Group kami yang mixed kewarganegaraan kebagian tugas menganalisa kasus Disney dalam perspektif manajemen strategi. Kami cukup excited berbagi pendapat hingga seseorang datang menghentikan diskusi kami karena waktu telah usai. Kami sepaham tentang Michael Eisner yang kami anggap saat itu sebagai ‘evil’. Well here it is the short story:
Cerita ini diawali oleh Walt dan Roy yang – setelah kartun kreasinya ‘Oswald the Lucky Rabbit’ dibajak – menjadi pusat perhatian dunia karena karakter yang diciptakannya Mikey Mouse. Menyusul sukses sebelumnya, lahirlah Goofy dan Donald Duck yang kemudian menjadi kontributor penting bagi keuangan Disney Brothers Studio. Full-length animation films menjadi target selanjutnya dengan diproduksinya Snow White and the Seven Dwarfs (1937), Pinocchio (1940) dan Bambi (1942). Market intuitive-nya membawa Disney kepada bisnis merchandising. Baju, pencil dan kaleng soda dengan karakter Disney mulai dijual dipasaran. Dan sempat pula jump into produksi program TV dan video musik. Di tahun 1955, Disneyland a ‘Magical Kingdom’ berhasil dibangun di Anaheim California. Impian Walt-pun menjadi kenyataan. 11 tahun kemudian Walt meninggal. Namun Roy melanjutkan impian ini dengan membangun Disney World di Orlando, yang pembangunannya selesai sesaat sebelum Roy meninggal di tahun 1971. Namun kreatifitas duo bersaudara ini sepertinya menguap sesaat setelah Jungle Book-Proyek terakhir Walt- direalease di tahun 1967. Sejak tahun itu hingga 1983 Disney studio sepertinya vakum. Hanya 4% penikmat film Amerika yang menonton Disney Picture. Penjualan merchandise menurun tajam. Dan pada saat yang bersamaan, Disney channel di release, namun antusiasme penonton tidak lagi mendominasi. Menambah beban keuangan Disney. Dan akhirnya disewalah new management team di tahun 1984, yang terdiri atas Michael Eisner sebagai Chief Executive Officer dan Frank Wells Chief Operational Officer. Eisner sebenarnya cukup berpengalaman dan bisa dibilang sebagai tokoh sukses dibalik film Saturday Night Fever, Grease, the Star Trek, Raiders of the Lost Ark, and Beverly Hills Cop, serta TV shows seperti Happy Days, Laverne and Shirley, Cheers and Family Ties pada saat dia menjabat sebagai president sekaligus COO di Paramount Pictures. Dia seorang yang passionate, creative dan hands-on, cenderung melihat sesuatu secara detail termasuk terlibat dalam pembacaan script dan pemilihan konstum pemain. Kebalikannya, Frank Wells yang mantan vice chairman Warner Brothers adalah seseorang dengan perencanaan yang operasional ketimbang sekedar mengandalkan kreatifitas dan seseorang dengan kemampuan me-manage people skills. Eisner dan Wells adalah pasangan yang serasi dan saling menutupi kekurangan masing-masing dalam manajemen. Mereka bersinergi sampai saat kematian Wells, akibat kecelakaan helicopter. Ditangan mereka, Disney terselamatkan dari kehancuran. Dengan dana terbatas mereka mulai memproduksi film, dengan anggaran murah dan segmen pasar anak-anak muda, seperti Good Morning Vietnam dan Down and Out in Beverly Hills. Kemudian film seperti Pretty Woman dan Pulp Fiction yang merupakan hasil produksi Miramax sebuah avant garde movie studio yang telah dibeli oleh Disney pada tahun 1993, menjadi saksi kesuksesan Disney Manajemen. Lalu film animasi yang merupakan core business di awal lahirnya karakter-karakter Disney, mulai diproduksi dan mencapai sukses. Diantaranya The Little Mermaid, Beauty and the Beast, Aladdin and the Lion King.
Namun ternyata diantara kesuksesan-kesuksesan tersebut, Disney Management menyimpan bomb yang suatu saat bisa menghancurkan perusahaan termasuk para share holder. Dalam issue Strategic thinking, Disney management lebih kepada proses kreatif (intuitive) ketimbang logic. Eisner adalah sosok yang intuitif dan teramat dominan dalam manajemen sepeninggal Wells di tahun 1994. Hal ini terbawa dalam manajemen Disney.
Dalam International context, manajemen lebih dominan kepada globalization strategy ketimbang local strategy. Hal ini terlihat pada saat keputusan manajemen untuk meng-copy sukses Tokyo Disneyland dan membangun Euro Disney di Perancis tanpa melihat bagaimana behaviour pasar eropa. Mereka beranggapan bahwa Disneyland di Amerika, Jepang pun Eropa mestinya sama. Tapi nyatanya, para pengunjung Tokyo Disneyland sangat mengapresiasi replica tokoh-tokoh Disney , sedangkan pengunjung Euro Disney memiliki taste yang berbeda. Dan memerlukan waktu beberapa tahun bagi manajemen untuk mulai mengadaptasi Euro Disney kepada taste pasar Eropa. Hasilnya, significant losses during the period. Hal ini juga menjadi bukti pula bahwa dari konteks organization purposes, Disney lebih condong kepada strategi untuk meraup keuntungan (profitability) namun less responsibility. Mereka tidak melihat bahwa market sama sekali tidak mengapresiasi. Dalam human resource management, strategi profitability ini nampak jelas dilihat dari manajemen Eisner yang cenderung mencekoki anggota manajemen dengan ide-ide kreatifnya demi profitability tanpa memberi mereka otonomi dan kesempatan untuk bermanuver. Hasilnya, para executives di Disney manajemen hengkang sebagai akibat overbearing presence-nya. Anehnya Eisner malah melihat hal ini sebaliknya. Dalam beberapa wawancara dia menyebutkan,“I’ve never had a problem with anybody who was truly talented. This autonomy crap? That means you’re off working alone. If you want autonomy, be a poet.“ Beberapa majalah bereaksi dengan menuliskan, “… but with Wells gone, no one was there to repair damaged egos and sooth hurt feelings.” Eisner lebih mengejar profit ketimbang membuat sinerni dengan para anggota manajemen dan membuat mereka happy. The management was simply less responsible to its staff. So demi profitability, management mengacuhkan market, mengacuhkan pula karyawan.Jelas sekali dalam Organizational Context, Disney Management lebih menitikberatkan kepada strategy control, berlebihan malah.
Kembali kepada konteks profitability versus responsibility, manajemen terlalu berambisius dalam keputusannya membeli ABC TV network, ABC Radio Network dan 80% saham ESPN. Entah apakah keputusan ini didasari kecintaan Eisner kepada ABC network tempatnya dulu bekerja sebagai daytime programmer. Namun bagiku, sebagai seorang business man, dia akan berpikir strategic ketimbang alasan-alasan yang irrasional. Keputusan tersebut diatas membuat shareholder kurang comfortable dan berakibat pada pertumbuhan income perusahaan yang memburuk. Dalam Corporate level strategy beberapa kali managemen terlihat lebih ber- synergy ketimbang responsiveness. Hal ini bisa dilihat pada saat Disney men-subcontract-kan pembuatan film animasi seperti Toy Story dan Lilo and Stitch kepada Pixar yang merupakan independent studio yang bergerak dibidang computer-generated animasi. Namun kemudian hal ini justru dipertanyakan mengingat core business Disney adalah film animasi, namun Disney tidak memiliki expertise di bidang ini. Sehingga pertanyaan berikutnya, perlukah managemen reconsider to apply responsiveness organization dengan men-develop in-house capability, ketimbang men-outsourcing-kan.Well… hampir semua film animasi produksi Disney pernah kutonton namun baru kali ini aku membahas manajemen di dalamnya. It is always easy to say but when you go into the real situation everything will be different. Lebih enak berbicara dan mendiskusikan masalah ini sambil duduk-duduk dirumput dengan terpaan sinar matahari yang hangat dan menikmati sandwich tuna, ketimbang berada di kursi manajemen dan harus memutuskan sesuatu.