Kenaikan harga BBM yang tak bermoral

Beberapa hari lalu sekitar pukul 6 sore, aku terlibat percakapan ‘panas’ dengan Vira tentang pengaruh harga BBM pada harga selangkangan. Kami kala itu menstempel jidat kami dengan jargon feminisme, dan stiker “kami gak sedang ngomong jorok loh” menempel di punggung kami berdua. Malam itu, perempuan satu ini memang akhirnya menghasilkan catatan isengnya, sementara aku berakhir di Blitz, tempat favoritku dengan seorang teman.

Entah kenapa aku langsung sampai pada sintesa sederhana bahwa harga selangkangan justru akan turun. Dengan kenaikan harga BBM, inflasi akan tergeret naik. Moving north , istilah para trader. Naiknya harga bbm ini membawa second round effect yang luar biasa, sehingga banyak yang memperkirakan tingkat inflasi (YoY) yang akan di announce tanggal 2 nanti akan menyentuh level double digit.

Inflasi tinggi membuat hidup makin susah. Secara ekonomi loh, cuma karena kondisi ekonomi seringkali berbanding lurus dengan kondisi kebathinan, tingginya harga barang yang tak diimbangi dengan purchasing power akan membuat manusia seringkali gelisah dan bahkan berbuat nekat. Berawal dari desakan ekonomi dan kenekatan yang diramu dengan efek degradasi moral yang amat sangat karena lunturnya apa yang kita percaya sebagai “value”, membuat supply selangkangan justru makin meningkat.

On the other hand, harga kebutuhan pokok semakin mahal, hence inflationary pressure exists, membuat penghasilan secara value menurun, meskipun secara nominal tidak. Akibatnya, selangkangan – bagi sebagian orang- terdepak keluar dari list kebutuhan pokok. So demand menjadi turun.

Dengan supply meningkat dan demand yang menurun, tak ayal harga selangkangan menjadi jatuh. Kenaikan harga BBM rada tak bermoral memang. Tapi salahkan Vira yang sore itu mencetuskan ide gila membahas hal beginian. Peace Vir 🙂 !

Antara NSO, Beethoven dan Bizet

Manusia Jakarta dan sekitarnya ini masih beruntung. Segala kemudahan demi memuaskan dahaga atas kesenangan-kesenangan yang bersifat pribadi sangatlah mudah dipenuhi. Tak harus ke Birmingham Symphony Hall atau Royal Albert Hall, pun ke Cheveningen untuk memperoleh efek dopamine yang melimpah ruah, cukup di dalam ruangan Balai Sarbini dengan kursi-kursi yang saling berhimpitan.

Sabtu lalu, aku dan temanku akhirnya menghabiskan waktu menonton Nusantara Symphony Orchestra di Balai Sarbini. Sabtu yang telah kami rencanakan beberapa minggu sebelumnya.

Komposisi Beethoven dan Bizet menyuguhi malam itu dengan harmoni keindahan bagi classical music lovers

Menonton orkestra tak seperti menikmati recital-nya Wibi Soerjadi, dimana bola mata kita tak kan bergerak dari jemari tangan yang lincah dan tubuh mungil Wibi (at least untuk ukuran European people) serta piano kesayangannya. Hey it’s also one of my fave performances I’ve ever seen. Bedankt voor een heerlijke tijd, Stev.

Konser malam itu, NSO membawakan Symphony no 5 in C minor komposisi karya Beethoven. Still… my fave is Moonlight Sonata. Tapi coba bayangkan sebuah komposisi indah yang diawali dengan birama megah bak musik iring-iringan kemenangan, lalu diikuti dengan aksen kontras dengan bunyi keras dan lembut dengan not-not dissonan. Kemudian berlanjut dengan alunan cello dan violin yang memainkan nada-nada lembut. Suara timpani yang menggema dan trombone yang semakin meriah, membuat kepala beberapa penonton kala itu mengangguk-angguk seirama hentakan musik Tak sadar tangankupun mulai latah bergerak-gerak, tentu tak ada niatan sedikitpun untuk menyaingi Mr Hikotoro Yazaki, yang malam itu menjadi conductor.

Sesi kedua, NSO menyuguhkan highlights Carmen yang dibawakan oleh Sarah Sweeting, sang mezzo soprano yang malam itu melakonkan tokoh utamanya, Carmen. Aning Katamsi, sang soprano melakonkan Micaela tunangan Don Jose yang dibawakan oleh Ndaru Darsono.

Dalam kisah ini Don Jose jatuh cinta pada Carmen, perempuan gypsy yang cantik dan menggairahkan, yang tiap gerakan matanya, tubuhnya maupun suaranya memiliki symbol sensualitas. Mungkin femme fatale lebih pas menggambarkan karakter Carmen yang malam itu divisualisasikan Sarah Sweeting dengan balutan gaun merah dan gerakan tubuh yang menantang.

Kisah Carmen mengambil setting di Seville – Spain, meskipun demikian opera ini tetap disajikan dalam French subtitles, mengingat Bizet yang wong Perancis.

Tersebutlah Don Jose, seorang tentara yang sedang berkerumun diluar pabrik rokok mendapati Carmen melemparkan setangkai mawah tepat dikakinya, Diapun terpesona oleh kecantikan perempuan ini. Dalam kisah selanjutnya diceritakan Micaela datang menemui Jose membawakan sepucuk surat dari ibu Jose yang memberitahukan anaknya bahwa Micaela adalah istri yang tepat untuknya.Merekapun bertunangan. Namun pesona Carmen tetap memikat hati Jose, hingga dia rela masuk penjara menggantikan Carmen yang kala itu terlibat perkelahian dengan perempuan lain.

Di babak kedua, dikisahkan pertemuan Carmen dan Escamillo seorang bull fighter yang dalam performance di Balai Sarbini malam itu diperankan oleh Harland Hutabarat, yang oleh partner nontonku disebutkan sebagai saudaranya. Herannya kenapa tak sedikitpun bakat menyanyi Harland terlihat di saudaranya yang malam itu duduk disisi kiriku.

Carmen dan Escamillo bertemu di sebuah bar yang cukup sering dikunjungi oleh para penyelundup dan pencuri. Tak segera merek jatuh cinta. Carmen masih setia menanti Jose. Sesaat setelah teman gypsynya merencanakan sebuah penyelundupan, datanglah Jose dan dia setuju melarikan diri dengan Carmen, bergabung bersama para penyelundup lainnya.

Singkat cerita (baca: babak II dan IV. Red) … Jose tiba-tiba meninggalkan Carmen setelah Micaela menyampaikan berita bahwa Ibu Jose sedang sakit keras. Carmenpun segera mengumumkan kalau dia jatuh cinta pada Escamillo, sang matador.
Suatu hari datanglah Carmen dan Escamillo ke bullring. Kala Escamillo harus bertarung melawan ketangguhan banteng, Carmen yang berada diluar arena terlibat perselisihan dengan Jose yang sengaja mendatanginya dan memaksa Carmen untuk tinggal bersamanya.

Tak tahan dengan sikap Carmen yang melemparkan cincin padanya dan mengatakan bahwa tak sedikitpun dia mencintai Jose, Jose-pun menikam Carmen. Disaat Carmen harus meregang nyawa, terdengar suara riuh dari dalam bullring, Escamillo seorang matador berhasil menguasai Banteng. Sungguh ironis!

Oh ya, prelude dalam opera Carmen ini dibuat megah dan menghentak-hentak, mengingatkanku pada Radetzky March op 228 komposisi karya Strauss, namun diakhiri dengan irama lembut. Ah lagi-lagi gak happy ending, layaknya kisah-kisah Tristan und Isolde, dan Romeo and Juliet.

Ummm, sebenarnya agak kecewa juga kala melihat Harland hanya membawakan ‘Toreador’, yang singkat saja. But overall, kami cukup puas. Di rumah…malam Sabtu yang telah larut segera dimeriahkan dengan bunyi ringtone ‘Toreador’ yang sejak dua tahun lalu menjadi ringtone esiaku. “Nice dream yaa…” menutup malam yang kala itu dihiasi konstelasi Virgo yang meluas di langit

… dan dunia pendidikanpun ternodai

Kalau kamu sempat mendengar pun membaca tentang tragedi Ujian Nasional yang sempat dinodai dengan ledakan senapan di lingkungan sekolah serta tangisan guru-guru yang telah dengan sengaja membetulkan lembar jawaban siswa, kita semua pasti akan miris. Sedemikian parahnyakah moral mereka yang terlibat dalam kejadian itu, atau tak berpikirkah mereka para pembuat kebijakan yang telah memaksakan penyeragaman soal-soal ujian dibawah payung program “Ujian Nasional”, tanpa menyadari deviasi kualitas fasilitas pun tenaga pengajar antara kota besar dan pedalaman sangatlah jauh berbeda ?

Ok lets get straight to the point. Paragraf di atas tidak dimaksudkan untuk menentang apa yang dilakukan para anggota detasemen khusus 88 Anti Teror Kepolisian Daerah Sumut ataupun menghujat tindakan para guru SMAN 2 Lubuk Pakam Deli serdang, Sumut yang dilakukan siang hari pukul 13.30 pada hari Jumat tepat seminggu yang lalu. Karena justifikasi selalu bisa dicari. Mendapatkan argumen-argumen yang mendukung pendapat kita sama mudahnya dengan memperoleh alasan-alasan yang menentangnya.

Sebenarnya, apa yang terjadi di Sumut-pun terjadi pula di USA, negara yang konon sering dijadikan kiblat sistem pendidikan di negara-negara terbelakang, pun sedang berkembang. Bagi mereka yang sempat membaca buku freakonomics, kejadian di Sumut ini bukan hal yang baru. Di USA, tepatnya di Chicago, high-stake testing atau ujian yang paling menentukan untuk kenaikan kelas telah dinodai pula dengan kecurangan para guru. Motif guru-guru di Chicago saat itu sangatlah berbeda dengan apa yang melandasi guru-guru SMAN 2 Lubuk Pakam, yang lebih terbeban secara moral tatkala melihat pensil anak-anak didiknya tak bergerak saat ujian bahasa inggris berlangsung. Beban moral kepada orang tua anak-anak itu lebih menghantui para guru tersebut ketimbang sanksi yang harus dijalani tatkala apa yang mereka lakukan harus terbongkar.

Pada dasarnya manusia merespon terhadap insentif. Tatkala reward diberikan pada guru yang siswanya memperoleh nilai tinggi dalam high-stake testing, beberapa diantara mereka tergoda untuk melakukan kecurangan. Sistem reward dan punishment dalam high-stake testing ini telah direspon oleh sebagian guru dengan lebih berkonsentrasi pada topik-topik ujian ketimbang upaya meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu pelajaran. Hal ini pula yang mendorong guru-guru di Chicago untuk menghapus jawaban siswanya yang salah dan menggantinya dengan jawaban yang benar.

Namun penggrebekan bahkan ledakan dari laras senapan tidak perlu terjadi di Chicago, sebagaimana kejadian di Lubuk Pakam yang hanya menambah deretan noda bagi dunia pendidikan, bahwa sekolah adalah ajang kekerasan.
Beruntunglah Chicago Public School memiliki basis data jawaban siswa sejak tahun 1993 hingga tahun 2000. Sehingga dengan Algoritma sederhana guru-guru yang curangpun akhirnya dapat diketahui. Sebagian diantara mereka diberi peringatan bahkan di pecat. Kalau ingin mengetahui lebih detail bagaimana algoritma sederhana mampu membongkar kecurangan guru-guru di Chicago, baca buku Freakonomics deh. Buku ini … highly recommended!

Aksi polisi di Lubuk Pakam memang terkesan berlebihan. Andai kita mulai bisa memanfaatkan historical data guna menciptakan suatu kebijakan yang lebih memadai, kecurangan dan aksi brutalpun pasti bisa dihindari.

Oh ya, aku tidak men-suggest tindakan apapun atas kejadian di Lubuk Pakam seminggu yang lalu. Karena aku sadar betul bahwa berbicara lebih mudah ketimbang melaksanakan. Pun menulis lebih menyenangkan dari pada mengalami sendiri kejadian-kejadian itu.