Manusia Jakarta dan sekitarnya ini masih beruntung. Segala kemudahan demi memuaskan dahaga atas kesenangan-kesenangan yang bersifat pribadi sangatlah mudah dipenuhi. Tak harus ke Birmingham Symphony Hall atau Royal Albert Hall, pun ke Cheveningen untuk memperoleh efek dopamine yang melimpah ruah, cukup di dalam ruangan Balai Sarbini dengan kursi-kursi yang saling berhimpitan.
Sabtu lalu, aku dan temanku akhirnya menghabiskan waktu menonton Nusantara Symphony Orchestra di Balai Sarbini. Sabtu yang telah kami rencanakan beberapa minggu sebelumnya.
Komposisi Beethoven dan Bizet menyuguhi malam itu dengan harmoni keindahan bagi classical music lovers
Menonton orkestra tak seperti menikmati recital-nya Wibi Soerjadi, dimana bola mata kita tak kan bergerak dari jemari tangan yang lincah dan tubuh mungil Wibi (at least untuk ukuran European people) serta piano kesayangannya. Hey it’s also one of my fave performances I’ve ever seen. Bedankt voor een heerlijke tijd, Stev.
Konser malam itu, NSO membawakan Symphony no 5 in C minor komposisi karya Beethoven. Still… my fave is Moonlight Sonata. Tapi coba bayangkan sebuah komposisi indah yang diawali dengan birama megah bak musik iring-iringan kemenangan, lalu diikuti dengan aksen kontras dengan bunyi keras dan lembut dengan not-not dissonan. Kemudian berlanjut dengan alunan cello dan violin yang memainkan nada-nada lembut. Suara timpani yang menggema dan trombone yang semakin meriah, membuat kepala beberapa penonton kala itu mengangguk-angguk seirama hentakan musik Tak sadar tangankupun mulai latah bergerak-gerak, tentu tak ada niatan sedikitpun untuk menyaingi Mr Hikotoro Yazaki, yang malam itu menjadi conductor.
Sesi kedua, NSO menyuguhkan highlights Carmen yang dibawakan oleh Sarah Sweeting, sang mezzo soprano yang malam itu melakonkan tokoh utamanya, Carmen. Aning Katamsi, sang soprano melakonkan Micaela tunangan Don Jose yang dibawakan oleh Ndaru Darsono.
Dalam kisah ini Don Jose jatuh cinta pada Carmen, perempuan gypsy yang cantik dan menggairahkan, yang tiap gerakan matanya, tubuhnya maupun suaranya memiliki symbol sensualitas. Mungkin femme fatale lebih pas menggambarkan karakter Carmen yang malam itu divisualisasikan Sarah Sweeting dengan balutan gaun merah dan gerakan tubuh yang menantang.
Kisah Carmen mengambil setting di Seville – Spain, meskipun demikian opera ini tetap disajikan dalam French subtitles, mengingat Bizet yang wong Perancis.
Tersebutlah Don Jose, seorang tentara yang sedang berkerumun diluar pabrik rokok mendapati Carmen melemparkan setangkai mawah tepat dikakinya, Diapun terpesona oleh kecantikan perempuan ini. Dalam kisah selanjutnya diceritakan Micaela datang menemui Jose membawakan sepucuk surat dari ibu Jose yang memberitahukan anaknya bahwa Micaela adalah istri yang tepat untuknya.Merekapun bertunangan. Namun pesona Carmen tetap memikat hati Jose, hingga dia rela masuk penjara menggantikan Carmen yang kala itu terlibat perkelahian dengan perempuan lain.
Di babak kedua, dikisahkan pertemuan Carmen dan Escamillo seorang bull fighter yang dalam performance di Balai Sarbini malam itu diperankan oleh Harland Hutabarat, yang oleh partner nontonku disebutkan sebagai saudaranya. Herannya kenapa tak sedikitpun bakat menyanyi Harland terlihat di saudaranya yang malam itu duduk disisi kiriku.
Carmen dan Escamillo bertemu di sebuah bar yang cukup sering dikunjungi oleh para penyelundup dan pencuri. Tak segera merek jatuh cinta. Carmen masih setia menanti Jose. Sesaat setelah teman gypsynya merencanakan sebuah penyelundupan, datanglah Jose dan dia setuju melarikan diri dengan Carmen, bergabung bersama para penyelundup lainnya.
Singkat cerita (baca: babak II dan IV. Red) … Jose tiba-tiba meninggalkan Carmen setelah Micaela menyampaikan berita bahwa Ibu Jose sedang sakit keras. Carmenpun segera mengumumkan kalau dia jatuh cinta pada Escamillo, sang matador.
Suatu hari datanglah Carmen dan Escamillo ke bullring. Kala Escamillo harus bertarung melawan ketangguhan banteng, Carmen yang berada diluar arena terlibat perselisihan dengan Jose yang sengaja mendatanginya dan memaksa Carmen untuk tinggal bersamanya.
Tak tahan dengan sikap Carmen yang melemparkan cincin padanya dan mengatakan bahwa tak sedikitpun dia mencintai Jose, Jose-pun menikam Carmen. Disaat Carmen harus meregang nyawa, terdengar suara riuh dari dalam bullring, Escamillo seorang matador berhasil menguasai Banteng. Sungguh ironis!
Oh ya, prelude dalam opera Carmen ini dibuat megah dan menghentak-hentak, mengingatkanku pada Radetzky March op 228 komposisi karya Strauss, namun diakhiri dengan irama lembut. Ah lagi-lagi gak happy ending, layaknya kisah-kisah Tristan und Isolde, dan Romeo and Juliet.
Ummm, sebenarnya agak kecewa juga kala melihat Harland hanya membawakan ‘Toreador’, yang singkat saja. But overall, kami cukup puas. Di rumah…malam Sabtu yang telah larut segera dimeriahkan dengan bunyi ringtone ‘Toreador’ yang sejak dua tahun lalu menjadi ringtone esiaku. “Nice dream yaa…” menutup malam yang kala itu dihiasi konstelasi Virgo yang meluas di langit
Haihai..ga sengaja mampir ke blog ini ketika mencari tulisan mengenai liputan NSO minggu lalu. Saya juga menuliskannya loh!
Salam kenal!
Mending nonton jazz Neng Geulis.
Aha ada pecinta karya Strauss juga. Aku juga pernah nonton Wibi Soerjadi.
cuma satu pertanyaan. siapa partner nontonmu ? *ckckckckc*
@Roy:Review oleh musisi tentu lebih menyentuh ya.
@Akang: Sama enaknya Kang.
@R-liana: Saya sebenarnya penggemar Schubert lho.
@Vira: Haha gak penting Vir. Yg penting apa yg ditonton 🙂