Bengkulu

Hari itu … pagi sekali wekerku berdering memaksa badan dengan jiwa tak penuh ini melangkah.Aih kota baru lagi pikirku menyemangati raga yang protes karena harus mulai kerja pada jam yg tak sewajarnya. Dicatatanku, hanya 3 kota di Sumatera yang telah kuhinggapi.Aku tak seperti burung-burung bersayap yg bebas menapak di manapun hati berkehendak. Bengkulu : sepi,panas,pesisir yg indah. tabot.Tabot ini semacam tonggak berbentuk gunungan.sering dipakai sebagai gapura.Yang karena berartinya benda ini bagi Bengkulu, pemda setiap tahun menyelenggarakan festival tabot.

Perjalanan kami yg cuma 2 hari cukup kami dedikasikan untuk wisata kuliner, karena selain waktu yg harus difokuskan untuk kegiatan sosialisasi, tak banyak yg dapat dikunjungi di kota Rafleasia Arnorldi ini. Hanya benteng Marborough, benteng peninggalan jaman pendudukan inggris, yg teletak dipingir teluk dengan pemandangan indah dari atasnya. Pantai panjang dan miniatur monas menjadi tempat persinggahan sigkat kami. Selebihnya… di sebuah warung kopi yang cukup ramai dipinggir jalan nan sepi kami nikmati Laksan dan segelas kopi hitam. Konon kopi disini berasal dari dataran tinggi Curup. Sayang kami tak punya banyak waktu untuk mengunjungi daerah itu, yang ceritanya ada pemandian air hangat dan beberapa lokasi wisata menarik.

Menu berikutnya…Saluang Goreng yang mirip kayak teri kecil tapi sebenarnya hanyalah bayi ikan yang ditangkap hidup-hidup di sungai. Pindang Patin yang awalnya kupikir ikan pindang tapi ternyata sop ikan, habis kulahap. Pepes patin, yang ini rada unik, patin sambal merah plus aroma durian, rasanya eneg gimana gitu. Minuman, gak perlu yang macem-macem, cukup kopi hitam, meskipun temenku mati-matian menawariku kopi taluang .. teluar … ah whatever. Tapi, ketika di warung itu juga menawarkan Pempek Palembang, aku mulai curiga. Jangan-jangan kami disesatkan. Ah bener kan … kami berwisata kuliner makanan Palembang di Bengkulu.

Ujung Genteng

img_8403-small.jpg

Perjalanan menuju Ujung Genteng kami mulai pukul 14.00 WIB. Sesaat setelah makan siang usai. Awalnya perjalanan kami akan melalui Cidadap yang kurang lebih berjarak 1 km dari Pelabuhan Ratu. Namun karena kekurangyakinan kami, kamipun terbawa saran seseorang yang hanya ingin memanfaatkan kami. Lalu pergilah kami ke Ujung Genteng melalui Cikembar yang notabene adalah jalan memutar. Disini, mood kami mulai kacau, dikacaukan jalanan berliuk menanjak menurun dan berlubang. Kami serasa di hokum. Perjalanannya yang awalnya kami estimasi sekitar 3 jam dari Ubrug menjadi 6 jam. However, adventure it’s not about destination but the journey within. Perjalanan panjang dan menyiksa pun tak lagi kami keluhkan.

Perjalanan kami menuju ke Ujung Genteng melewati beberapa daerah antara lain : Cikembar, Ciarauy, Jampang Wetan, Jampang kulon, Surade. Rute yang tak akan pernah aku sarankan bagi mereka yang langsung dari Jakarta. Mungkin dari Sukabumi ruti ini lebih singkat. Namun perlu diperhitungkan pula jalan yang berlobang.

Perjalanan dari Surade ke Ujung Genteng cukup mulus, memasuki gerbang masuk kawasan wisata Ujung Genteng, kamipun harus membayar retribusi. Malam itu suasana jalanan ramai dipenuhi anak-anak muda bersepeda motor menuju pantai. Rupanya sedari pagi, festival nelayan sedang berlangsung, dan malam itu penduduk sedang disuguhi tontonan rakyat di atas panggung di pasar Ujung Genteng.

Perjalanan kami malam itu benar-benar penuh tantangan, mobil yang kami tumpangi terjebak di lumpur gara-gara kami ingin mencari short cut ke Pondok Hexa tempat kami menginap. Namun semuanya terobati setelah mencium bau laut dan sesaat setelahnya kami mendapati pondokan tempat kami menginap yang sangat representatif. Makan malam sea food yang telah kami pesanpun, siap di meja tatkala kami datang.

Sebelum sowan ke Penyu Hijau, perut kami isi. Ini penting bagi mereka yang doyan sekali makan telor penyu. Aku kuatir mereka menjadi ganas tatkala menemukan telor disela-sela pasir pantai. Hey shave turtles man ! 😉

Perjalanan dari Pondok Hexa ke pondokan penyu tidak semulus dugaanku. Kami menyusuri pantai selatan ke arah Pangumbahan. Dengan alasan tak ingin tersesat, kami menyewa satu ojeg. Biasanya untuk satu penumpang mereka mengenakan tariff 30 ribu pulang-pergi. Harga ini cukup sepadan dengan perjuangan menuju lokasi. Mobil berjalan lambat dibelakang ojeg yang menuntun arah kami. Sesekali kami melewati hulu sungai yang tak begitu dalam. Area yang berlumpur membuat perjalanan kami tidak mudah. Serasa naik mobil 4-wheel drive. Dan untuk kedua kalinya mobil terjebak di dalam lumpur.

Setelah membayar tiket masuk 5 rb per orang, kami menelusuri pantai dengan ditemani seorang guide. Namun pengorbanan kamipun tidak sia-sia, setelah berjalan beberapa meter ke arah barat, onggokan besarpun nampak. Senter segera kami arahkan ke mahluk besar yang usianya bisa jadi melebihi tiga kali usiaku. Dia tampak tak terusik, dan berkali-kali menggerakkan tanggannya dengan maksud untuk menutupi telor-telornya – yang tak lagi berada disana karena alasan konservasi – dengan pasir guna menghindarkannya dari para pemangsa. Tiba-tiba aku merasa sedih.

Sesaat kemudian Pak Guide mengetok-ngetok punggung penyu dengan kayu dan menyuruhnya utnuk kembali ke laut. Salah seorang teman kami sangat sedih dan terluka … kekasihnya harus pergi. Tak hanya dia, kamipun ikut mengantarkan penyu ini hingga menghilang, tertelan ombak laut selatan. Satu siklus hidup pun dimulai lagi.

Holiday Institute – Citatih ~ White water rafting

Ada sesuatu yang luar biasa akhir minggu ini, berawal dari rehat rapat disusul dengan ide cemerlang untuk menambah dua hari kebersamaan kami, anak2 DMO. Ternyata 5 hari seminggupun tidak cukup buat kami bertemu. Acara yang dimulai dengan seriously fun berakhir dengan seriously desperate. But overall we did enjoy the two days trip. Thanks guys the trip will not be so enjoyable without you.

Ok let me start by looking back on friday evening when we were about to leave.”Selalu Inget rule of tumb dalam teori portofolio. Dont put your money into one basket”. Demikian kira2 pesan salah seorang bos yang kuatir perjalanan kami akan berdampak pada berkurangnya pegawai. Kami segera mendefinisikannya demikian “So try not put your self into one basket.” Tapi  kami kan bukan telor, kami ini anak-anak ayam yang merasa bebas tanpa induk ayam.

“It’s too risky”, pendapat salah seorang rekan. Jadi kami harus membuat strategi? pikirku. Ah as long as risikonya sesuai dg appetite kami dan dari segi compliance kami tidak menyalahi aturan, the trip will be surely safe. Ini bukan petualangan, hanya holiday institute.

Pagi-pagi sekali kami berangkat. Dengan asumsi perjalanan Jakarta “ PLTA Ubrug kira-kira 3 jam, kami menjadwalkan pukul 5.15 WIB harus sudah berkumpul di meeting point depan UKI. Ternyata perkiraan kami salah. Perjalanan dari Jakarta hingga meeting point Cherokee Adventure hanya ditempuh dalam 2 jam 15 menit. Selanjutnya kami menunggu team lain hingga pukul 09.15 kami siap menuju starting point dengan angkot, melalui perkampungan di pinggiran Sungat Citatih. Setelah semua perlengkapan siap, foto session pun dimulai. Kami sadar sepanjang perjalanan nanti akan sulit sekali untuk mengambil foto. Pukul 10.00 WIB, perahu karet kami naiki dan permainan di atas arus liar pun dimulai.

Kira-kira ada 20 jeram yang harus kami lewati, dan 4 diantaranya cukup menggetarkan. Debit air masih di atas normal. Namun cuaca pagi itu sangat perfect. Satu persatu jeram Sungai Citatih – yang gradenya sedikit lebih tinggi dibanding dengan Citarik – kami arungi. Bagiku ini pengalaman kedua setelah setahun yang lalu menyusuri Sungai Maiting di daerah Sulawesi Selatan.
Pada saat sungai mulai tenang tak beriak, kami semua terjun ke dalam air kecoklatan tanpa ada perasaan risih. Kedalaman 4 meterpun tak kami hiraukan. Kami percaya pelampung di tubuh kami tak kan membiarkan kami tertelan air sungai.

Kira2 menjelang pukul satu siang sampailah kami si Desa Leuwilalay, tujuan akhir perahu karet kami. Tak jauh dari sungai, sebuah saung di tengah-tengah sawah dilengkapi dengan ruang mandi dan ganti serta beberapa tukang pijat telah menunggu. Nasi timbel dan kelapa muda menjadi menu santap siang kami. Ahh serasa di sorga.

Tak jauh dari tempat kami makan, kulihat tiga anak kecil mencari sesuatu diantara jerami-jerami yang dikeringkan. Merasa terusik dengan keingintahuanku, kudatangi mereka. Akupun ikut membalik-balikkan tumpukan jerami. Beberapa jamur berwarna putih tampak tumbuh disela-sela jerami yang masih lembab. Di ujung, Sungai Cimandiri masih deras dilimpahi air dari hulu Sungai Citatih. Dan jauh disana, perbukitan nampak indah. Di sini aku berdiri, di antara sawah-sawah hijau, di atas bumi yang terberkati.

Maastricht, when the past meet the future

Image hosted by Webshots.com Image hosted by Webshots.com Image hosted by Webshots.com
I’ve been few days in
Maastricht, exploring the city day and night before my class had begun. The city belongs to the past since Romans started building a settlement near ford across the Meuse River. The name of Maastricht is derived from the Latin ‘Mosae Trajectum’, the site where the river could be crossed. The first time I stepped in to the old inner city, i felt the ambience of the 20 centuries history. Its old building and small cobbled streets brought me experiencing to the past.

As many people know, this city had been witnessing the birth of European Union, when the signing of the Maastricht Treaty was taken place. It contributes to its international reputation. The city also accommodates many offices of international companies and some Europeans institutions. However, apart from its development towards so called international city, Maastricht remains as it is, a historical city with thousands stories.

Pantai Bira

bira 9 small11.jpg

Awalnya aku agak pesimis memikirkan ujung perjalanan yang telah kutempuh sedemikian jauh ini membawaku ke hal-hal yang biasa saja. Aku takut kecewa. Dugaanku salah. Pantai ini cukup indah. Dengan pasir yang sangat lembut. Ketika aku mencoba meraupnya, pasir yang masih basah itu seolah meleleh diantara jemari tanganku. Sore itu, langit cerah, tak tertutup awan sedikitpun. Laut sedang surut. Kami berjalan menyusuri sisi pantai sambil sesekali menjumpai binatang laut yang unik. Pemandangan langit segera memerah menjelang pukul 6 sore. Matahari tenggelam diantara pohon-pohon di tanjung. Sesaat kerlap kerlip bintang menghiasi langit malam. Libra membentuk segi empat, bak layang-layang di langit tanpa benang. Deburan ombak dan sunyinya malam menjadi hidangan khas Pantai Bira.

Perjalanan Menuju Tanjung Bira

Hari ini, minggu pagi-pagi sekali kami check out. Agenda kami sebelumnya adalah Pulau Selayar. Setelah mengumpulkan cukup informasi tentang Pulau ini, kami mengurungkan niat kami. Mayoritas tujuan wisata di Pulai ini adalah diving. Waktu yang kami miliki cukup terbatas. Akhirnya pergilah kami ke Tanjung Bira. Sekitar 41 km arah timur Bulukumba.

Kami berangkat dari terminal Malengkeri. Di Makassar, ada dua terminal bus antar kota. Untuk tujuan kota-kota di sebelah utara, kami menggunakan Terminal Daya, sedangkan untuk tujuan kota-kota di Timur Makassar seperti Bantaeng dan Bulu Kumba, kami harus menggunakan Terminal Malengkeri. Rata-rata Bus ke arah timur berangkat pada pagi hari. Menuju ke Bira kami harus mengambil bus jurusan Selayar. Karena kalau mengambil bus tujuan Bulu Kumba kami masih harus melanjutkan perjalanan lagi dengan menggunakan angkutan lain.

So … dari hotel kami di sekitar Losari, kami naik angkot ke arah Malengkeri. Better ask tentunya, karena angkot disini kadang tidak sampai ke terminal. Sampai di Malengkeri, kami naik bus AC Aneka Transport. Satu-satunya Bus ber AC tujuan Selayar. Harga tiket Rp 50 ribu perorang. Harga tiket ini seharusnya tiket dari Makassar ke Selayar. Di dalam Bus di kaca depan, kulihat ada no telepon yang bisa dihubungi. Dari Makassar 0411 5048232, dan dari Selayar 041422489 atau nomor HP 081355646448. Bus berangkat tepat pukul 09.00, saat bus-bus non ac lainnya sudah terlebih dahulu berangkat.

Baru beberapa menit berjalan, kami sudah memasuki Kab Gowa. Rute bus ini adalah Malengkeri (Makassar) – Takalar – Jeneponto – Bantaeng – Bulukumba – Bira dan berakhir di Selayar. Selepas Takalar bus berhenti sejenak. Seisi bus menikmati jagung rebus dengan sambal pedas, kecuali aku. Memasuki Kecamatan Bangkala – Jeneponto, suasana mengering. Tampak dikejauhan, laut membiru. Ladang-ladang garam dipenuhi tumpukan memutih. Sedangkan di sepanjang pantai Bantaeng – Bulukumba, banyak kulihat rumput laut dikeringkan. Ditepi pantai nampak seperti plastik putih yang berkilauan ditempa sinar matahari. Tempat Petani bertanam rumput laut. Disampingnya, nelayan menjaring ikan. Air laut menenggelamkannya separoh badan. Garam, ikan, rumput laut … alam menyediakan segalanya.
Sampai di Bulukumba, slogan “Bulukumba Berlayar” memenuhi kota. Dari umbul-umbul hingga plang-plang di pinggir jalan. Perjalanan dari Makassar ke Bira memakan waktu kurang lebih 5 jam. Bus berjalan sangat lambat.

Sesaat kulihat orang-orang bekerja di atas kapal besar yang belum rampung dibuat. Aku mengasumsikan bahwa kami telah sampai di Tana Beru. Sepanjang jalan tadi ada 3 kapal besar yang masih dalam proses pengerjaan.
Setengah jam kemudian sampailah kami di pintu masuk pelabuhan Bira. Kami harus turun, karena bus akan segera masuk ke dalam feri menuju Pulau Selayar. Perjalanan kami dengan Bus Aneka Transport cukup sampai di sini. Pantai Bira masih harus kami tempuh dengan berjalan kaki kira-kira 1 km lagi.

Maros : Gua Mimpi + Air Terjun Bantimurung

Image hosted by Webshots.comImage hosted by Webshots.comImage hosted by Webshots.comImage hosted by Webshots.comImage hosted by Webshots.com
Pagi ini jam 08.00 kami sudah siap didepan hotel. Dengan berbekal kertas kecil berisikan arah angkot yang harus kami lalui dan sebuah peta, kamipun berangkat. Dari daerah Pantai Losari kami berangkat naik pete-pete Cendrawasih ke Sentral dan turun di MTC. Dengan ongkos perorang 2500 perorang perjalanan kami lanjutkan dengan angkot trayek Central – Sudiang menuju Terminal Sudiang. Perjalanan dari Central ke Sudiang cukup memakan waktu. Masing-masing kami harus membayar Rp 4.000. Di Sudiang, angkot menuju Bantimurung telah tersedia. Kami harus membayar Rp10.000 tapi kupikir Pak Sopir hanya memanfaatkan kami saja, mengingat kami semua disini adalah pendatang (harga sebenarnya adalah Rp. 8.000).

Tepat di Bantimurung, kami langsung ke Gua Mimpi yang berhadap-hadapan dengan Gua Istana. Karena panjang Gua Mimpi hanya 1,2 km. Kamipun memutuskan untuk mengeksplore gua ini. Di mulut gua kami disuguhi pemandangan batu alam yang menyerupai gajah. Memasuki mulut gua, pemandangan stalagtit dan stalagmit mulai memukau mata kami. Berbagai macam bentuk telah dihasilkan dari rembesan air di dinding-dinding kapur di dalam gua. Stalagmit yang masih muda terlihat seperti mentega yang mengeras, tetesan air dari atap gua membentuknya begitu indah. Ada pula stalagmit yang berkilauan bak permata tatkala ditempa sinar lampu senter yang samar-samar. Beberapa Stalagtit yang bergelantungan bahkan mengeluarkan nada-nada tertentu kalau dipukul. Ya, mirip gendang. Perjalanan menuruni gua sama susahnya dengan perjalanan menuju ke gua yang letaknya diatas bukit-bukit kapur ini. Beberapa turunan cukup licin karena rontokan batu-batu kecil di dasar tanah.

Untuk menuju ke Air Terjun Bantimurung, kami harus melewati ruas-ruas jalan kampung. Tidak terlalu jauh memang. Sesampai di air terjun, aku hanya menikmati sekelilingku yang banyak sekali dipenuhi anak-anak kecil. Sesuai rencana, aku tidak hendak mandi di sini. Tapi konon kurang afdol kalau belum merasakan dinginnya air di Bantimurung. Ternyata … kesegarannya yang menyentuh jari jemari kakiku, membuatku terbangun. Beberapa menit menikmati pemandangan air terjun, kamipun segera pulang. Perlanan pulang selalu terasa lebih cepat.

Pulau Khayangan

Pukul lima sore kami ke Pulau Khayangan. Ketika bercakap-cakap dengan seorang polisi yang berasal dari Timor-timur, aku memperoleh gambaran bahwa Pulau Khayangan tak lagi seperti khayangan (sorga). Namun demi sebuah foto sunset, kamipun pergi juga.
Tiket masuk ke pulau ini pada saat hari libur adalah Rp. 30.000 perorang, hari biasa mereka hanya mengenakan Rp 15.000 perorang. Harga ini sudah termasuk tiket pulang pergi dengan menggunakan motor boat yang hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit. Pulau ini cukup kecil dan bisa kukelilingi hanya dengan beberapa menit saja. Pulau yang sudah dikembangkan sebagai tempat tujuan wisata ini dilengkapi dengan penginapan dan cafe kecil. Harganya cukup mahal kupikir, dengan fasilitas hiburan terbatas, paling murah mereka mematok harga perkamar 250 ribu. Pulau ini sepertinya kurang terawat, kulihat banyak sampah bahkan pecahan gelas dibiarkan menghiasi bibir pantai. Namun pemandangan sunset yg indah seolah mengubur semua kesan buruk tentang pulau ini.

Kami cukup beruntung, tak ada awan yang menutupi birunya langit yang direfleksikan air laut yang seolah olah tenang menanti saat-saat fajar tertelan perut bumi. Pukul 18.15 matahari benar-benar lenyap.Tapi semburat merah dibatas cakrawala masih cukup jelas, lalu menguning, menghijau dan membiru bercampur dengan langit. Satu titik planet terlihat jelas. Tepat pukul 18.30 kami kembali ke Makassar dengan perahu boat yang sama. Penumpang kali ini memenuhi sisi-sisi perahu yang kebanyakan adalah anak-anak kecil beserta orang tua mereka. Gelap segera meraja dan bintangpun mulai memainkan mata.

Pukul 18.30 kamipun kembali ke kota Makassar.