Suasana politik semakin meresahkan saja. Atmosfer di Jawa Timur maupun Jakarta sama panasnya.
Aku heran … apakah setiap pergantian presiden kita harus selalu seperti ini?
“Kasian bangsa yang mengelu-elukan penguasa baru, tetapi mengolok-olok ketika tiba saat berpamitan….” (Sepenggal catatan di harianku yang lalu)
Mengapa hal seperti ini harus dibudayakan, atau justru inilah budaya politik kita ?
Kejadian ini sedikit mirip dengan sejarah kerajaan Singasari ( 1222-1292) yang didirikan oleh Ken Arok dengan menyatukan Kediri dan Tumapel setelah dia terlebih dahulu membunuh Tunggul Ametung yang akuwu di Tumapel, dan mengawini Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang saat itu tengah mengandung Anusapati.
Pemerintahan Ken Arok hanya bertahan sekitar 5 tahun, dia dibunuh oleh anak tirinya Anusapati yg kemudian naik tahta. Anusapati sendiri akhirnya dibunuh oleh Tohjaya adik tirinya, anak Ken Arok dengan Ken Umang.
Dan seperti kejadian sebelumnya Tohjaya berhasil digulingkan dan terbunuh dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Ranggawuni dan Mahisa Campaka. Ranggawuni adalah anak Anusapati sedangkan Mahisa Campaka adalah anak Mahisa Wongateleng yang adalah anak hasil perkawinan dari Ken Arok dan Ken Dedes.
Aku tak ingin bangsaku bernasib sama tragisnya dengan awal berdirinya Kerajaan Singasari, apakah ini baru permulaan seperti juga Singasari yang menjadi cikal bakal Kerajaan Majapahit yang dianggap sebagai masa keemasan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada jaman dahulu ? Semuanya memang berpusat pada satu kata “proses“.
Dan … satu lagi yang aku ingin ungkapkan, kemaren sore aku sedih setelah mendengar kabar Pak Yusril akan di ganti (Pak Yusril saya masih memakai istilah Pak Dur ketika meminta Anda untuk berhenti).