Dari pada mempertentangkan tentang aturan arbitrer yang tidak memiliki landasan hukum seperti larangan untuk memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, aku lebih suka membahas hal-hal yang menentramkan hati.
Dari pada mengiyakan ide Mari, pengacara kota Ljubjana yang juga lulusan RS jiwa Villete, yang hendak menuntut Tuhan karena telah melakukan kelalaian administratif dengan menumbuhkan pohon ditempat yang tidak tepat dan tidak mencantumkan papan peringatan pun memagarinya sehingga membahayakan bagi siapa saja, aku lebih memilih versi kisah original sin yang secara turun temurun disampaikan dikalangan suku-suku yang meninggali padang gurun Morroco.
Begini kisahnya:
Kala Hawa berjalan di taman, Sang Ular menawarinya :”Makanlah Apel ini!”
Hawa yang mengetahui pasti instruksi Tuhan, menolaknya
“Makanlah Apel ini”, Sang Ular terus mendesak. “Kau harus memakannya, agar kau tampak lebih cantik dihadapan suamimu”.
“Dia tidak memiliki wanita lain selain diriku”, sekali lagi Hawa menolak.
Sambil tertawa, Sang Ular berkata :” Tentu saja kau salah, dia memiliki wanita lain.”
Dan tatkala Hawa terus melakukan penolakan, Sang Ular berhasil membawanya kesebuah sumur tua diatas bukit.
“Adam menyembunyikannya di dalam sana, lihatlah ke bawah!”
Hawa menyandarkan separuh tubuhnya di bibir sumur dan wajahnya segera terefleksikan oleh air yang berkilau-kilau. Dilihatnyalah wajah wanita cantik didasar sumur itu. Dan dengan segera, Hawa pun meraih apel dan memakannya.
Konon masih menurut kisah turun temurun ini, surga akan diperjanjikan bagi mereka yang mampu mengenali refleksi dari dirinya sendiri dan yang tak memiliki ketakutan atas apapun yang dipercayainya.
Iya dech, lebih bagus mbahas yang menenteramkan dan lebih jelas membahagiakan hati aja, seperti kata Gus Dur “gitu aja kok repot?!” , whue…e..e..e…e
Bagus ceritanya…sekalian numpang ijin aku kirimkan ke beberapa temenku…..met mengenali refleksi diri..semoga surga menjadi bagianmu..