Rana menatap pria itu. Ada intensitas dalam adu pandang mereka yang hanya dua detik.
(inilah saat suara piano akustik muncul sebagai ilustrasi)
Rana langsung salah tingkah. Saat itu ia belum sepenuhnya sadar, sebenarnya ia tidak sendirian.
“kamu punya waktu sampai makan siang kan? Re bertanya.
(inilah saatnya sekawanan biola mengalun masuk)
Rana mengangguk.
(terlalu cepat. tak ada yang bisa disembunyikan termasuk cicin emas polos yang melingkar di jari manisnya)
…….
“cinta kan butuh pengorbanan” tukas Rana pelan
“Lalu idiot mana yang menulis :Love shall set U free!” Tadinya saya pikir cinta seharusnya tiket menuju kebebasan, bukan pengorbanan.Agaknya konsep itu terlalu utopis ya.”
Lama mereka berdua diam. Terlalu lama, sehingga menyiratkan segalanya.
…..
“Rana…”
Gadis itu menoleh, bola matanya bersinar indah. Tak ada yang bisa memungkiri, ternyata di sanalah hati Re tertambat. Di sinar mata yang siap mendobrak kungkungan demi mimpi yang setinggi langit. Sinar mata yng mengingatkan pada dirinya sendiri.
“kamu anak bungsu?”
“kok tau?”
Re cuman tersenyum kecil, mengangkat bahu.
Puteri bungsu dari kerajaan Bidadari.
tak kusangka akan menemukanmu secepat ini.
Sampai sekarang, Re pun masih bisa mendengarnya. Tapi terkadang bunyinya amat sumbang. Mengoyak, dan menyayat.
Ia ingin tidur.