Sesaat di Pulau Sempu

Pulau Sempu

Itinerary dadakan kembali tercipta. Hanya demi memuaskan keingintahuan kami akan geografi negeri yang diberkati dengan keindahan tiada tara ini, Sabtu lalu kami melakukan soft trekking ke Pulau Sempu.

Pulau Sempu terlintas begitu saja di sela-sela pembicaraan santai dengan partner trekking. Idenya untuk ke kota Malang weekend kemaren segera kusambut dan kueksekusi seusai meeting di Mataram.

Pulau yang terletak di selatan pulau Jawa ini merupakan cagar alam dan bukan tempat wisata. Dengan jarak kurang lebih 70 km dari kota Malang dan jalan yang meliak liuk namun cukup mulus, pulau ini dapat ditempuh dalam waktu 2 jam. Melakukan perjalanan pagi tentu saja disarankan, karena Kamu tak harus berbagi jalan yang sempit dengan truk truk besar pengangkut tebu. Peta Jawa Timur yang kami persiapkanpun nampak masih terlipat rapi tak tersentuh, mengingat rambu-rambu dari Kota Malang menuju lokasi yang cukup jelas dan sangat membantu. Dengan Rute Surabaya – Malang – Turen – Sitiarjo dan berakhir di Pantai Sendang Biru, membuat perjalanan pagi itu selain menyenangkan juga melelahkan. Namun kesegaran paduan warna hijau, biru dan dibumbui bau khas laut, segera memusnahkan kepenatan kami.

Sebagai kawasan konservasi, Pulau ini semestinya tidak sembarangan menerima pengunjung. Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh ulah-ulah pengunjung yang tidak bertanggung jawab bisa mengganggu program konservasi satwa, pun tumbuhan endemik di pulau ini. Tak heran bila memasuki Pulau ini, surat ijin mesti dikantongi, atau setidaknya kulonuwun dengan yang punya rumah.

Setelah memegang dua nama “Pak Tikno dan Pak Tiksan” yang rupanya sering di kunjungi oleh rekan-rekan Papa dari Kebun Raya Purwodadi, kamipun segera menuju ke lokasi. Pak Tikno yang cukup permisif dan tak berbelit-belit segera menjelaskan peraturan yang mesti ditaati.

Dengan jarak tempuh dari Pantai Sendang Biru ke Pulau Sempu yang hanya memakan waktu 10 menit dan biaya sewa kapal nelayan untuk antar jemput sebesar 70 ribu, sampailah kami di sisi utara Pulau Sempu. Hutan mangrove-pun segera menyambut kami. Sesaat oksigen yang terhirup berubah menjadi euphoria yang meletup-letup.

Memasuki kawasan hutan, Trachypithecus auratus, Si Lutung Jawa nan hitam legam menampakkan diri di antara pohon-pohon tinggi, seolah mengingatkan kami, bahwa hutan bukanlah tempat yang pas untuk malam mingguan. Kamipun bertatapan dan saling tersenyum. Lihatlah, betapa alam disekitar kitapun tak hanya menawarkan keindahan, kebahagiaanpun tersajikan didepan mata.

Perjalanan menuju Danau Segara Anakan yang merupakan laguna, menempuh waktu kurang lebih satu jam, jarak yang hanya 1,8 km itu cukup moderate untuk dijalani. Malah menurutku termasuk dalam kategori ringan, apalagi kalau kamu memiliki partner trekking yang pas.

Suara burung pun suara gesekan aktifitas semut didalam rumah tanah-nya yang menempel di pohon-pohon besar dan ditimpa suara angin yang menyentuh pucuk-pucuk pohon, mengiringi langkah kami. Harmoni suara yang tercipta takkan tergantikan dengan dentingan piano yang melantunkan komposisi Beethoven-Moonlight Sonata sekalipun. Pulau yang konon menjadi hunian Elang Jawa dan Elang Hitam ini memang menyajikan segalanya. Buceros rhinoceros, Rangkong Badak yang berwarna hitam dengan semburat putih di sekitaran ekornya sempat melintas di atas kami, seolah menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari rantai kehidupan di pulau ini. Konon di Pulau ini juga memiliki sumber air tawar yang sempat dimanfaatkan oleh penduduk disekitar Sendang Biru. Tak heran, macan dan beberapa satwa langkapun pernah tinggal disana.

Pukul 13.30 kami tiba di Segara Anakan. Saat yang kurang tepat untuk memulai sesi photography. Filter CPL segera kupasang demi munculnya warna-warna indah yang takkan dirusak oleh over exposure dari terik matahari. Dengan ISO minimal, mulai kupindahkan keindahan Segara Anakan kedalam keabadian file berformat jpg. Tripodpun ikut mengambil bagian dalam sesi pemotretan ini.

Sore-pun akhirnya merengkuh kami. Segara Anakan sesaat surut, sejalan dengan surutnya euphoria kami yang harus segera pulang ke Malang. Sesekali tampak gelombang besar yang menembus karang-karang bolong, mengalirkan air laut ke dalam Segara Anakan, danau akan terisi kembali, dan sikluspun terawali. Satu jam lagi bibir Pulau Sempu akan terjangkau, 10 menit kemudian Pulau Jawa akan kembali tertapaki, dan 2 jam berikutnya Kota Malang akan kami telusuri.

Sesaat di Pulau Sempu takkan pernah terhapus dari ingatan.

14 thoughts on “Sesaat di Pulau Sempu”

  1. kalau dalam panjat tebing ada istilah “clean climbing dan dirty climbing” kalau ke pantai ada ndak ya nov?

  2. my fav place di malang lho vie.. kalau mau tantangan lagi, bisa menyisir ‘pasir panjang’ 🙂 kapan ke malang lagi?

  3. @Taliguci: Bakaupun sudah menyajikan kesegaran dan keindahan, apalagi pantai dan pasirnya.
    @Vira: Gak ada di kamus Vir. Yang ada, jalan dan jalan terus.
    @Elys: Nanti kalo pulang ke tanah air Jeng.
    @Akang: Sure, next trip Kang.
    @Titik: Memang gak bisa dibandingin sama Karimun ya Tik, tapi Pulau Sempu bagiku juga cukup menarik. Wah pasir panjang sepertinya terlewatkan.
    @Enggar: Tinggal ajak si Aa’ Mbak, kalo pas pulang kampung. Cukup 2 jam.
    @Nova: Eh jangan kesana dulu Mas, ntar ujian penerimaan peg jadi katchau tanpa dikau.

  4. oei oei oei Novi!! kalau posting ‘gituan’ di off. itu artinya postingan itu “AKU BANGET”…jadi nov,,,lagi gelisah malam-malam ya?

  5. @Vira: Itu critanya salah ambil buku Vir ;), maunya nyelesaiin halaman terakhir Brida eh malah yg keambil the Witch of Portobello. Karena critanya sama-sama tentang Witch ya aku terusin aja.

  6. hi,nov…
    mlem ne jg q ma tmen2 mo brangkat lg ksana…
    totally awesome island!!!
    cayman island…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *