Menyusuri Kampung Toraja

Agenda perjalanan kami selama dua hari kedepan adalah trekking. Menyusuri perbukitan dan kampung-kampung pedalaman Toraja adalah salah satu impianku. Perjalanan kami mulai pukul 09.30 waktu Rantepao, setelah semua perbekalan dan logistik siap dibawa. Point awal trekking adalah Kampung Ke’pe’ , sebuah kampung di atas perbukitan Toraja. Perjalanan dari Rantepao ke kampung ini kami tempuh dengan menggunakan Pete-pete (baca:angkutan pedesaan). Ke’pe’ adalah tujuan akhir angkutan ini. Jalan menuju Ke’pe’, meskipun beraspal namun cukup sempit. Kebun kopi dan coklat menghiasi pemandangan kanan kiri kami. Lembah yang hijau dan gunung batu yang kokoh.

Sekitar pukul 11.15 kami sampai di point awal kami, Kampung Ke’pe’. Perjalanan awal sedikit menurun, ada sebuah SD disana. Anak-anak sedang berlatih baris berbaris. Tipikal anak sekolah di Indonesia menjelang 17 Agustus. Di halaman sekolah kulihat menhir-menhir yang berukuran kecil. Aku masih penasaran kenapa menhir-menhir itu diletakkan di sana. Kami terus berjalan melewati pematang sawah. Aku harus konsentrasi kalau tidak ingin terperosok ke sawah, sambil sesekali berhenti dan menikmati suasana sekitar. Kudengar diujung sana orang berteriak, seperti siulan. Dan tiba-tiba Mas Agus berteriak juga. Rupanya teriakan itu ciri khas orang sini. Teriakan ini menandakan bahwa mereka orang Toraja, jadi dimanapun mereka berada mereka dapat saling mengenali lewat teriakan itu.

Kampung pertama yang kami singgahi adalah Kampung Poya. Anak-anak SMP yang pemalu kami jumpai di pintu masuk kampung yang cukup menanjak. Tenaga terkuras. Memasuki kampung, salakan anjing yang menyambut kami. Kampung ini cukup sepi. Mengingatkanku pada kampung-kampung Badui. Tongkonan-tongkonan kosong karena penghuninya sedang pergi ke sawah. Kami beristirahat di bawah ricebarn didepan sebuah Tongkonan. Konon kalau ada pesta hanya orang-orang penting saja yang bisa duduk disini. Tiba-tiba aku merasa VIP banget J. Semua Tongkonan menghadap ke utara dan ricebarn berada didepannya. Pejalanan kami teruskan hingga disuatu kampung kecil. Hey ada nenek tua yang sedang membuat tikar. Melihat kerutan diwajahnya, dia mungkin berumur diatas 90-an. Sesekali aku berteriak ’Tabe’ (baca:permisi) kalau aku berpapasan dengan penduduk Toraja.

Selepas kampung ini, kami harus menaiki tebing batu yang cukup tinggi. Aku bersyukur tasku tidak terlalu berat, namun dengan kamera SLR yang tergantung dileher, perjalananku menjadi lumayan berat. Aku cukup berhati-hati dengan asset berhargaku ini. Dari puncak bukit kulihat lembah-lembah curam, dan hutan yang hijau pekat mendominasi pemandangan sekelilingku. Konon Mas Agus yang menjadi penunjuk jalan pernah tersesat di hutan ketika ingin mencapai satu kampung. Ah semoga kami tidak tersesat. Beberapa anggrek hutan kami temui diantara ranting-ranting pohon. Andai Papaku ada disitu, pasti sudah kutulis nama angrek itu disini. Mas Agus menyodoriku akar rumput, baunya … mmm … seperti minyak tawon. Lalu dia menyodori akar tanaman perdu lain yang baunya seperti bau balsam gosok. Kami terus berjalan sampai kami temui sebuah batu besar. Kami berhenti sejenak, diantara kami ada pecinta panjat tebing, sesaat dia mendemonstrasikan cara memanjat tebing. Aku tidak berminat mencobanya.

Bambu-bambu yang disambung dengan slang karet menjadi pemandangan kami memasuki suatu desa, aku lupa namanya. Rupanya ini cara mereka memperoleh air bersih. Tak tampak olehku proyek pemerintah yang berbantuan luar negeri disini. Nyaris tak tersentuh. Sepertinya orang-orang disini sedang membuat akses untuk jalan mobil. Bukit-bukit diterjang, pohon ditebang dan batupun dipapras. Hatiku miris.

Menjelang pukul 14.00 kami istirahat untuk makan siang. Tampak didepanku Kampung Bamba. Kulihat anak-anak kecil yang salah satunya bernama Lisa mendekati kami. Hanya kue-kue kecil yang bisa kami bagikan. Merekapun mengiring kami memasuki kampungnya dan mengantar kami dengan lambaian tangan. Anak-anak yang manis. Pejalanan setelah itu tidak terlalu berat, dan cenderung menurun, petak-petak sawah nampak indah diselingi kurugan, kolam kecil ditengah-tengah sawah. Sebuah lubang dengan kedalaman 1.5 meter berada diantara rumpun padi dan orang disini menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan, ’ikan gunung’ kata Mas Agus.

“Sebentar lagi kita sampai” kata Mas Agus, memberi kami semangat. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Ketika memasuki suatu kampung, aku bertanya, “Kita bermalam di kampung ini ya Mas?” Ah rupanya kami masih harus melalui satu kampung lagi, sebelum memasuki kampung tempat kami bermalam. Meninggalkan kampung itu, kami melihat banyak orang sedang mengerjakan sawahnya. Obyek menarik untuk difoto. Mas Agus segera menunjuk ke arah Kampung Limbong dimana kami akan bermalam. Semangat kembali membara. Memasuki kampung Limbong hari telah sore. Kakipun ingin segera beristirahat.

6 thoughts on “Menyusuri Kampung Toraja”

  1. Hmmm, rupanya kamu pigi kesini mi!!!Kamu rupanya sudah jalan kesini lebih duluan ya, sebulan berikutnya aku menyusul ke toraja untuk beberapa tahun disini, dimutasi kesini maksudnya. Memang disini sangat eksotis wisatanya seperti apa yg U gambarkan, gak taulah kalo mendiami disini untuk beberapa tahun, tapi kurasa bagus web ini! thanx

  2. Coba kalo daku tau dikau akan dimutasi ke Makale sebulan kemudian. Jalan-jalannya akan kutunda sebulan. Btw, sate ayam di depan kolam di alun-alun enak loh. Cobain deh!

  3. Wow perjalanan yang menyenangkan yach….saya sebagai orang toraja asli rasa2nya pengen pulang kampung deh…but webnya bagus kalem abbbiiiiiiiiiis….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *