cukup menyenangkan. Partnerku mengganggap biara ini adalah tempat menginap paling berkesan selama perjalanan kami ke eropa.
  2. Hari pertama, pagi sekali kami mengunjungi Colosseum, kami cukup berjalan kaki dari San Giuseppe Di Cluny, setelah menembus taman, tampaklah Colosseum yang besar itu. Dengan Roma Pass, kami terbebas dari antrian panjang menuju entrance gateNo additional cost, cukup menunjukkan kartu tersebut, masuklah kami ke dalam Colosseum. Berikutnya Vatican Museum yang kami jangkau dengan metro yang stasiunnya tepat diseberang Colosseum. Kami turun di stasiun Metro Ottaviano, lalu mengikuti penunjuk arah. Tiba di depan Vatican museum, antrian telah mengular. Beruntunglah kami yang telah mengantongi tiket online. During summer time, online ticket purchasing is recommended. Tanpa menunggu antrian, kamipun menyusuri lorong, menikmati ruangan penuh lukisan fresco, koleksi sculpture dan koleksi2 lain yang menarik. Sistine chappel dan Raphael room tak ketinggalan untuk dikunjungi. Lebih dari 3 jam kunjungan kami ke museum ini, tentu tak kan cukup untuk mengeksplore semua. Kami hanya memberi waktu lebih untuk koleksi-koleksi yang telah menjadi incaran kami.
  3. Sore itu juga kami berjalan, menyusuri tembok tinggi menuju Basilica St.Peter, yang berada tepat di belakang museum. Waktu telah menunjukkan pukul 18.30 sore ketika kami melangkahkan kaki memasuki Basilica st Peter. Sayang makam para santo yang berada tepat di bawah Basilica St.Peter telah tertutup bagi pengunjung. Tapi kami akan kembali esok hari, mengingat ini adalah tujuan utama kami. Melangkah memasuki Basilica, mata kami disuguhi pemandangan elok, interior karya Giovanni Paolo Pannini.  Cukup satu jam kami menikmati kemegahan interior Basilica St Peter.  Menjelang malam, dengan Bus no 62 yang kami naiki dari bus stop dibelakang information center di area basilica, kami menuju Trevi Fountains untuk sekedar melempar koin 500-an rupiah sambil menikmati gelato tiga rasa di bibir kolam. Tak jauh dari tempat itu, Spanish steps telah menanti kami. Beberapa imigran tampak menawari mawar, dengan tipu muslihat yang sangat mudah dibaca. Kami yang level romantismenya jauh dibawah bunga mawar, hanya tersenyum-senyum memperhatikan ulah mereka.
  4. Hari kedua, sesuai rencana, kami kembali ke Bassilica St.Peter. Berdoa sesaat.  Lalu terdengar sayup-sayup rombongan ibu-ibu, yang dari logat berbicaranya bisa kupastikan mereka dari Surabaya. “Ngapain kita ndek sini?” “Mboh, ndak tau aku, wis lah ngikut ae”, demikian percakapan ibu-ibu atas respon seorang guide yang menunjuk kearah makam. ”Ini loh Bapak-bapak Ibu-ibu, makamnya Santo Petrus” kata sang guide yang  tampak kurang knowledgeable dengan sejarah gereja. Guide pribadiku terlihat jauh lebih menguasai. Abango perfecto! Hambar memang, kalau kita mengunjungi suatu tempat tanpa mengetahui kisah dibalik itu. Tujuan selanjutnya adalah memenuhi mimpi masa kecil partnerku, mengunjungi Capitoline Museum, hanya untuk sekedar berfoto dengan Romus dan Romulus. Lalu kamipun keluar dan berjalan ke arah kanan museum. Ternyata disinilah the best panoramic view untuk Rome Archaeological Sites. Sebenarnya, dari atas Colosseum, area ini memang terlihat cukup dekat. Namun untuk sebuah foto yang unik, angle dari sisi Capitolini jauh lebih menarik, Roman Forum berada tepat di depanmu. Selepas Capitoline Museum, kami berjalan kaki menuju Pantheon dan lalu menyinggahi  Piazza Navona untuk sesaat. Rupanya disinilah akhir perjalanan kami di Roma, kereta menuju Florence telah menanti di Termini.

Useful tips:

  1. Leonardo Express, kereta dari Fiumicino ke Termini, adalah the most convenient transfer apabila kamu sampai di Roma pada sore hari. Setidaknya kereta ini akan menghindarkanmu dari riuhnya lalu lintas kota Roma. Namun shuttle bus menuju Piazza Cavour dan Termini juga tersedia, dengan  harga tiket 6 euro lebih murah dibandingkan dengan tiket kereta yang 14 euro per person.
  2. Roma pass cukup value for money untuk digunakan selama tiga hari perjalanan di Roma. Kartu ini dapat digunakan untuk hampir semua transportation network di Roma, termasuk free entry untuk dua museum atau archaeological sites pilihanmu. Kami menggunakannya untuk masuk ke Colosseum dan Musei Capitolini
  3. Memesan tiket online untuk masuk ke Vatican sangat disarankan untuk menghindari antrian panjang yang cukup melelahkan. Namun biaya pemesanan sebesar 4 euro per tiket akan dibebankan kepada kita
  4. Restoran ”Hong Kong” disamping Termini cukup recommended. Rasanya endang gurindang.
  5. Take away food would be less pricey. Di beberapa trattoria atau ristorante, service charge, apabila di rupiahkan, jatuhnya cukup mahal.

Useful websites :

  1. Europe for visitor, web ini cukup terupdate dengan tips tips yang cukup relevan bagi Europe visitor
  2. Atac website . Halaman ini merupakan website resmi public transportation di kota roma, rute metro dan bus dapat ditemukan disini. Memiliki gambaran kota Roma di kepala kita, prior to the arrival in the city, akan memudahkan kita mengeksplore Roma in the limited time.
  3. Trenitalia. Tidak perlu pesan kereta secara online, kita bisa memesannya pada saat kita tiba di Termini. But it’s useful to check the departure time of the train to your next destination city . I’m a planer person, semua detail harus disiapkan sedini mungkin.
  4. Website Santa Susanna menyediakan info biara yang dibuka untuk umum.

Hanimun* di Gunung Halimun

Kebuh Teh Nirmala - TNGHS

“Macan Tutul Jawa Tertangkap Kamera TNGHS” demikian tertulis dalam sebuah kolom Kompas seminggu yang lalu.

Apakah mereka mencium sisa-sisa keberadaan kami, yang 4 minggu sebelumnya telah merambahi habitatnya di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ?

Cerita ini sebenarnya sedikit basi, karena perjalanan itu sendiri kami lakukan sebulan yang lalu, ketika kami kehabisan ide untuk mengisi libur panjang kami. Namun demi spirit berbagi, inilah detail perjalanan kami.

Berbekal informasi yang tersebar di beberapa website, melajulah kami siang itu ke Sukabumi. Dari Jakarta – Ciawi – Parungkuda, kami tempuh dalam waktu 2 jam. Penunjuk arah menuju TNGHS tepat di Pasar Parungkuda sempat terlewatkan. Sebuah kotak yang tak besar bertuliskan “Parakan Salak”  yang menunjuk ke arah kanan jalan, teracuhkan begitu saja, karena asumsi-asumsi yang salah.

“Iya Cikaniki itu kalau dari Jakarta adanya disebelah kanan, kan di Gunung Halimun. Kalau Bodogol adanya dibelah kiri jalan, karena tempatnya di Gunung Gede Pangrango,” kata-kata ini yang seolah menghiburku tatkala menyadari penunjuk arah ke TNGHS terlewatkan. Beruntunglah alternatif jalan masih tersedia. Tepat disebelah Rumah Makan Cimande kami berbelok ke kanan dan menyusuri jalan aspal yang tak lebar.

Rute kami selanjutnya adalah Kabandungan – Cipeteuy – Gerbang TNGHS – Cikaniki – Citalahab. Dari Parungkuda ke Kabandungan, CY mobil hitam kami melaju di jalan aspal nan mulus. Satu jam berlalu, sampailah kami di Kantor Balai TNGHS. Biaya masuk TNGHS termasuk sewa mobil dan sewa kamar kami bayar di muka. Mengingat setelah melewati Cipeteuy – yang hanya 1 km dari Kantor Balai  TNGHS- jalan tak lagi beraspal, kami memutuskan menyewa L300 dengan biaya 600 rb PP, dan menitipkan CY di kantor itu.

Sedangkan untuk sewa kamar, dengan fasilitas terbatas, namun cukup memadai, kami dikenakan biaya 150 rb. Kami memang kurang beruntung, waktu itu, Wisma Penelitian Cikaniki telah full booked. Jadilah kami mengingap dirumah Pak Kosasih di Desa Citalahab yang berjarak kurang lebih 2 km dari Wisma Cikaniki, yang memang biasanya disediakan bagi pengunjung yang tidak kebagian tempat di wisma itu. Sebagai bonus, kokok ayam jago sebagai pengganti weker di pagi hari,  suasana pedesaan dengan aliran Sungai Cikaniki, udara segar ditengah-tengah kebun teh Nirmala, dan juga selimut kabut di pagi dan sore hari akan menambah suasana romantisme khas desa-desa di kaki gunung. For further info silahkan kontak Bu Imas di 0266 621256.

Perjalanan dari Kantor Balai TNGHS menuju Desa Citalahab cukup menantang, selama 2 jam perut kami di”kocok”. Beruntunglah, pemandangan indah sawah, sungai dan gunung-gunung di kanan kiri kami sedikit meredam siksaan fisik ini.

Ternyata goncangan di atas L300 selama 2 jam ini belum mengakhiri tantangan pada hari itu. Menuju ke rumah Pak Kosasih kami disambut jalan batu dengan kemiringan cukup tajam yang basah diguyur hujan. Ditambah pula dengan tingkat kelicinan yang cukup tinggi – bak belut diolesin olie, kata Ruhut Sitompul – membuat hati ini ketar ketir.

Malam itu, dengan dipandu Pak Kosasih dan disinari  cahaya dari lampu senter kecil, kami menyusuri pinggiran hutan, demi menengok jamur bergenus Mycena yang konon menjadi andalan TNGHS. Hujan rintik tak mengurungkan niat kami berjalan menuju habitat Jamur Mycena, yang tak jauh dari Wisma Cikaniki. Sesaat setelah lampu senter dimatikan, cahaya-cahaya kecil – hasil proses oksidasi senyawa luciferin di tubuh Mycena-  mulai bermunculan dari dasar hutan, yang dibasahi air hujan. Indah, bak bintang di pekat malam, yang jatuh di tanah. Bersyukurlah keindangan itu tak harus dinodai dengan kemunculan Panthera Pardus Melas. Mungkin binatang nocturnal ini tak ingin melihatku, yang sengaja membawa pesan untuknya, dari kakeknya di Jakarta.  « Kalau ketemu salam dari Mbah-nya » demikian kira-kira pesan dari salah seorang sahabat di Jakarta.

Esok paginya, kami sempatkan menengok lapangan bola di atas bukit yang dikelilingi kebun teh hijau. Wow, pemandangan yang cukup menarik. Cahaya matahari samar-samar menyeruak dari ketebalan awan.  Pucuk-pucuk teh bergoyang ditiup semilir angin. Gunung-gunung tampak dingin tak bergeming. Pohon-pohon tinggi hanya diam diselimuti awan. Semesta tampak acuh, tak terpengaruh dengan ributnya anak-anak sekolah yang asyik berebut bola. Pagi itu serasa sempurna.

Selanjutnya, perjalanan menuruni kebuh teh dimulai. Kami menyisir pinggiran Desa Citalahab, lalu melewati bumi perkemahan yang tampak kosong melompong. Sesaat kemudian, kamipun mulai merambah hutan halimun. Zona Colline dengan ketinggian 500 – 1000 m yang didominasi oleh Pohon Rasamala segera menaungi kami. Kami tak ingin menanjak lebih tinggi. Waktu kami tak lama. Mungkin suatu hari nanti, Zona Sub-Montane dengan ketinggian 1.000 -1.500 m akan kami singgahi, atau bahkan Zona Montane dengan ketinggian  1.500 -2.211-pun akan kami jejaki. Semoga

Sepanjang jalur trekking, tampak pita-pita dengan coretan spidol, seolah memberi petunjuk kepada kami, disinilah Owa Jawa (Hylobates Moloch) pernah singgah. Peneliti Korea sengaja menempelkan pita-pita ini di ranting-ranting pohon. Sesaat kemudian partner trekking segera menempel di Pohon Rasamala. Badannya yang menurutku cukup tinggi, serasa hilang tertelan ketinggian Rasamala yang bisa mencapai 60 m.

Setelah satu jam  berjalan, tangga besi menuju canopy trail dengan ketinggian 20-25 m, tepat berada di hadapan kami. Sayang sekali, kondisi jembatan yang tak lagi laik dilewati, membuatnya harus ditutup sejak Januari 2009. Padahal canopy trail inilah, andalan utama Cikaniki.

Curug Macan menjadi akhir tujuan trekking kami kali ini. Curug yang berjarak hanya beberapa meter dari Wisma Cikaniki, siang itu tampak penuh, membuat kami tak ingin berlama-lama di tempat itu. Setelah menengok beberapa foto dan poster di ruang tamu Wisma Cikaniki, kamipun menyudahi perjalanan kami.

Siang itu, gerimis kembali mengantar kami menuruni TNGHS. Perasaan lega segera membahana. Ternyata masih ada tempat indah di muka bumi untuk Naomi.

* kata ini sengaja dipilih hanya untuk mempercantik judul (“,)

Day 3 : Balige – Pematangsiantar – Medan

Palm Tree Plantation

Pagi-pagi Pasar Balige, yang bereksterior khas rumah adat Batak, kami singgahi. Ini obyek menarik untuk kameraku. Sesisir pisang Barangan Medan dan beberapa jpeg file menjadi hasil eksplorasi kami pagi itu.

 

Tak banyak agenda dalam list perjalanan kami untuk hari terakhir ini. Kampus Dell di Laguboti yang berada di pinggiran Danau Toba gagal kami masuki. Yup, ini bukan public area. Sebagai gantinya, makam Nommensen yang terletak tak jauh dari Laguboti kami singgahi.

 

Sepanjang perjalanan dari Balige, Porsea dan Parapat, pemandangan indah cukup menghibur mata. Sebuah lanskap yang tak jauh berbeda dengan Lauterbrunnen di Swiss sempat kami lewati. Sayang, jalan yang sempit tak memungkinkan kami berhenti, hanya untuk sekedar mengabadikannya dalam Canon D40. 

 

Sesaat kemudian, Parapat kembali kami lewati. Disinilah irisan perjalanan kami selama 3 hari ini terjadi. Sungguh-sungguh efisien. Berikutnya deretan hutan dan kebun kelapa sawit memenuhi ruang pandang kami. Kamera sempat beraksi, beberapa menit sebelum kami memasuki kota Pematang Siantar.

 

Waktu tersisa tak cukup banyak. Satu jam di Pematangsiantar-pun, kami habiskan untuk mengunjungi seorang teman, makan siang dan menikmati kopi dari warung kopi Sedap. Kopi hitam Sidikalang yang kami minum di Siantar ini, brewing-nya cukup khas, membuat rasa kopi cukup greng untuk dinikmati.  Penasaran itu akhirnya terobati juga, ini rupanya warung kopi yang sering diceritakan partner trekking. 

 

Perjalanan Pematangsiantar menuju Medan memakan waktu 3 jam lebih, jalanan yang cukup padat memaksa kami bergerak lambat. Sesampainya di Medan, berbekal peta kota, lokasi toko Bolu Meranti di jalan Kruing-pun kami temukan. Terparkirnya mobil Inova di depan bandara Polonia tepat pukul 17.30 menyudahi perjalanan 3 hari kami di ranah asli Suku Batak. 

 

Mengakhiri catatan perjalanan kali ini, otakku terus saja mengiangkan kata-kata Nehru “We live in a wonderful world that is full of beauty, charm and adventure. There is no end to the adventures we can have if only we seek them with our eyes open.”. Yup another beauty of this country awaits us. Next trip is being planned.  

Day 2 : Samosir – Tele – Dolok Sanggul – Siborongborong – Tarutung

Magnificent view of Lake Toba

 

Pagi itu matahari tersembunyi diantara awan-awan putih. Banyak inang-inang berbaju hitam dan amang-amang memakai jas dan kopiah bergegas pergi ke gereja. Yup, hari ini umat kristiani memperingati wafat isa almasih. Sementara kami, asyik memotret dan menikmati liburan kami.

 

Di Huta Siallagan, kami sempat singgah sejenak. Deretan rumah adat Batak dan sebuah pohon besar yang dibawahnya terdapat kursi batu tempat persidangan jaman dahulu kala, menjadi sugguhan area wisata ini.

 

Selepas Desa Ambarita, gerimis menghantar kami melalui jalan mulus di bawah bukit hijau, di kejauhan Danau Toba tampak tenang, seolah tak terusik dengan gejolak hati kami yang diliputi luapan kekaguman.   

 

Ditengah euphoria itu, terselip sedikit kegamangan ketika mobil mulai memasuki Kecamatan Pangururan. Sesaat lagi kami akan melewati perbukitan di Tele. Rute yang tak mudah. Aku hanya bisa pasrah. Meskipun  pengemudi inova ini sangat handal dan percaya diri, tak ayal jantungku berdetak tak menentu tatkala mobil mulai menapaki jalan yang tak mulus. “Jangan lupa menulis surat wasiat kalau nekat lewat Tele”, demikian gurauan beberapa teman. Kisah-kisah berujung maut yang terjadi di Tele sempat ku baca beberapa hari sebelum keberangkatan. Nyaliku sempat ciut, tapi partner trekking berkeras hati melewati Tele. Akupun tersadar, “He’s more adventurous than me”. Kanan kami dinding terjal dengan reruntuhan batu yang terlihat masih baru. Sisi kiri kami jurang menganga menuju maut. Sesekali aku mengingatkan “Pak Sopir” agar tetap fokus pada jalan, sementara aku menikmati bukit-bukit dan lembah yang … wow … sungguh elok. Maaf ya Bang, Abang cukup porsea dengan cerita Adeknya, next time Adeknya yang nyetir.  

 

Jarak 50 kilo lebih Tuk-tuk Siadong – Tele kami tempuh dalam waktu 2 jam. Sesuai rencana, kami berhenti sesaat di menara Pandang Tele. Disisi ini pemandangan Danau Toba yang menyatu dengan perbukitan di Tele sungguh menawan hati. “Ini tak sebanding dengan Hutaginjang koq” ucap partner. Pemandangan yang indah menjadi trade off atas risiko yang cukup signifikan, pikirku dalam hati. Aku yang risk averse telah berlebihan meng-assess risiko perjalanan melewati perbukitan di Tele. As long as you have a very good and talented driver, this route is highly recommended. Its outstanding beauty is the reward. 

 

Selepas Menara Pandang Tele,  kami memasuki jalan utama Sidikalang ke Siborongborong. Jalan yang tak rata menjulur begitu saja diantara hutan-hutan yang tampak gundul. Inikah tanda ketidakmampuan alam dalam meredam nafsu serakah manusia? Atau … ini bukti ketidakmampuan manusia untuk secara naluriah melihat ke masa depan, sehingga tindakan-tindakan mereka hanya didasari oleh kepentingan sesaat? Miris melihatnya.

 

Memasuki kecamatan Siborongborong mataku mulai mencari sasaran. Benar, perkebunan kopi yang membuat Siborong-borong menjadi incaran para kolektor Kopi Starbucks adalah salah satu tujuan dalam list perjalanan kami. Kamipun memutuskan mencari warung kopi di pasar Siborongborong, yang terletak di sebuah pertigaan yang mempertemukan jalur Pematangsiantar dan Sidikalang ke arah Tarutung, pun Sibolga. Sayang, tak ada warung yang cukup representatif untuk menjadi tongkrongan kami. Sementara itu, mencari Starbucks di kecamatan sekecil ini adalah suatu upaya yang sia-sia. Lalu melajulah mobil kami menuju titik terjauh- diukur dari Medan – dari rute perjalanan kami selama 3 hari ini, Tarutung.

 

Memasuki Tarutung, partner trekking  mulai menyanyikan “Desaku yang tercinta” keras-keras, membuatku sesaat teringat kampung halamanku. Sebuah kota tua menanti kami, lagi-lagi dengan sambutan rintik hujan.

 

Tepat di depan kantor DPRD – yang megah dan berdesain khas rumah adat Suku Batak – terlihat banyak petugas keamanan mondar-mandir. Hari itu, tepat satu hari Bupati Tapanuli Utara dilantik. Pengamanan tampak sangat berlebihan, membuatku bertanya-tanya, “ada apa ini?” Tiba-tiba saja terlintas di kepalaku, Pak Sintong Panjaitan, yang – dari buku yang kami baca “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”- sedang menghabiskan masa tuanya di kota kelahirannya ini.

 

Tak banyak yang bisa dikunjungi di sana, selain kepentingan-kepentingan pribadi yang tak perlu kuuraikan di sini. Selebihnya, lembah hijau nan indah, dan pegunungan yang melingkarinya jelas membuat ibu kota Tapanuli Utara ini bak kota kecamatan di daerah Malang bagian utara di tahun 80-an, sejuk dan indah. Sore itu kabut mulai menyelimuti Desa Lumban Siagian dan rintik hujan untuk sesaat terhenti, memberi kami sedikit keleluasaan untuk menikmati hari. 

 

Sebelum matahari menghilang diantara perbukitan, kami menyempatkan diri mengunjungi Monumen Raja Panggabean, berfoto bersama salah satu buyut sang raja, mengambil foto lanskap kota dari atas Sungai (Aek) Sigeaon, dan menikmati kopi dari warung kopi di pinggir sungai. Tak lupa dua buah durian, asli dari kota durian (Cat: Tarutung dalam bahasa batak berarti durian) kami nikmati. 

Day 1 : Medan – Berastagi – Tongging – Parapat – Samosir

Sipiso-Piso

 

 

Pukul 10.00 pagi selepas Bandara Polonia, kami menyusuri jalan Jamin Ginting yang ternyata cukup panjang, menuju sisi barat kota Medan. Sepanjang jalan itu, partner trekking mendongengiku kisah-kisah perjuangan, dari Jamin Ginting hingga Alex Kawilarang. Lagu Padamu Negeri serasa teraung-raung ditelinga, disela-sela perasaan bersalah tidak ikut mencontreng.   Namun keputusan melakukan perjalanan ke Sumatera Utara dan menjadi golput dalam pemilu kali ini ternyata tepat. Tidak terdaftarnya aku dalam DPT membuat feeling guilty sedikit teredam.

 

Perjalanan menuju Berastagi cukup lancar, sesekali iring-iringan mobil mulai merambat lambat, menaiki perbukitan. Siang pukul 12.00 tibalah kami di Berastagi, sebuah kecamatan di Kabupaten Karo. Setelah makan siang, kami sempatkan melihat untuk sesaat, Pajak (pasar.red) Buah Berastagi. Sebuah plang bertuliskan “cuci kereta” sempat menarik perhatianku. Perjalananpun berlanjut setelah sesi foto di tugu Perjuangan 45 yang menjadi salah satu landmark kota, kami lakukan.

 

Setelah bergerak kira-kira 10 km arah selatan Berastagi, sampailah kami di Kabanjahe. Kami tidak berhenti di sini. Kami cukup puas melihat pemandangan gunung Sibayak dan Gunung Sinabung dari atas mobil. Pedangan buah-buahan dikanan kiri jalan ikut memeriahkan perjalanan kami siang itu. Tak lupa satu sisir pisang menemani kami melaju menuju Tongging, dimana air terjung Sipiso-piso berada.

 

Tiba di Kecamatan Merek, kami memasuki jalan kecil menuju Sipiso-piso dan Desa Tongging. Hati mulai berdebar. Akhirnya sesaat lagi Danau Toba tampak oleh mataku. Inilah sisi pertama  danau Toba yang akan kami nikmati dalam 3 hari ini.

 

Tampak dari atas, Desa ini bak negeri dongeng, terhampar indah di lembah hijau, dihiasi danau luas nan tenang. Namun tatkala mobil kami mulai memasuki area desa, rasa sepi mulai merasuk. Pasti geliatnya yang tak selincah Tomok atau desa-desa lain di Samosir, membuat desa ini tak terlalu ramai dikunjungi wisatawan asing. Atau sarana transportasi yang kurang mendukung membuat keelokan Desa Togging terpaksa terpendam. Namun tidak demikian halnya dengan air terjun Sipiso-piso yang kala itu ramai pengunjung yang datang meskipun tuk sesaat.

 

Pemandangan perbukitan di Tongging, yang mirip bukit-bukit di Scotland, segera tergantikan dengan pemandangan ladang sayuran dan buah-buahan, disela-selanya perkebunan kopi rakyat membuat ruang pandang kami cukup hijau. Beberapa kali mobil harus memperlambat lajunya demi anjing-anjing dan ayam-ayam kampung yang sepertinya terbiasa dengan jalan yang lengang, sehingga membuat mereka bersantai ria di atas aspal jalan.

 

Perjalanan Tongging  menuju Parapat, melalui Silimakuta, Pematangpurba, dan Dolokpardamean menghabiskan waktu kurang dari dua jam. Tiba di Ajibata, antrian mobil telah menunggu. Kami sangat beruntung, feri masih bisa menampung mobil kami untuk penyeberangan pukul 17.45.  Pelabuhan yang tak besar ini cukup dipadati mobil-mobil yang siap untuk diseberangkan. Cara yang mereka gunakanpun cukup sederhana. Setelah mengitung jumlah mobil yang telah disesuaikan dengan kapasitas feri, pintu gerbang untuk keluar masuk pelabuhan-pun segera ditutup. Petugas segera meneriakkan nomor-nomor plat mobil, sebagai pertanda pemilik mobil agar segera membayar di loket. 95 Ribu untuk satu kali penyeberangan Ajibata menuju Tomok yang hanya memakan waktu kurang lebih 1 jam. Dengan fasilitas di atas feri yang sangat terbatas, tak banyak yang bisa kami lakukan selain tidur di mobil sambil memutar kembali lukisan-lukisan alam yang telah menyuguhi hari kami dengan keindahan.

 

Hujanpun turut menyambut, tatkala feri merapat di Tomok. Mata yang masih awas, mencari plang hotel diantara derasnya hujan. Sesaat kemudian, mobil kami telah berada di area parkir Hotel Tabo di kawasan Tuk-Tuk Siadong, dan Ito’ Jerman-pun menyambut kami.

      

Tak lama berselang, malampun segera meraih kami ke dalam pelukannya.

3 Hari, Tano Batak terjelajahi

Lake Side View

Sebuah pepatah Tao menyebutkan ,“A journey of a thousand miles must begin with a single step”. Sebelum melanglang jauh ke negeri orang, tak ada salahnya menengok negeri sendiri. Tak perlu jauh-jauh ke Swiss, Sumatera Utara punya banyak pegunungan dengan lembah hijau nan elok. Sebuah sindirian untuk diri sendiri. 

 

Banyak tulisan di website pun majalah yang mengawali tulisan kisah perjalanan mereka ke Sumatera Utara, dengan kata-kata  tak afdol kalau melakukan perjalanan ke Sumatera Utara tapi tak singgah di Danau  Toba. Ahhh lagi-lagi aku – yang telah dua kali ke Medan dan hanya tahu jalan dari Hotel Grand Angkasa ke Bandara Polonia – tersindir.

 

Finally, on 9 – 11 April 2009 we embarked on a trip through North Sumatra. Danau Tobapun tersinggahi

 

Alih-alih mengunjungi sanak saudara dan handai taulan di Tarutung, Balige dan Pematangsiantar, kami melakukan perjalanan yang eksotik sekaligus menengangkan di kecamatan dan desa-desa sekitar Danau Toba.

Perjalanan kali ini cukup efisien, tiga hari perjalanan, tiga perempat lingkar luar Danau Toba kami jelajahi.

Berbekal peta wisata dan peta Prop. Sumatera Utara, melajulah kijang inova sewaan kami menyusuri jalan-jalan yang tak selalu mulus.

Cat : beberapa foto perjalanan selama 3 hari di Sumatera Utara dapat dilihat di album ini

Selamat Jalan Pak Joko

Pak Gunawan’s Family & Pak Joko

Ketenangan Pulau Karimun Jawa seolah terusik kala tubuh tak bernyawa itu memasuki bibir pulau.

Aku yakin kemaren perairan Karimun Jawapun bergelora, tak kuasa menahan dukacita. Satu jiwa telah bergabung dalam damainya alam.

Dia mungkin tak ingat aku, tapi siapakah yang pernah singgah di pulau kecil itu yang tidak mengenal nama besar bapak pemilik Wisma Apung ini? Iya, Pak Joko Karimun Jawa. Seorang dengan tone jawa yang sangat kental, penuh senyum, sopan, rendah hati, sangat membantu, ntah apalagi yang bisa mendeskripsikan sosok yang sangat membumi dikalangan para backpacker Indonesia.

Dua hari lalu, dia tertidur selamanya, demi sebuah perjalanan panjang menuju kekekalan. Selamat jalan Pak Joko.

cat: Foto diatas kuambil dibawah teriknya siang, di atas papan-papan kayu penyanggah Wisma Apung. Pak Joko tampak di tengah-tengan keluarga Pak Gunawan. Aku yang masih dilanda euphoria ketenangan malam di Karimun Jawa telah lupa mengembalikan ISO speed ke posisi 100. Tapi ini satu-satunya kenangan yang terekam bersama Pak Joko.


Menjenguk Komodo hingga Labuhan Bajo

“Dapet salam dari Vara”

“Vara, sapa?”

“Ada dehhh”

Begitulah guyonan kami selama satu bulan ini.

Jangan membayangkan Vara sebagai gadis manis, yang tampak segar bak bidadari seusai mandi. Karena Vara yang bernama lengkap Varanus Komodoensis ini memiliki ekor dan bercakar panjang. Ganas, tak beriba, pemakan sesama, pun anaknya sendiri.

Kalau Visit Musi berarti, visit Vira. Visit Labuhan Bajo berarti visit Vara.

Tanggal 29 Sept, pagi-pagi sekali, pesawat Merpati membawa kami menuju Pulau Dewata. No direct flight from Jakarta to Labuhan Bajo. Dengan jadwal berangkat dari Bandara Cengkareng pukul 6.10 pagi, kami perkirakan, kami memiliki cukup waktu untuk hunting tiket ke Labuhan Bajo di Bandara Ngurah Rai. Tapi, pesan tiket on the last minute, sangat tidak disarankan.

Jadilah kami ke loket Trigana air, lalu diberi tiket Transnusa dan berakhir di pesawat Riau Air. Aneh memang, hanya demi menunjukkan aliansi nama-nama perusahaan saja penumpang terpaksa dibuat bingung. Tapi tak apalah, pesawat Fokker 50 yang membawa kami, cukup nyaman untuk ditumpangi selama kurang lebih 1 jam 40 menit. Kira-kira pukul setengah 12 mendaratlah kami di Bandara Komodo.

Euphoria yang sama kurasakan mendesak ubun-ubun, setiap kali kaki ini menapaki daerah baru.

Teringat pesan Paulo Coelho dalam bukunya Like the Flowing River yang menyebutkan :

“The best tour guide is someone who lives in the place, knows everything about it, is proud of his/her city, but doesn’t work for any agency …”

We finally found excellent companions. Pak Dus, yang bukan seorang guide dari agen perjalanan manapun namun bekerja disebuah bank lokal di Labuhan Bajo. Pak Magribi, yang pemilik perahu motor dan orang Bugis asli. Pak Herman, yang asisten Pak Magribi, yang orang asli Labuhan Bajo (Baca:Flores), dan mahir mendayung.

Tak banyak yang bisa dilakukan dihari pertama kedatangan kami, kecuali mencoba menghafal sudut-sudut kota Labuhan Bajo yang tak besar, serta menikmati sore dengan rintik hujan dan secangkir kopi flores yang terasa sangat nikmat di antara pemandangan menakjubkan dari atas penginapan milik Pak Adrian. Tak bisa kugambarkan secara detail bagaimana nikmatnya sore di atas penginapan seharga 450 ribu per malam itu.

Hari kedua, pukul 8 pagi, Pak Magribi telah menunggu kami di Pelabuhan Tilong. Itinerary kami kala itu cukup 3 pulau saja, Rinca, Kelor dan Bidadari. Pulau Komodo yang jaraknya tak dekat itu sengaja tidak kami masukan kedalam daftar, karena kami tak ingin bermalam di kapal, dan hasil surfing menunjukkan bahwa tak banyak yang beruntung mendapati Komodo di Pulau Komodo.

Decak kagum memenuhi ruang hatiku kala perahu melaju menuju Loh Buaya di Pulau Rinca, yang memakan waktu kurang lebih 2.5 jam dari Pelabuhan Tilong. Kala itu, disebuah kronologer di internet sempat kutuliskan “This is one of my finest days”.

Sesampainya di Pulau Rinca, persyaratan administrative segera dilakukan. Kami tak ingin kesiangan tentu saja, panasnya yang sangat terik akan membuat Komodo malas dan lebih memilih bersembunyi di bawah rindangnya pohon ketimbang menyambut kedatangan kami. Benar saja, dengan ditemani Pak Dakosta, seorang guide dari Taman Nasional Komodo, kami hanya bisa menyaksikan komodo-komodo tua yang bermalas-malasan di bawah rumah-rumah panggung yang diperuntukkan sebagai penginapan, kantor sekaligus tempat tinggal sementara bagi para staff di konservasi itu.

Trekking selama kurang lebih satu jam kami lakukan di Pulau yang beriklim kering dengan curah hujan rata-rata yang hanya 50-60 cm yang terjadi di bulan Desember – Maret itu. Tak ayal, bila padang rumput, pohon ara menjadi pemandangan khas pulau ini. Sepanjangan perjalanan, beberapa komodo betina tampak sabar menunggui telor-telornya yang tertanam dalam, kurang lebih 2 meter di bawah tanah. Bukan karena sayang ternyata, induk komodo ini tak ingin melepas kesempatan pertamanya untuk memangsa anak-anak-nya segera setelah telor-telor ini menetas. Karenanya, kegesitan komodo kecil untuk memanjat pohon menjadi keahlian yang dimiliki sejak lahir. Konon memasuki usia dewasa komodo akan kehilangan kemahirannya ini. Lalu bagaimana anak-anak komodo bisa menikmati kasih sayang induknya? Ntahlah, aku yang kala itu memikirkan bagaimana mungkin hal ini terjadi, telah lupa menanyakannya pada Pak Dakosta. Nature follows its course, tak perlu membantahnya lagi.

Setelah menjumpai kerbau dan beberapa komodo, Megapodius Reintwardtii sepasang Burung Gosong menampakkan dirinya. Burung yang hidupnya selalu berdua sehidup semati ini seolah memberikan pesan moral kepada kami untuk selalu setia pada pasangan.

Kata-kataku tak kan cukup menceritakan kisah-kisah yang terjadi di Pulau Rinca. Berikutnya, Pulau Kelor yang tak sempat kami kunjungi dan Pulau Bidadari yang dipenuhi wisatawan manacanegara yang bersnorkling dan berjemur.

Di hari kedua, acara kami sangatlah santai, setelah bersilaturahmi ke rumah Pak Magribi yang hari itu berlebaran, kami melaju ke Gua Batu Cermin. Gua yang dipenuhi stalagtit dan stalagmit itu berada tak jauh dari Labuhan Bajo. Fosil-fosil ikan dan siput menjadi saksi bagaimana wilayah yang berada diperbukitan Labuhan Bajo itu dulunya adalah dasar samudera.

Perjalanan menikmati Gua Batu Cermin tidak memakan waktu lama. Siangnya, Pak Magribi kembali mengantar kami dengan perahunya. Kali ini Pulau Kanawa menjadi pilihan kami. Disepanjang perjalanan, beberapa kelompok lumba-lumba tampak beraksi di depan kami. Mereka sedang exited, sebagaimana kami yang tiba-tiba dipenuhi senyuman kala melihat mereka berloncatan di atas laut yang tenang. What a wonderful day!

Kanawa, pulau kecil yang tampak seperti tikus dari kejauhan itu berpasir putih dan dikelilingi oleh batuan koral. Tempat yang pas untuk snorkeling. Partner tekking terpaksa berubah menjadi partner snorkeling untuk beberapa saat. Tak banyak ikan berwarna warni muncul di depan kami. Mungkin karena kami yang tak berani berada jauh-jauh dari bibir pantai. Kupikir gambar-gambar di Pulau Kanawa lebih merepresentasikan bagaimana perasaan kami saat itu, ketimbang kata-kata yang tak menentu ini.

Malam itu, dalam perjalanan pulang ke pelabuhan Tilong, kami berataplangit cerah. Sesekali kami menengadah ke atas. Jajaran bintang-bintang kecil nampak sangat jelas. Scorpius yang melintasi beberapa bulan itu mulai condong ke barat. Di Utara konstelasi Cygnus nampak indah. Aku tersenyum pada Vega yang cemerlang.

“Kita harus ke Labuhan Bajo lagi kalau ingin melihat Milky Way dengan jelas,” beberapa kali partner trekking bergumam.

Aku masih larut dalam kenikmatan malam. Ini adalah malam terakhir kami di Labuhan Bajo. Satu sorga lagi harus kutinggakan. Tak sengaja, dalam hati aku bergumam lirih, “Naomi, Kamu harus melihat dunia. Belajarlah banyak pada alam karena semesta ini adalah gurumu.”

 Note: Beberapa foto perjalanan ini bisa dilihat di webshots

Andrian's View

Andrian Laarhoven’s place

Di depan kami terbingkai sempurna lukisan indah karya Tuhan. Untuk pertama kali nya dalam satu bulan ini, kami rasakan otot-otot ketegangan kami mengendur. Inilah moment relaksasi, kala matahari sore menerpa muka kami, dan bias keemasan terpancar dari lautan yang tenang. Ekstasi berlebihan melanda kami, hati kami terasa … DAMAI.

Note: The pic was taken from Bayview-gardens hotel, Labuhan Bajo

Labuhan Bajo, geliat kota di Manggarai Barat

Labuhan bajo mungkin tak banyak dikenal wisatawan domestik, apalagi bagi kaum hedonist, penikmat kemapanan. To my surprise, mapan dan nyaman rupanya sudah cukup tersaji di kota kecil berpenduduk mayoritas orang Bugis ini.

Ibu kota administratif Kabupaten Manggarai Barat ini bak intan yang mulai diasah. Potensinya, sangat luar biasa. Keindahannya, tak terbantahkan.

Mungkin kamu akan berpikiran sama sepertiku yang mencoba mengaitkan nama kota ini dengan suku Bajo yang menempati perairan Sulawesi. Tak salah memang. Lautnya yang sangat tenang karena dilingkupi oleh pulau-pulau kecil, menjadikan teluk di bagian barat Pulau Flores ini sebagai pilihan Suku Bajo, si manusia perahu, untuk berlindung dari hempasan badai di Selat Sape. Begitulah kisah mula-mula kota, yang kini lebih terekspos sebagai kota pariwisata ketimbang kota nelayan.

Ya, dengan masuknya dollar-dollar ke kantong-kantong di kota ini, Labuhan Bajo mulai terlihat menggeliat. “The Power of Scarcity” kata partner trekking. Karena tak satu pulaupun di muka bumi ini selain Pulau Rinca dan Pulau Komodo, yang mampu menyajikan tontonan hewan purba, Komodo, di habitat aslinya. Dan Labuhan Bajo adalah gerbang utama menuju kedua pulau ini.

Lihat bagaimana kota kecil yang tak ubahnya sebuah kecamatan di Pulau Jawa ini telah dipenuhi oleh agen-agen wisata yang siap melayani wisatawan domestik, pun manca negara. Yang sungguh menakjubkan bagiku, tak kurang dari 6 bulan, setidaknya ada 3 hotel baru yang mulai beroperasi. Airport Komodo yang berjarak kurang lebih 10 menit dari pusat kota, tertata fairly nice untuk travelers seperti kami, disamping hotel-hotel kecil yang cukup menjamur. Labuhan Bajo selayaknya sebuah kota yang sedang mempersilahkan tamu-tamunya untuk singgah dan menikmati keindahannya.

Points of interest? Ada Pulau Rinca, Pulau Komodo dan Pulau Padar yang pada tahun 1990 ditetapkan sebagai Taman Nasional Komodo. Taman Nasional ini oleh UNESCO juga ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia dan Cagar Biosfir. Disamping ketiga pulau ini, Pulau-pulau kecil lainnyapun tak kalah menarik. Pulau Bidadari, pulau berpasir putih yang letaknya hanya 30 menit dari Pelabuhan Tilong di Labuhan Bajo. Pulau Kalong tempat ribuan kalong singgah di sore hari. Pulau Kanawa, tempat pengasingan diri dan lokasi ideal untuk menuliskan sebuah kisah roman. Terlalu banyak tempat persinggahan penawar hati, namun dengan waktu yang sangat terbatas, short visit ke Gua Cermin yang terletak sekitar 20 menit dengan mobil dari pusat kota, perlu dilakukan.

Jadi, tatkala current account BOP (Balance of Payment) Indonesia masih negatif dan posisi rupiah masih dalam tekanan, berwisata domestik menjadi pilihan kami. Disamping ikut berempati atas kondisi perekonomian negara ini, kami ingin ikut menyukseskan Visit Indonesia 2008. Terdengar klise bukan. Tapi sejujurnya inilah alasan kami pada tanggal 29 September hingga tanggal 2 Oktober 2008, memilih Labuhan Bajo sebagai persinggahan, tempat hati dan mata kami dimanjakan.