Pagi itu matahari tersembunyi diantara awan-awan putih. Banyak inang-inang berbaju hitam dan amang-amang memakai jas dan kopiah bergegas pergi ke gereja. Yup, hari ini umat kristiani memperingati wafat isa almasih. Sementara kami, asyik memotret dan menikmati liburan kami.
Di Huta Siallagan, kami sempat singgah sejenak. Deretan rumah adat Batak dan sebuah pohon besar yang dibawahnya terdapat kursi batu tempat persidangan jaman dahulu kala, menjadi sugguhan area wisata ini.
Selepas Desa Ambarita, gerimis menghantar kami melalui jalan mulus di bawah bukit hijau, di kejauhan Danau Toba tampak tenang, seolah tak terusik dengan gejolak hati kami yang diliputi luapan kekaguman.
Ditengah euphoria itu, terselip sedikit kegamangan ketika mobil mulai memasuki Kecamatan Pangururan. Sesaat lagi kami akan melewati perbukitan di Tele. Rute yang tak mudah. Aku hanya bisa pasrah. Meskipun pengemudi inova ini sangat handal dan percaya diri, tak ayal jantungku berdetak tak menentu tatkala mobil mulai menapaki jalan yang tak mulus. “Jangan lupa menulis surat wasiat kalau nekat lewat Tele”, demikian gurauan beberapa teman. Kisah-kisah berujung maut yang terjadi di Tele sempat ku baca beberapa hari sebelum keberangkatan. Nyaliku sempat ciut, tapi partner trekking berkeras hati melewati Tele. Akupun tersadar, “He’s more adventurous than me”. Kanan kami dinding terjal dengan reruntuhan batu yang terlihat masih baru. Sisi kiri kami jurang menganga menuju maut. Sesekali aku mengingatkan “Pak Sopir” agar tetap fokus pada jalan, sementara aku menikmati bukit-bukit dan lembah yang … wow … sungguh elok. Maaf ya Bang, Abang cukup porsea dengan cerita Adeknya, next time Adeknya yang nyetir.
Jarak 50 kilo lebih Tuk-tuk Siadong – Tele kami tempuh dalam waktu 2 jam. Sesuai rencana, kami berhenti sesaat di menara Pandang Tele. Disisi ini pemandangan Danau Toba yang menyatu dengan perbukitan di Tele sungguh menawan hati. “Ini tak sebanding dengan Hutaginjang koq” ucap partner. Pemandangan yang indah menjadi trade off atas risiko yang cukup signifikan, pikirku dalam hati. Aku yang risk averse telah berlebihan meng-assess risiko perjalanan melewati perbukitan di Tele. As long as you have a very good and talented driver, this route is highly recommended. Its outstanding beauty is the reward.
Selepas Menara Pandang Tele, kami memasuki jalan utama Sidikalang ke Siborongborong. Jalan yang tak rata menjulur begitu saja diantara hutan-hutan yang tampak gundul. Inikah tanda ketidakmampuan alam dalam meredam nafsu serakah manusia? Atau … ini bukti ketidakmampuan manusia untuk secara naluriah melihat ke masa depan, sehingga tindakan-tindakan mereka hanya didasari oleh kepentingan sesaat? Miris melihatnya.
Memasuki kecamatan Siborongborong mataku mulai mencari sasaran. Benar, perkebunan kopi yang membuat Siborong-borong menjadi incaran para kolektor Kopi Starbucks adalah salah satu tujuan dalam list perjalanan kami. Kamipun memutuskan mencari warung kopi di pasar Siborongborong, yang terletak di sebuah pertigaan yang mempertemukan jalur Pematangsiantar dan Sidikalang ke arah Tarutung, pun Sibolga. Sayang, tak ada warung yang cukup representatif untuk menjadi tongkrongan kami. Sementara itu, mencari Starbucks di kecamatan sekecil ini adalah suatu upaya yang sia-sia. Lalu melajulah mobil kami menuju titik terjauh- diukur dari Medan – dari rute perjalanan kami selama 3 hari ini, Tarutung.
Memasuki Tarutung, partner trekking mulai menyanyikan “Desaku yang tercinta” keras-keras, membuatku sesaat teringat kampung halamanku. Sebuah kota tua menanti kami, lagi-lagi dengan sambutan rintik hujan.
Tepat di depan kantor DPRD – yang megah dan berdesain khas rumah adat Suku Batak – terlihat banyak petugas keamanan mondar-mandir. Hari itu, tepat satu hari Bupati Tapanuli Utara dilantik. Pengamanan tampak sangat berlebihan, membuatku bertanya-tanya, “ada apa ini?” Tiba-tiba saja terlintas di kepalaku, Pak Sintong Panjaitan, yang – dari buku yang kami baca “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”- sedang menghabiskan masa tuanya di kota kelahirannya ini.
Tak banyak yang bisa dikunjungi di sana, selain kepentingan-kepentingan pribadi yang tak perlu kuuraikan di sini. Selebihnya, lembah hijau nan indah, dan pegunungan yang melingkarinya jelas membuat ibu kota Tapanuli Utara ini bak kota kecamatan di daerah Malang bagian utara di tahun 80-an, sejuk dan indah. Sore itu kabut mulai menyelimuti Desa Lumban Siagian dan rintik hujan untuk sesaat terhenti, memberi kami sedikit keleluasaan untuk menikmati hari.
Sebelum matahari menghilang diantara perbukitan, kami menyempatkan diri mengunjungi Monumen Raja Panggabean, berfoto bersama salah satu buyut sang raja, mengambil foto lanskap kota dari atas Sungai (Aek) Sigeaon, dan menikmati kopi dari warung kopi di pinggir sungai. Tak lupa dua buah durian, asli dari kota durian (Cat: Tarutung dalam bahasa batak berarti durian) kami nikmati.
waw……..hasil bidikan yang bagus. dari sudut mana ngambil gambar ya itu?
yuk berbagi kisa h dengan ku,,