Pagi ini kami pergi rafting di Sungai Ma’iting. Dari meeting point di Rantepao, kami beranjak ke Desa Ma’dong. Awal perjalanan, cukup mulus, karena aspal masih melapisi jalan. Ketika jalan mulai menanjak dan menyempit, mobil tak lagi berjalan mulus, perut serasa di kocok. Tapi pemandangan di kanan kiri kami seolah mengobati segalanya. Tampak dikejauhan ujung-ujung atap rumah yang meruncing, lembah-lembah hijau dan kuning, karena rupanya bulan ini adalah musim panen padi. Jarangnya angkutan di area ini menyebabnya banyaknya penduduk yang ikut menumpang di atas truk-truk pengangkut hasil bumi. Sesekali mobil kami berhenti karena berpapasan dengan mobil lainnya. Dari Rantepao ke Desa Ma’dong kami tempuh dalam waktu kurang lebih 1,5 jam. Kami turun dan mempersiapkan perbekalan. Life vest dan pedal dibagikan, barang-barang berhargapun telah kumasukkan kedalam kantung tahan air, kecuali kamera yang masih bergelantungan di leherku.
Perjalanan dari Desa Ma’dong menuju sungai Ma’iting memakan waktu kurang lebih satu jam. Sesekali kami berhenti untuk menarik napas dan menikmati aliran air putih ditenggorokan kami. Turunannya yang tajam membuat kami sesekali terpeleset. Aku jadi ingat tanjakan cinta di pedalaman Badui, saat itu San San, sang pemuda Badui menggandengku agar aku tidak terjatuh .
Sampai di poit pemberangkatan sudah pukul 11.30an. Mas Agus segera menjelaskan aturan mainnya dalam 3 bahasa, Indonesia, Inggris dan Perancis. Mas Agus sendiri yang jadi kapten di rubber boat kami. Berhubung kami disini adalah warga internasional, instruksi terpaksa dilakukan dalam Bahasa Inggris. “…Forward paddle, back paddle, left back right forward ….”. Awalnya rada kikuk tapi setelah beberapa menit berlalu, aku mulai menikmatinya. It’s fun, it’s really fun. Level air di sepanjang aliran sungai yang berkurang karena musim kemarau membuat rubber boat kami beberapa kali stuck di atas batu. Aku harus pindah tempat beberapa kali.
Sepanjang aliran sungai kudengar kicauan burung. Sesekali iguana kecil dan besar menampakkan diri. Ketika kutengadahkan kepalaku ke atas, langit tampak biru jernih, pohon pinus menghijau, tebing-tebing meninggi, aku merasa kecil diantara semesta yang mengagumkan ini. Beberapa air terjun kecil kami lewati. Sambil mendayung, Mas Agus menceritakan pengalamannya ikut lomba rafting tingkat nasional. Suasana siang yang menyenangkan. Tak terasa sinar matahari membakar kulitku.
Kira-kira pukul 13.30 kami tiba ditempat peristirahatan. Arus sungai mulai tenang, rubber boat kami tambatkan, dan makan siangpun tersedia. Setelah beberapa saat beristirahan, perjalananpun kami lanjutkan. Ketika sungai mulai menyempit dan bebatuan besar memenuhi sungai, arus sungai menjadi besar dan liar. Kadang kami pasrah mengikuti arus, tapi kadang pula kami melawannya dengan mendayung melawan arus. Sesaat kemudian terlihat jembatan kayu yng sudah tua yang ditengah-tengahnya dibuat seperti rumah dengan atap pelindung, typical jembatan di kampung-kampung pedalaman Toraja.
Satu jam sesudahnya, sampailah kami di batu uji nyali. Kusebut demikian karena fungsinya untuk menguji nyali para rafter. Sebuah batu besar setinggi kurang lebih 4 meter yang tegak di atas sungai dengan kedalaman 3 meter. Ini hampir mirip dengan batu jamur di Green Canyon, Ciamis. Awalnya kupikir aku berani terjun dari ketinggian itu, tapi nyaliku tiba-tiba menciut, ketika aku berada tepat di atas batu. Rekan-rekan di bawah mulai meneriakiku. Aku diam sejenak. Aku satu-satunya wanita yang melakukan ini, jadi kupikir aku tidak harus melakukannya seperti rekan wanita lain di bawah sana. Sesaat ketika memikirkan hal itu, aku telah mendapati diriku berenang kepinggiran sungai. Rasanya … lega sekali.
Melewati pukul 4 sore sungai tampak melebar, tebing-tebing semakin rendah dan kulihat lembu-lembu berendam disungai. Kira-kira pukul 16.30 kami menyudahi perjalanan kami. Desa Tapperen adalah tujuan akhir rafting kami. Kalau dihitung, perjalanan sepanjang sungai dari Desa Ma’dong ke Desa Tapperen telah menempuh jarak sejauh 18 km. Sungguh pengalaman yang menyenangkan.