3371686

Since the crisis erupted in 1997, Indonesia has relied on IMF support to keep the economy afloat.
Hutang, hutang dan hutang terus, negara kita semakin identik dengan kata hutang selain kata korupsi.
Ternyata hutang menyentuh pula kalangan kecil, masa kuliah misalnya, dulu seringkali muncul istilah soft loan di kalangan kami (opstt daku tidak ikutan ding, kiriman Mama selalu on time). Kata Soft loan sering terdengar diantara bisik-bisik kami, entah karena malu atau memang lagi serak. Kami istilahkan soft loan karena loan yang satu ini bunganya rendah, atau bahkan tidak berbunga sama sekali, dan jangka waktunya lumayan panjang tergantung mood si kreditor untuk mengembalikannya, bahkan suatu kali bisa saja soft loan tiba-tiba berubah wujud menjadi Grant karena hutang yang nunggak terus dan pada akhirnya gak dibalikin.
“Sebenernya hutang itu perlu”, begitu dosen ABLN (administrasi Bantuan Luar Negeri) kami mengatakan. Tanpa hutang kita gak bisa membangun, kita hanya bisa berangan-angan tanpa sempat merealisasikannya karena memang keuangan kita terbatas pada waktu itu. Seseorang yang ingin membeli TV seharga 1 juta takkan mampu membeli jika uang yang dimilikinya hanya 500 ribu, lalu dia berinisiatif untuk menabung sekitar 5 bulan baru nanti begitu uangnya sudah mencapai 1 juta dia akan membeli TV, tapi begitu 5 bulan berikutnya uangnya telah mencapai 1 juta harga TV tidak lagi 1 juta tapi 1.100.000 begitu seterusnya, lalu kapan dia bisa memiliki TV ? Hilang pula kenikmatan yang seharus dia dapat dari menonton TV selama 5 bulan apabila dia berhutang.
Begitu pula dengan pembangunan di Indonesia, tapi tatkala setiap tahun hutang diciptakan dan cicilan hutang dan bunga yang harus dibayar berakumulasi … dan tatkala proyek yang dibiayai dengan BLN tidak lagi produktif karena memang tender proyek yang bla..bla..bla… rahasia (umum), dampaknya begitu kita rasakan sekarang. Dulu ketika kami mengahadapi pernyataan-pernyataan “Bahwa tabungan pemerintah antara lain digunakan untuk membayar bunga dan cicilan hutang” dan “Bahwa penerimaan pembangunan yang terdiri atas bantuan program dan bantuan proyek dapat digunakan untuk membiayai bunga dan cicilan hutang” kami harus menjawabnya sebagai pernyataan yang salah.
Nyatanya…syarat-syarat BLN pun telah di terjang, yang seharusnya bersyarat lunak dalm jangka waktu minimal 20 tahun dengan grace periode 7-8 tahun lalu digunakan untuk proyek yang produktif, bebas ikatan politik dan dalam batas kemampuan membayar kembali. Itulah teori yang seringkali tidak sesuai dengan praktek. Hutang kita telah melampaui ambang batas, lalu kalau keadaan negara kita sudah terlanjur seperti ini apakah kita mau menolak bantuan yang seorah-olah bagaikan malaikat ? Coba seandainya dulu kita tidak … lalu seandainya dulu kita begini … penyesalan yang tiada guna !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *