Sebagai penikmat kopi, akankah kamu membayar berapapun harga kopi yang kamu sukai? Mmm rasanya tidak juga buat mereka yang price sensitive. Lebih baik ngemut permen kopi, kalau memang harga kopinya kemahalan. Taukah kamu bahwa demi meraup uang, warung-warung kopi, semisal S’bux, Gloria Jeans, Costa Coffee, bahkan Kopi Dua Cangkir di Mall Taman Angrek, akan memanfaatkan berbagai cara untuk menangkap the so-called lavish customers-mereka yang less sensitive terhadap harga- lalu mengeksploitasinya. Berapapun harga kopi yang harus mereka bayar, mereka tidak akan peduli. Mereka inilah mesin uang buat para penjual kopi. Trik yang cukup wajar, sebenarnya. Sebuah perusahaan yang mencoba meningkatkan profit dengan memaksimumkan value dari scarcity power yang mereka miliki akan lebih tertarik pada customer yang willing to pay, bukan yang afford to pay. Lalu bagaimana sebuah coffee shop mengidentifikasi jenis customer yang willing to pay ini? melalui price-targeting strategy tentu saja.
“Unique target”, bahwa setiap customer itu unik sehingga setiap customer akan dikenakan harga yang berbeda-beda untuk satu produk yang sama. Misalnya, di sebuah café, sebagai penggemar susu, Vira akan membayar mahal untuk secangkir cappuccino, tapi bagi kami yang penggemar kopi hitam, secangkir cappuccino bisa lebih murah dari harga yang harus Vira bayarkan. Tak ada harga standard untuk segelas cappuccino. Sekali saja, warung itu tahu preferensi kita, mereka akan mengeksploitasinya. Metode ini sedikit kurang manusiawi memang, sekaligus susah untuk diterapkan. Seorang barista takkan mewawancaraimu panjang lebar hanya untuk memastikan preferensimu atas jenis kopi. Bisa jadi aku menjatuhkan pilihanku pada secangkir cappuccino karena harganya yang jauh lebih murah dari pada kopi htam. Tentu saja dengan strategi unique target, mereka gagal mengidentifikasiku sebagai penggemar kopi hitam. Lavish customer gagal terjaring.
Meskipun penerapannya tidak mudah, dan sangatlah tidak popular, toh ada juga yang mencobanya. Bukan coffee shop sih. Masih ingat kasusnya online shop Amazon pada sekitar tahun 2000? Ya, mereka mengeksploitasi preferensi customer dengan mengenakan harga yang lebih tinggi untuk tipikal buku yang mereka beli. Aku, misalnya, yang penggemar Susanna Tamaro, akan membayar dengan harga yang lebih mahal untuk buku yang sama yang dibeli oleh Anis. Bagaimana caranya? Yup sangat mudah, cookies yang tersimpan di komputer kita memudahkan Amazon untuk melacak buku-buku yang pernah kita pesan secara online. Praktik yang licik. Amanzon, tentu saja, harus membayar mahal atas kejadian ini. Oh ya, kalau ada yang tahu sebuah café menerapkan price-targeting strategy seperti ini, kasih tau ya? I wont visit the coffee shop.
Anehnya, kita akan fine-fine saja kalau coffee shop tersebut menerapkan “group target”. Seringkali meskipun kita sadar bahwa kita sedang di-abused melalui pengenaan tariff yang lebih mahal, dalam beberapa kasus, kita tidak protes. Orang dewasa mana yang akan protes kalau harus membayar tariff angkutan lebih mahal dibandingkan dengan tariff anak-anak atau pelajar? Atau warga asing mana yang akan protes ketika mereka harus membayar jauh lebih mahal ketimbang WNI kala memasuki area Candi Borobudur atau Prambanan?
Kembali ke coffee. Coffee bar di daerah stasiun Waterloo-London bernama The AMT Coffee menawarkan tariff yang lebih murah untuk para pekerja di sekitaran stand kopi tersebut. Tentu saja para commuter yang memanfaatkan underground dan bekerja jauh dari stasiun Waterloo mau tak mau harus membayar lebih mahal. Mahal, inilah harga dari being lavish. Commuters yang melewati Waterloo, for the sake of convenience, takkan keluar dari stasiun demi mencari segelas kopi.Bagaimana warung kopi di Jakarta? aku tak punya ide. Mungkin bisa ditanyakan kepada Bapak Kun sebagai loyal customer-nya S’bux, apakah dia mendapat diskon-diskon tertentu?
Nah ini dia cara yang cukup cerdik dan lumrah untuk diterapkan. “Self-incrimination strategy”. Mereka sangat berhati-hati dalam menerapkan price-targeting ini, sehingga seringkali tidak mudah bagi kita untuk menidentifikasi apakah sebuah warung kopi menerapkan strategi ini atau simply transferring the cost. Demi menangkap lavish customer, mereka biasanya menjual varian kopi yang tak jauh berbeda satu sama lain. Misalnya large or small cappuccino, dengan atau tanpa whipped cream. Tentu ada tambahah biaya dengan tambahan feature kopi. Hot Chocolate bisa jadi hanya seharga 25 ribu rupiah, namun ketika pilihan itu jatuh pada White chocolate harganya bisa jadi 35 ribu, padahal dengan ingredient yang hampir sama biaya untuk membuat dua jenis minuman ini seharusnya tak jauh berbeda. Inilah Self-incrimination strategy.
Sebagai customer, memang tak mudah untuk mengetahuinya. Mari kita coba memikirkan satu hal yang cukup sederhana. Untuk secangkir white coffee di Café Oh La La kita harus merogoh kocek sebesar 20 ribu, tidak peduli apakah kita meminumnya di café atau take it away. Kita tentu sudah menduga bahwa penetapan harga 20 ribu ini telah memperhitungkan gaji barista, pun biaya ruangan café. Jadi sederhananya, mereka yang memesan take away coffee, mestinya tak perlu membayar cost untuk space. Toh nyatanya tidak juga, kita tetap harus membayar 20 ribu. Charging untuk space café sangatlah tidak wajar. So Café Oh La La is implementing “Self-incrimination strategy”, karena mereka bisa mengambil keuntungan lebih dari mereka yang memesan take away coffee.
Kalau kamu menemukan warung kopi yang membedakan antara harga kopi yang diminum di tempat atau take away, mereka hanya transferring cost kepada customernya.
Beberapa warung kopi kegemaran kami menerapkan strategi ini, Kopi Dua Cangkir di Mall Taman Angrek misalnya. Ada dua jenis kopi yang kupikir identical ditawarkan di warung ini. Dengan penamaan yang berbeda mereka mematok harga Rp 10 ribu untuk segelas Kopi Toraja dan Rp 16 ribu untuk Kopi Macho yang berbahan dasar sama. Kami sempat dibuat bingung ketika dua kopi tersebut sampai ke meja kami. Kami kesulitan untuk membedakan mana Kopi Toraja dan mana Kopi Macho. Rasanya tak jauh berbeda. Aku segera teringat self-incrimination strategy ini. Yup, mereka cukup smart.
Masih banyak yang bisa dieksplore dari warung kopi kesukaan kami lainnya, Bakoel Koffie, Kopi Poenam atau Blumchen café, tapi untuk menulisnya aku perlu asupan kopi saat ini. Meanwhile… bagaimana dengan warung kopi kesukaanmu?
Bagi kopinya donk 🙂
Aku rasa saat ini Rak Buku adalah café favoritku. Rak buku beneran. Aku bisa memblend kopi2 ajaib dari seluruh Indonesia, menggrinding, dan menentukan metode brewing sendiri. Lain hari harusnya beli mesin espresso nih, biar jadi café beneran :).
Sbux di Jakarta nggak menarik, btw ..
weh… mengingatkanku dua tahun di negeri tongkonan Vi
bukan warung kopi. tapi warung gado-gado tak jauh dari kantor. kalau ke sana dengan mobil pribadi harga gado-gado per-bungkusnya jadi Rp. 15.000,- jika bersama rekan-rekan dengan mobil kantor, harganya menjadi Rp.13.000,- atau Rp. 10.000,- (pokoknya fluktuatif) jika OB yang beli, harganya Rp. 9.000,-. Is it Price targeting strategy ?
@Koen: Pantesan tiap ngelongok ke S’bux di sekitaran Jkt gak pernah ngeliat makhluk ini. Perlu diseriusin tuh Mas, buka cafenya. Btw, kopi ajaib itu kayak apa sih? Kalo abis minum bisa terbang gak? Mauuu dong.
@Nova: Mestinya dikau jadi distributor kopi toraja Kang. Andai waktu itu sempet membangun networking ya. Kalo kangen kopi toraja sih cukup ke Poenam di kebon sirih Kang.
@Vira: Bener Vir, dia pake price targeting yang unique target. See! Sungguh tidak mengenakkan buat para pembeli kan? karena gak ada harga standar buat customer. Andai aku jadi dia, aku pakai Self-incrimination strategy seperti ini:
– gado-gado cabe 20 = Rp 10.000
– gado-gado cabe 10-20 = Rp 12.500
– gado-gado ga’ pake cabe – cabe 9 = Rp 15.000
Gado2 cabe 20? Wah penjualnya harus ngasih extra obat sakit perut utk yg beli itu.. 😀
Ngomong2, aku bukan peminum kopi, jadi gak tau banyak soal warung kopi..
@Anis : That’s the pricing strategy. Orang jadi ogah beli gado-gado murah tapi jadi sering kebelakang. Ntar kalo dakuw ke Bandung ya Nis, kamu jadi guideku. Eh ada plan jalan2 niy, ntar chat aja yach.
“Toh nyatanya tidak juga, kita tetap harus membayar 20 ribu. Charging untuk space café sangatlah tidak wajar. So Café Oh La La is implementing “Self-incrimination strategy”, karena mereka bisa mengambil keuntungan lebih dari mereka yang memesan take away coffee.”
Bukannya mau membela Oh La La, tapi untuk paper/plastic cup yg digunakan untuk take-away juga ada biayanya, jadi mungkin customer baik yg minum di tempat & yg take-away harus membayar harga yg sama karena masing juga ada biayanya. kalau untuk yg minum di tempat terkena biaya space, dan untuk yg take-away terkena biaya cup nya.