Dengan mata masih mengantuk, kami pergi juga ke Marante, berbekal kertas kecil bergambar peta, sisa-sisa kertas promo Wisma Sella yang kini tak lagi beroperasi. Dari Rantepao kami naik angkot ke Pasar Bolu dengan tarif Rp 2 000 jauh dekat. Dari Pasar Bolu ke Marante jaraknya tidak terlalu jauh, Pak Sopir angkot menawari kami untuk mengantarkan dengan tambahan biaya Rp 10.000 saja. Mengingat tak banyak ojeg ke arah Marante dan angkutan menuju kesana jarang sekali, kami mengiyakan saja tawaran Bapak ini. Sepanjang perjalanan ini, Pak Sopir bercerita tentang mayat bapaknya yang sudah 10 tahun disimpan dirumah karena masih belum punya uang untuk memestakan. Di Marante kami melihat tebing batu yang kalau dilihat dari kejauhan mirip sekali dengan tebing di Jungfrau Joch – Swiss. Hanya saja tidak ada air terjun disela-sela tebing batu ini.
Pak Sopir segera menurunkan kami disisi tebing, setelah melewati deretan tongkonan di sebelah kiri kami. Seorang anak yang mengaku kelas 2 SMP segera menyapaku dan menunjukkan sebuah sungai besar tempat anak-anak bermain. Ada jembatan gantung disana, cukup tua sepertinya. Rangkanya terbuat dari besi kokoh dengan pijakan kayu yang beberapa sudah lapuk Agak ngeri berjalan di atasnya, karena goyangannya sangat terasa. Ternyata ini adalah Sungai Sa’adan. Anak-anak kecil lainnyapun menyambut kami, minggu siang itu. Setelah melihat deretan Tongkonan di dekat pintu masuk kampung, kamipun melanjutkan perjalanan kami, berjalan kaki menyusuri sungai Sa’adan.
Nov aku gak tau harus coment bagaimana tentang anda, tapi yang pasti anda bakat bangat jadi wartawan….