Kita bukan malaikat tentu saja, karena ini bukan city of angels. Tapi bagaimana membuat hidup yang singkat ini menjadi berarti, tentu bukan hal yang mudah. Berapa kali kita mesti menyerah hanya karena prasangka yang berkuasa menciutkan niatan kita? Seorang sahabat selalu mengingatkan “Hidup itu untuk memberi dan memberi”.
Beberapa hari lalu ketika seorang teman dekat berkisah tentang kesementaraan dan kesia-siaan, hatiku seakan menyatu dengannya. Memang, jarak antara kehidupan dan kematian sangatlah tipis dan diantaranya terbentang kesementaraan. Dan kala kesementaraan ini hanya kita isi dengan cinta kasih, betapa indahnya dunia. Tapi sekali lagi kita hidup bukan di dunia utopia. Prasangka buruk dan pikiran negatif akan selalu menginisiasi dan menjustifikasi tindakan kita. Alih-alih bertindak hati-hati, kita justru menyakiti hati orang lain. Tentu, nothing is totally wrong, bahkan jam matipun dalam sehari bisa benar dua kali dalam menunjukkan waktu.
Tapi, akankah kita membiarkan prasangka buruk membunuh niatan tulus kita? Aku segera teringat kisah Christina, istri Paulo Coelho tatkala menyaksikan berita di TV yang menayangkan seorang turis gadungan di Rio de Janeiro yang tertangkap polisi akibat ulahnya menipu penduduk lokal, dengan berpura-pura menjadi korban perampokan. Apakah Christina menyesali tindakannya yang telah menolong turis gadungan itu beberapa hari sebelumnya? Nothing can stop us from being ourselves.
Dan di akhir cerita itu, dikisahkanlah seorang Saint di sebuah kota yang selalu mendapat cemooh dari penduduk lokal. Namun yang dia lakukan justru menebar kebaikan dan memberkati mereka. Terusik dengan tindakan Saint ini, salah seorang penduduk itu bertanya, “Mengapa engkau justru membalas perlakuan buruk dan cemooh kami dengan sikap manis dan bahkan kau memberkati kami?”
“Masing-masing kita bisa memberi, hanya dari yang kita miliki”, jawab Saint.
Anyway … masih ingat kisah the Good Samaritans? Tak ada yang sia-sia dalam menjalani hidup. Dan semoga Dia menguatkan kita semua yang ingin belajar menjadi tulus.
Di pemukiman saya lagi trend, pada tanggal tertentu-tertentu, banyak yang menyodor kan sumbangan untuk ini, untuk itu, dengan lokasi di pulau lain.
Ada juga dengan modus berpura-pura tidak bisa pulang ke daerah asal. Beberapa teman merasa ‘tertipu’ karena ada yang sudah mengantar sampai terminal, beberapa hari kemudian muncul di gang lain.
Belum lagi berita-berita di tv atau di surat kabar, pelaku pura-pura kesusahan, atau pura-pura baik hati, tapi ujungnya banyak yang jadi korban kejahatan. Mungkin sudah banyak yang pinter acting, hingga tipis antara kebenaran dan kebohongan. tipis antara niat baik dan modus operandi.
Tapi kalo kita memberi dengan niat dan ikhlas, rasanya nggak ada masalah ya..
Jangan berubah Vi, tetep jadi Novi yang kukenal.
Alkisah, Nasaruddin dicegat seorang lusuh di tengah jalan.
“Anakku sakit keras, Tuan.”
Nasaruddin yang tak pernah kaya itu memberikan seluruh uang di kantungnya ke si orang lusuh itu. Diam sejenak, ia berdoa, berharap sungguh2 agar si anak segera disembuhkan-Nya.
Tak jauh berjalan, seorang teman menegur Nasarudiin.
“Din! Ketipulah kau. Orang itu memang selalu bilang anaknya sakit. Dia memang punya anak. Tapi sehat2 saja tuh!”
Nasaruddin justru berteriak: “Anaknya sehat? Maha suci Tuhanku! Cepat sekali Kau kabulkan doaku.”
Orang2 yang paling beruntung sedunia selalu dianggap aneh dan bodoh 🙂
menurut saya, kesempatan untuk berbuat baik itu susah didapat
jadi jangan sia-siakan jatah itu, walaupun nantinya kebaikan kita jadi berbelok hasilnya
keikhlasan menjadi sesuatu yang langka sekarang ini…
katanya, kenyataan bahwa kita (pada akhirnya) mengetahui bahwa terlalu banyak kebohongan dengan modus ‘menyentuh sisi baik manusia’, lama-kelamaan kita menjadi ‘psikopat’, kehilangan empati terhadap penderitaan orang lain. honestly, saya saat ini agak berkurang empati terhadap peminta-minta di jalan, setelah mengetahui fakta bahwa dari mereka punya rumah ‘gedong’ di desa.
wah… cukup ini menyadarkan diriku Bu… amiiiinnn 🙂
pernah ada laki2 tua, bongkok, minta2 secara rutin di kampung ortuku, kepergok satu hari
bisa jalan dengan tegapnya dan ternyata punya rumah magrong2 di kampungnya, piye jal ? 😛