Histoire de la sexualité – Foucault yang tak menabukan Seks

Bagaimana anatomi politis atau pembentukan masyarakat yang ada sekarang terhadap gagasan tentang seks? Michel Foucault menjanjikan sebuah jawaban. Tentu dengan pemikiran khas Perancis yang jelimet namun cendekia.

Dua minggu yang lalu, aku sempat kaget ketika mendengar kata ‘payudara’ tiba-tiba terlontar dari mulut Romo Gabriel tatkala mengisahkan etimologi kata El-shadday, yang merupakan penamaan lain dari Allah yang mencukupi. El-Shadday yang berarti payudara diterjemahkan sebagai sumber makanan dan sumber kehidupan. Aku tak ingin berbincang tentang Allah dan sejarah gereja di sini, meskipun akhir-akhir ini topik ini mulai menarik perhatianku. Hanya saja aku ingin bertanya. Berapa diantara kamu yang akan bereaksi sama sepertiku, kaget, mendengar hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas diumbar di depan umum? Bahkan untuk menulisnya di sini sempat membuatku ragu.

Berapa orang diantara kamu yang mewarisi norma-norma borjuasi victorian, sepertiku, yang sungguh puritan dengan menganggap bahwa seksualitas bersifat diam, menahan diri dan munafik?

Berapa kali aku harus menyadarkan diri bahwa wacara seksual dengan segala unsur negatif – pelarangan, penyensoran, penyangkalan – adalah buah dari hipotesis represi.

Sadarkah kita bahwa seringkali kita berpretensi membicarakan seks dari sudut pandang yang netral, seolah-olah membincangkan hal-hal yang berbau ilmiah. Ini adalah bentuk pengelakan atas ketidakmampuan kita dalam menggagas wacana seks secara gamblang tanpa ada tirai moral yang membatasi kata-kata yang berkaitan dengan seks.

Dengan Pendekatan filsafat kontemporer yang melihat kegiatan berfilsafat bukan lagi semata-mata mencari kebenaran, namun lebih kepada penguraian sejarah, Michel Foucault menyajikan sejarah seksualitas.

Dalam hipotesis represi, Foucault menjelaskan bahwa sejak dahulu ada semacam proses penapisan kosakata yang sangat ketat, yang mengakibatkan terbatasnya kata-kata yang boleh digunakan untuk menggambarkan wacana seks. Bahkan beberapa kata tersebut telah dibakukan dalam bentuk retorika kiasan pun metafora sehingga orang tidak mudah memahaminya. Dan tentu kaidah-kaidah kesantunan di zaman modern telah menjaring kata-kata tertentu, sehingga kaidah kesantunan dianggap hadir bak polisi kata-kata.

Sebagai bentuk upaya menghidupkannya, sejak abad ke-18, pewacanaan seks mulai dihadirkan dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan telah memperbanyak bentuk wacana tentang seks dengan menetapkan batasan-batasan, membakukan isinya serta mulai melatih pembicara-pembicara yang handal.

Disamping itu, Abad pertengahan juga telah memunculkan wacanan tunggal untuk menciptakan suatu alat untuk membicarakan seks. Sakramen pengakuan dosa yang lazim muncul di gereja-gereja Katholik, salah satunya. Proses pengakuan dosa telah membuat seks layak untuk diungkapkan. Pun demikian, tetap saja terdapat buku panduan yang pada akhirnya justru membatasi kata-kata  tertentu. Sanchez dan Tamburini mengungkapkan bahwa setidaknya ada beberapa ungkapan tentang seks yang harus dihindari dalam sakramen ini, misalnya posisi pasangan, berbagai gerak sentuhan serta beberapa ungkapan lain yang tak ingin kutuliskan disini.

Pengakuan dosa sebagai tool untuk pengungkapan seks secara gamblang sebenarnya sangatlah kontradiktif dengan tujuan semula, karena menurutku, ketika ajaran pastoral Kristen menjadikan seks sebagai sesuatu yang diakui sebagai dosa, maka secara natural hal ini justru akan menjadikan seks sebagai sebuah teka teki yang harus terus menerus disembunyikan. Pengakuan dosa hanyalah alat pemaksa dan seks tidak dengan sendirinya pun sukarela menampilkan diri.

Buku ini juga membahas berbagai penyimpangan seksual yang, sejak awal, diwacanakan sebagai bentuk-bentuk seksualitas yang tidak tunduk pada tujuan reproduksi. Wacana yang berkembang kala itu justru mengutuk ‘kenikmatan menyimpang’ dan menolak ‘kegiatan tanpa hasil’ yang tak bertujuan untuk regenerasi. Keganjilan seksual mulai disisipkan sebagai kategori penyakit jiwa. Namun melihat kenyataan abad ke-19, penyebaran seksual dan pengokohan bentuk-bentuk penyimpangan makin berlipat ganda. Jaman sekarang kita justru mencetuskan heterogenitas seksual. Derivatifnya semakin banyak. Jadi tepatlah istilah yang menyebutkan bahwa ‘semakin dikekang semakin menjadi’. So … yuk mulai ikut mewacanakan.

For those of you who are on holiday, but rain prevents you from having outdoor activities, this book is worth reading. 🙂 No .. no.. it’s not true. Keep Painting!

Overall, buku ini ditulis dengan kata-kata yang jelimet dan susah dimengerti. Bukan buku yang layak untuk dinikmati secara santai, namun cukup worthy kalau ingin sekedar tahu sejarah seksualitas.

7 thoughts on “Histoire de la sexualité – Foucault yang tak menabukan Seks”

  1. jadi tertarik beli jeng. betul katamu, sex seperti sebuah inhibisi yang ingin didobrak. jadi biarkan dia berlega-lega agar tidak menendang-nendang untuk minta ‘dituntaskan’. nov, bicara kata-kata sex, mana yang lebih arouse? verbal atau tulisan? (so far hipotesa ku bahasa verbal lebih ‘digandrungi’, itulah kenapa phone sex laku akhir-akhir ini)

  2. Ulasannya cukup menarik. Awalnya saya pikir anda hanya pembaca novel. Salam kenal

  3. Bune, kalo aku sedang “ngaku dosa” sepertinya gak kututup-tutupi kok, biar pasturnya turut membayangkan juga hehehe :), maksude bahwa pengakuan dosa itu tidak sepenuhnya mempunyai arti sebagai sesuatu yang membatasi, kale…

  4. @Vira: Tapi bagaimana dengan diamnya pegawai-pegawai kantor yang justru sibuk membuka situs-situs porno. Mmm malah bukan verbal lagi tuh. Makanya semakin dikekang, aktivitas2 tersembunyi semakin menjadi. Bikin riset atuh Vir, nanti aku yang komentar ajah 😉
    @Endi: Semisal omnivora yang pemakan segala, saya ini pembaca segala Pak. Salam kenal juga.
    @Nova: Kang, karena sex diakui sebagai dosa maka otomatis orang cenderung menyembunyikannya. Memang saat pengakuan dosa tidak ada yang membatasi, cuma ini tergantung keinginan si pendosa untuk secara sukarela mengungkapkannya, bener gak? Tapi .. tenane kowe tau ngaku dosa kuwi po ? 😉

  5. tergantung di negara mana ya sex itu umum dibicarakan, dulu aku kaget waktu pertama kali ke sini, liat majalah2 porno dipajang di banyak rak2 bukan hanya toko buku saja tapi toko serba ada juga, walaupun ditaruh dipaling atas, kali agar anak kecil nggak bisa njangkau ya, bayangkan bagaimana majalah2 penuh adegan syur dlm berbagai posisi itu seandainya dipajang di toko2 di tanah air ? (nggak mungkin lau yauuu , FPI akan ngamuk !)

  6. @Elys: Jangankan majalah kayak gitu Jeng, Playboy Indonesia aja di sensor koq. Adat ketimuran memang jadi tembok penghalang yang kokoh dalam mewacanakan sex secara serius. Tapi guyonan yang berbau porno didepan umum justru dianggap lumrah. Dan, seriously, ini bukan termasuk kategori mewacanakan sex.

  7. ngomongin masalah sex ga bakalan abis…selalu aza ada yang pingin bahas dan pembahasan masalh sex itu sendiri apakah itu tabu atau bukan tergantung dari segi orang yang menilainya, kalo orang yang punya orientasi untuk kepentingan pendidikan,dll maka sex itu bukan tabu baginya, tapi kalo orang yang menilainya pikirannya masih,(maaf) picik maka sex itu akan tabu baginya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *