“Mereka yang berkabung sesungguhnya sakit. Tapi karena kondisi ini dianggap lumrah dan terlihat sangat wajar,maka kita tidak menyebutnya sebagai penyakit “, Mourning and its relation to manic-Depressive state.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggugah kenangan lama yang tidak mengenakkan. Sorry for this Gre. I know you’re stronger than you think. Akupun pernah merasakannya.
Aku cuma ingin me-rewrite arti kehilangan bagi Joan Didion dalam bukunya ‘The Year of Magical Thinking“. Alih alih mempersiapkan materi untuk perjalanan keluar kota minggu ini,aku terjebak menelusuri buku ini.
Kisah nyata kehidupan Joan Didion yang dituliskan secara personal, sambil sesekali mengutip hasil riset tentang depresi paska kepergian seseorang dalam hidup manusia dan tentang justifikasi2 dibalik keinginan kita untuk menghadirkan kembali sosok yang telah pergi itu.
Mengutip beberapa hasil riset, mungkin akan lebih menarik dari pada menulis kembali perasaan-perasaan Joan yang pasti akan membuat hati miris. Menggambarkan perasaannya disini membuat kita malah jadi sedih.
Riset itu misalnya, hasil penelitian J. William Wroden dari Harvard Child Bereavement Study yang mengungkapkan bahwa lumba-lumba melakukan mogok makan setelah kematian pasangannya. Angsa akan terbang dan memanggil-manggil,terus mencari hingga mereka kacau dan tersesat. Respon manusia, hampir serupa. Mereka mencari, menolak makan, lupa bernafas dan menjadi lemas. Mereka menyumbat saluran hidung dengan air mata yang tak tercurah yang mengakibatkan mereka harus berakhir di klinik THT. Kemampuan kognitif mereka tiba-tiba lenyap. Bahkan tingkat mortalitas efek kepedihan mendalam menunjukkan angka cukup significant. Hasil riset Institute of Medicine tahun 84 ini mengungkapkan bahwa perasaan duka kerap kali mengarah pada perubahan sistem endokrin yakni faktor hormonal yang terkait dengan sekresi internal, sistem kekebalan hingga kardiovaskuler. Nah, ini efek yang mematikan.
Disini dijelaskan adanya 2 jenis dukacita: dukacita tidak kompleks atau perkabungan normal dan dukacita yang kompleks atau perkabungan patologis. Mungkin yang pernah kurasakan hanyalah perkabungan nomal yang tidak mengakibatkan depresi secara klinis. Perkabungan patologis terjadi dalam hal kematian harus memisahkan perikatan dengan ketergantungan luar biasa.
Untuk mengatasi perkabungan yang bersifat patologis ini, menurut E.Bibring dalam Psychoanalysis and the Dynamic Psychotherapies, perlu abreaction atau pelepasan impuls-impuls yang tertahan.
Pada dasarnya kita menyimpan kenangan jauh dari dalam diri kita atas orang-orang yang kita cintai. Dan pada saat kematian itu harus memisahkan kita dari mereka, reaksi yang timbul membuat kita mampu melepas kenangan-kenangan terdalam sekalipun yang kita sangka telah lama hilang tersapu waktu.
Freud dalam Mourning and Melancholia menegasi bahwa dukacita mengakibatkan perubahan besar, namun tetap unik diantara disorder-disorder yang lain. Menurutnya, jarang sekali kita menggolongkan kedukaan sebagai kondisi patologis, dengan alas an yang sudah dikemukakan di paragraph awal. Kita justru berpikir bahwa kondisi ini akan hilang seiring waktu berlalu dan intervensi dalam bentuk apapun akan sia-sia. Namun nyatanya, kedukaan bisa bereaksi lebih jauh, bersifat tidak terbatas, dan tidak temporer.
Joan Didion telah kehilangan suami yang sangat dicintainya. Ingin tau kisah selanjutnya silahkan baca sendiri bukunya.
sangat relatif dan sangat tergantung bagaimana menyikapinya
jadi inget ajaran Tao, yang kuhapal betul-betul. tentang kehilangan itu…