Kampung Limbong

Kami bermalam di Kampung Limbong. Dan kebetulan sekali aku tidur di rumah Ibu Limbong, salah satu sesepuh di kampung ini. Tongkonan di kampung ini berjumlah kurang lebih 11 buah, yang dapat berarti juga jumlah keluarga di kampung yang tampak hidup ini. Banyak anak-anak kecil pun muda dan tua, mereka satu keluarga besar. Ketika kami sampai, mereka segera mengerubungi kami, bergerombol, seolah-olah kami ini tontonan.

Ibu Limbong tinggal bersama cucunya. Anak-anaknya pergi merantau, mengadu nasib di daerah lain. Anak pertamanya di Papua, yang kedua di Kalimantan dan satu lagi di Rantepao. Suami Bu Limbong sudah meninggal lima tahun lalu. Buru-buru aku tanyakan apakah ada mayat disimpan di dalam rumah. Esmee seorang rekan trekking mengatakan,” I just feel strange if I sleep in the house where the death body is kept” kalau aku… entahlah … tak terbayangkan.

Sore itu suguhan kopi panas sudah siap di meja. Toraja adalah sorganya kopi, sorgaku juga yg penikmat kopi tubruk. Kokokan ayam segera terdengar disela-sela keheningan kami yang sedang menikmati aroma dan rasa kopi robusta. Salah satu dari kami nyeletuk, “Wah, makan malam kita tuh”. Setelah meneguk dua gelas kopi, aku menyelinap ke dapur yang letaknya terpisah dari tongkonan, rumah induknya. Dapur dan ruang makan jadi satu disana. Meskipun ada kompor minyak tanah, Ibu Limbong lebih suka menggunakan tungku kayu. Selain murah, kayu lebih mudah didapatkan. Cucu-cucu Bu Limbong biasanya mencarikan kayu bakar untuknya dengan upah beberapa batang rokok. Sesaat aku menengok ke panci besar atas tungku, mmm ayam yang kudengar tadi rupanya sudah menjadi gulai.

Di luar dapur kudengar bunyi kletak-kletok, seperti palu dipukul. Orang-orang sedang menumbuk padi rupanya. Tempat tumbukan pertama mereka gunakan untuk memisahkan padi dari batangnya, tempat tumbukan berikutnya dipakai untuk melepaskan beras dari cangkangnya. Beberapa saat kemudian, beras sudah siap untuk dimasak.

Hari mulai gelap, dan dinginnya udara gunung mulai terasa. Aku memilih cepat-cepat mandi, menyadari bahwa temperatur akan cepat sekali drop kala malam menjelang. Sebuah kamar mandi sederhana dilengkapi dengan kakus dan bak yang dipenuhi dari air gunung yang mengalir melalui bambu dan slang plastik memberiku suasana lain. Airnya cukup menyengat, dingin merasup tulang.

Makan malam siap pukul tujuh malam. Kami keluar dari tongkonan menuju ruang makan. Hidangan telah tertata di atas meja. Dua buah bangku kayu panjang menyertai sisi kanan dan kiri meja. Nasi panas, gulai ayam, mie rebus dan sambal yang .. wow pedas sekali… sudah siap disantap.

Usai makan malam, kami bercakap-cakap di teras depan di bawah tongkonan. Lampu petromaks menemani kami. Anak-anak dan pemuda kampung masih mengerumuni kami. Aku menanyai dimana mereka bersekolah. Mereka yang masih SD, tak perlu berjalan jauh. Sekolah mereka hanya berjarak dua kampung sesudah Kampung Limbong. Sedangkan yang SMP harus berjalan menuruni dan menaiki bukit sejauh 2 kilo meter. Tak heran kalau mereka berangkat ke sekolah pagi sekali. Namun yang SMA dan STM harus ke Rantepao. Mereka biasanya kost atau tinggal di rumah saudara.

Percakapan mulai hangat dan merekapun mulai bercerita tentang lingkungan kampungnya. Konon ada satu orang ibu yang berasal dari Solo, dia menikah dengan orang Kampung Limbong. Salah seorang dari pemuda itu menawariku untuk bertandang ke rumah si ibu ini, tapi karena sudah malam aku menolaknya. Merekapun mulai menggosip tentang tetangga persis disebelah timur Tongkonan Bu Limbong. Ceritanya seru … tapi off the record lah!

Kelam malam mulai merambah desa, satu persatu manusia mulai lelap tersihir dalam tidurnya. Bintang dan bulan menemani ketenangan Kampung Limbong. Akupun terlelap dalam buaian malam.

4 thoughts on “Kampung Limbong”

  1. Hai… Kampung Limbong ada juga lo di Sumatera Utara, disana juga banyak tempat yang bagus buat di kunjungi…. Seru lo…

  2. Saya lahir di kampung Limbong(Sumatera Utara), dan bermarga Limbong, dan memang mayoritas penduduknya adalah keturunan Marga Limbong, Barangkali ada hubungan sejarah dengan kampung limbong yang Toraja, jadi penasaran, mudah2 aku sempat menyusuri kampung limbong yang di Toraja,

  3. Salam Sejahtera dalam nama YESUS bagi saudaraku di sulsel sana Kita memang satu keturunan OPung Boru Limbong Mulana berasal dari sulsel Namanya OPung TABIO (Bidadari Tuhan yang Menjelma menjaadi Maanusia Dahulu kala Opung boru diutus Tuhan ke Limbong Tapanuli menjadi Istri dari Limbong Mulana tetapi pada saatOpung boru sampai di limbong tapanuli wujutnya maaf kata berupa Ular hijau tetapi sebelumnya Limbong Mulana sudah Berjanji dengan Yang Maha Kuasa apabila mereka kawin wujut Opung Boru akan menjadi manusia karena Bapa Limbong Mulana melihat mantunya berupa ular hijau akhirnya dia berdoa kepaada yang Maha kuasa ,dan turun HUJan dan sinar matahari maka semua tanaman di limbong HANGUS .Terus OPung TAbio bilang buat apa tinggaldi sini tidak ada tumbuh apa apa akhirnya Tabio beserta Putrinya ULINA LANGGE Kembali keLIMBONG TORAJA TorajaArtinya ITo jadi Raja suaminya Pendi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *