Sebuah sesi menarik dengan pembicara Andy F Noya terjadi dua minggu lalu dibilangan Cikini. Bertema “Lentera Jiwa”, Andy F Noya berkisah tentang bagaimana menjadi bahagia dalam hidup. Beliau didatangkan untuk sharing sekaligus menjawab beragamnya intepretasi atas tulisan beliau di sini, karena banyak orang mengklaim bahwa tulisan ini telah membuat beberapa perusahaan kehilangan pegawai-pegawai terbaiknya, yang mengikuti kata hati menekuni profesi barunya demi menjadi bahagia.
Setiap orang ingin menjadi bahagia. Aku, kamu, mereka …
Setiap orang memiliki caranya untuk menjadi bahagia. Aku, kamu, mereka …
Sebuah studi menyebutkan 50% sumber kebahagiaan adalah faktor genetik. Studi atas dua orang kembar identik menunjukkan adanya korelasi, sebesar 50%, atas hal-hal yang membuat mereka bahagia, meskipun masing-masing dibesarkan ditempat yang berbeda. 10% faktor berasal dari status sosial ekonomi seseorang, kondisi perkawinan, kesehatan serta faktor-faktor lainnya. Sedangkan 40% sisanya merupakan akibat dari kegiatan-kegiatan yang sengaja dilakukan untuk menjadi bahagia, menekuni hobby misalnya.
Bahagia, sebuah kata utopia yang gampang diucapkan tapi susah diukur secara kuantitatif. Koq? Coba kita bayangkan sebuah alat pengukur kebahagiaan yang setiap moment bahagia, alat ini akan menunjuk pada satu angka tertentu. Sangat mustahil bukan? Mungkin alat-alat ini harus menempel di kepala kita sehingga alat ini mampu mendeteksi aktifitas kelenjar pineal, dan tingkat hormon endophine yang dihasilkan. Terlalu berlebihan 🙂.
Mengukur bahagia secara kuantitatif sebenarnya bukan hal baru bagi negara Bhutan, sebuah negara yang berbatasan langsung dengan RRC dan India. Gross National Happiness merupakan upaya pengukuran kualitas hidup, yang menunjukkan komitmen Jigme Singye Wangchuck – Raja Bhutan periode 1972-2006 yang menginisiasi indikator ini – untuk membangun perekonomian dengan tetap berlandaskan kultur Bhutan yang sangat kental dengan nilai-nilai agama Buddha. Bahwa pembangunan manusia yang sesungguhnya adalah tatkala pembangunan material pun spiritual terjadi secara beriringan dan saling melengkapi. Pengukurannya memang tidak hanya bergantung pada angka-angka pengeluaran pemerintah, konsumsi, gross investasi, pun ekspor dan impor. Tak lebih dari 7 ukuran yang disebut sebagai socioeconomic development matriks, yang meliputi antara lain economic wellness, environmental wellness, workplace wellness, political wellness hingga mental wellness. Matriks yang terakhir (mental wellness) dinilai dengan ukuran statistik atas penggunaan antidepressants, pun kenaikan atau penurunan tingkat pasien psikoterapi, Menarik bukan?
Perdebatanpun tiada pernah berhenti untuk mempertanyakan ”indikator mana yang lebih pas?” GDP seringkali dituduh menjadi ukuran yang kurang manusiawi untuk menilai tingkat kemakmuran, karena kemakmuran tidak sekedar angka-angka. Bukankah kemakmuran berkorelasi positif dengan kebahagiaan masyarakat dan kebahagiaan itu tidak semata-mata C+I+G+(X-M)? apakah kesehatan, mental pun jasmani, illiteracy tak layak menjadi suatu parameter? Sebenarnya karena alasan inilah, United Nation lebih mempromosikan human development index ketimbang memperbandingkan angka-angka GDP untuk menilai tingkat kemakmuran negara-negara dunia.
Bagaimana kalau Indonesia menggunakan ukuran kebahagiaan untuk menilai kemakmuran masyarakatnya? Mungkin akan lebih banyak lagi dana untuk pendidikan kesehatan dan social safety net lainnya.
Pusing kan? Yang jelas, kalau individunya bahagia, pasti negaranya akan makmur. Memikirkan negara memang pusing. Lebih baik kita mendefinisikan kebahagiaan menurut masing-masing kita.
Bagiku kebahagiaan bisa sangat sederhana. Kesederhanaan ini akan membuat kita tidak pernah berhenti bersyukur.
Mendapat SMS sederhana Mama pagi ini yang berbunyi “Mama sayang kamu Nduk! Mama bangga punya anak kamu” membuat bumi seolah sejenak berhenti berputar.
Mendengar teriakan ponakan-ponakan “Tante Ophie gak pulang ke Malang tah?” mampu melonjakkan dopamine.
Mencium harum melati yang sering kupetik di depan gereja, lalu menyelipkannya di saku baju partner adalah kebahagiaan bagiku.
Kebahagiaan adalah ketika berhasil mencium pipi Vio, dengan sedikit tipuan.
Kebahagiaan adalah saat teduh kala mata terkatup, dan hati sedang luruh, lalu tiba-tiba kicauan burung menyeruak, matahari menyembul, dan tiupan angin lirih mengusap wajahku, membuat pagiku terasa terberkati.
Kebahagiaan adalah sebuah terapi 12 pelukan sehari. Nah yang ini masih dalam penelitian. Silahkan buktikan sendiri keampuhannya.
So define your happiness!
standar kebahagiaan orang pasti berbeda, aku sih yg penting ketika semua kondisi berjalan normal…tapi apa mungkin? 😀
Saya sih bahagia kalau bisa bangun siang setiap hari.
di sebuah milis, ada penelitian yang menunjukkan bahwa di negara miskin, justru penduduknya lebih bahagia. kesimpulan dari penelitian itu adalah uang tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan. tulisan ini hadir, ketika film terakhir yang saya tonton adalah “the nanny diaries” (Scarlett Johansson, donna murphy)yang menceritakan betapa kaya seorang perempuan tapi tidak bahagia justru karena ia punya uang untuk liburan dan ke spa setiap saat. Naif jika mengatakan bahwa kita tidak perlu uang. but money can’t buy you anything.
Cerita sulit untuk aku tapi benar2 dan menarik. hoop doet leven:)
@Hedi: Bener Sam sangat subyektif. Kalau ada ukurannya,bisa beneran dibandingin tuh. Dan ini kebahagiaanku lainnya, aku bisa pulang ke Malang besok pagi :). Gak nitip tah?
@Endi: Hehe kadang itu menjadi bahagiaku juga.
@Vira: Makanya disimplify aja Vir, karena gak setiap saat kita punya duit :). Masa kalo gak punya duit gak bisa bahagia. Hah baru nonton The nanny diaries? Twilight dong Vir, kerennnn. Apalagi ngedatenya di pohon-pohon.
@Steven: Jij moet veel leren 🙂
HuJaN saja sudah bikin aku bahagia lo.. Krn aku bisa ‘libur’ siram tanaman dpn kamar 🙂
Btw, omahmu Mlg ta Vie?
@Titik: Jaman dulu kalo lagi hujan, aku diperbolehkan mandi pake air anget, itu juga kebahagiaan Tik, apalagi kalo diperbolehkan untuk gak mandi heheh. Iya Tik, tapi sudah hengkang sejak 94.
Bahagia adalah menikmati kopi hangat dipagi yang sejuk… menatap kabut Ranu Kumbolo.. mengingat-ingat wajah dari sapa sang Mentari kemarin pagi di puncak para Dewa… bersama sahabat-sahabat….
Bahagia datang ketika Cinta berkata “i do” dan menemaniku melewati hari-hariku…
Bahagia adalah mengetahu bahwa kemarin telah berlalu, hari ini ada dan esok datang sebentar lagi…
Bahagia adalah ini dan itu…
Bahagia ada sampai aku perlu menemukan ini dan itu lagi…
Saat itu Bahagia adalah ini dan itu lagi…