Dia > Vie Piye kahananmu? Aku kangen Say .., pengen crita banyak. Hampir 3 bulan kamu kehilangan moment-moment indah yang seharusnya kamu ikut menikmatinya. Pesenku, jangan banyak maem, nanti kamu gendut seperti suamiku. Cepet bali Vie.
Aku > Semunu ugo aku Say. Aku kangen kalian. Aku kangen matahariku menghangatkan pori-poriku. Disini, kulitku mengeras seperti kulit kerang. Aku tau matahariku akan melunakkannya. Kamu masih ingat menu amburadul, makanan keseharianku? Aku berhasil mengembangkannya hingga amburadul 4, sesuai tingkat deviasi keamburadulannya. Aku segera pulang Say. Aku kangen negeri indah dan matahariku.
Category: General
Euro Next – VOC – Indonesia – Sejarah
Tiga minggu lalu, kami mengunjungi Euro Next, Stock Exchange, di tengah-tengah kota Amsterdam. Berbeda dengan gedung, pun isi Bursa Saham di Jakarta- dulu masku suka membawaku ketempat ini-, Euro Next lebih terlihat seperti museum. Gedung ini kira-kira umurnya hampir seratus tahun. Bursa saham di Amsterdam merupakan bursa saham tertua di dunia, diawali dengan kelahiran VOC. So … presentasi dari salah satu representative di Euro Next saat itu tentu diawali dengan kisah VOC. Ada cerita sedikit tentang hindia belanda tentu saja. Dan aku hanya tersenyum.
Talk about VOC, beberapa minggu sebelumnya, pembicaraan di kelas ketika membahas international finance meruncing kearah kolonialisme. Aku memulainya. Sebenarnya nothing’s wrong with VOC , I do admit it, hanya saja perasaanku yang terpengaruh buku-buku sejarah ketika aku menduduki bangku SD tiba-tiba menyeruak. Sebenarnya VOC tak jauh berbeda dengan Exxon, Unilever, Nike atau Multi National Company lainnya. Kalau VOC di blamed karena menjadi pemicu penjajahan oleh bangsa Belanda di Indonesia, MNC di blamed karena menimbulkan efek globalisasi yang dianggap mengekploitasi. Aku sebenarnya bersikap netral untuk masalah yang terakhir.
Melanjut tentang VOC, kira-kira beberapa minggu lalu, Balkenende yang waktu itu sedang berkampanye untuk partainya CDA (Christian Democrat Alliance)- tgl 22 lalu mereka dinyatakan menang – ingin megembalikan Belanda ke masa kejayaannya di Zaman VOC. Kira-kira pidatonya menyebutkan bahwa VOC patut menjadi contoh bagi bangsa Belanda, dan spirit VOC hendaknya menjiwai pula setiap pemikiran bangsa ini. Hal ini rupanya membuat panas warga keturunan Suriname yang cukup banyak tinggal di negara ini. Sejarah mereka tentu lebih menyakitkan ketimbang sejarah yg dituliskan di buku-buku sejarah Indonesia. Berbicara VOC tidak cuma berbicara dari aspek ekonomi dan kebudayaan. Sejarah banyak menuliskan hal-hal lain yang menyakitkan.
So pernahkah terpikir untuk menghapus sejarah untuk hal-hal yang menyakitkan? Ini sama halnya dengan menghentikan waktu. Tapi sebuah film “Eternal Sunshine and The Spotless Mind” membuatnya menjadi kenyataan. Mesin penghapus sejarah, memory buruk, tepatnya. Ah andai aku bisa menjadi salah satu pasiennya…
Berg en Dyke
The Dutch are a proud nation, and justifiably so. As locals may say “God made the earth, but the Dutch made Holland”. They have conquered the sea in order to make the best use of the area available to them. They simply dried the sea with the help of windmill. It is not something new for us knowing that some of parts in Netherlands are actually below sea level. Thus, a dike or ‘Dyke’ in Dutch, a construction which is normally found along the sea or a river to prevent against flooding, can be found everywhere in this country.
Two weeks ago, one of our lectures told us about the highest point in the Netherlands. Yet Dutch are still proud of it. They call it as “berg”, a mountain. In fact, it is only a hill with 321 meters above sea level, located in Vaalserberg, in the province of Limburg. Furthermore, their highest point should even be shared with other countries, Germany and Belgium, since the location is exactly in the border among the countries, quite close actually to Maastricht, my place now.
Obviously, the “Berg’ does not even exist in the Netherlands, but “dyke” is truly crucial. However, what I find amazing here is the fact that the number of people having family name like Van Den Berg is even higher than number of people having Van Dyke as family name.
Nevertheles, I’m enjoying my time here, in a very small but one of the wealthiest countries in the world.
Me and Cassiopeia
I stared at the sky a few minutes ago. It’s rather unusual to find a clear night sky during these times. Mr. Clouds seems to be very kind to me. As I behaved nicely today, I got Cassiopeia as a present. It was just showed off in my eyes. I saw a sign of “W” hanging on boundless dark ceiling. W = Wardani 🙂 … I heard Mr Coulds whispering my name. I was rather surprised finding also Navi (Gamma Cassiopeia), one of the stars in Cassiopeia, was obviously waiving at me. Wardani … Navi … oh Cassiopeia, you’re simply mine.
The Zahir
Tulisan ini lebih dari satu tahun mendiami USB stick ku, kutemukan kembali setelah aku membongkar catatan-catatan pribadi yang selalu tersimpan dengan sebuah password. Aku mencarinya lagi setelah mendapati sebuah email dari seseorang yang belum kukenal :
Si tokoh “Aku”- aku belum menemukan padanan namanya di halaman-halaman awal pun halaman akhir yang kutengok diawal proses membacaku- telah berjuang untuk memperoleh cinta istrinya yang pertama, yang kedua, dan yang ketiga. Dia terus berjuang menemukan keberanian untuk meninggalkan istrinya yang pertama, yang kedua, dan yang ketiga, karena cintanya pada mereka tidak bertahan lama, dan hidup perlu dilanjutkan, sampai suatu saat dia akan menemukan seseorang yang dilahirkan ke dunia ini untuk menemukannya- dan orang itu bukan salah satu dari ketiga istrinya. Disuatu hari yang tidak biasa, dia bertemu dengan seorang jurnalis cantik dan cerdas yang tak banyak bicara. Seseorang yang lebih sering menolaknya ketimbang menerimanya dengan senyuman semu. Setelah kebosanan melandanya, dan konflik-konflik yang menghiasi kehidupannya dan wanita ini, sesuatu terjadi. Suatu pagi, alih-alih mengetik beberapa kalimat, dia memandang ke sebelah ruangan, wanita itu- Esther- sedang membaca koran dengan tampak letih, diam tak banyak bicara, menyisakan pertengkaran mereka semalaman. Pikirannya segera beralih, deretan tombol-tombol mesin ketik tidak lagi penting, huruf-huruf dia susun dikepalanya menggambarkan wanita yang tidak selalu menunjukkan rasa cintanya dengan gerakan tubuh, wanita yang selalu bisa membuatnya berkata ’ya’ meskipun dia ingin menjawab ’tidak’, wanita yang selalu memaksanya berjuang demi sesuatu yang ia percaya merupakan tujuan hidupnya, wanita yang telah membiarkannya pergi sendiri karena cinta wanita ini padanya lebih besar dari pada cintanya kepada dirinya sendiri, dan wanita yang matanya berbicara lebih banyak dari pada kata-kata. Dia kagum, jari-jarinya mulai menekan tombol-tombol mesin tik…
The Zahir, demikian judul bukunya. Kata-kata diatas bukan kutipan aku hanya menyarikan beberapa lembar dari buku itu. Aku menyukai gaya bahasa di buku-buku Paulo Coelho, walaupun kadang gaya egosentrisme-nya gak terlalu kental seperti Susanna Tamaro. Dari beberapa buku Paulo Coelho yang kumiliki The Devil and Miss Prym membuatku memberontak atas kekangan-kekangan yang menyelimutiku untuk kemudian tertunduk dalam penyesalan dan pencarian The Zahir. Sosok itu begitu nyata dimata dan hatiku, tak jua lekang dipudarkan waktu.
A 'Nice' Movie
I visited Guus website today. He put a ‘nice’ movie in his website, however, the content may not be recommended for those of you under 18. It was already 6 pm in NL when I read through on it. I haven’t put my light on although it was already dark, making the experience of watching the movie even ‘nicer’. Since you’re also mature enough (I know you ;), I’ve been spying on you), you may also have a look at it.
A Room With A View
My cell phone rang. I woke up. No number … I went to sleep again. And it started ringing again. But still no number… I tried to sleep but I couldn’t . So here I am in the narrow balcony in front of my room, ready with the camera … capturing the silent of Endepolsdomein Straat.
Air Mancur Joged

Untuk kamu semua yang pernah mengunjungi bagian barat Monas dan menyaksikan air mancur joged, kamu mungkin merasakan hal yang sama. Salut dengan Pak Sutiyoso, Menyajikan tontonan rakyat secara ajeg dan gratis sepertinya bukan tipe pemerintahan di sini deh. Lihat aja Pantai Ancol yang indah harus dipagari dan dikenai biaya tiket masuk. Tapi bisa dimaklumi koq, mengingat biaya perawatan yang cukup tinggi dan pengelolaannya telah diserahkan ke swasta.
Suguhan gratis setiap sabtu dan minggu malam ini cukup menarik perhatian warga Jakarta. Aku salah satunya. Dipertontonkan tiap jam 19.00 WIB dan 20.00 WIB rupanya cukup menghilangkan kesan seram area Monas dimalam hari. Bagaimana tidak, Monas yang dulunya sepi setelah memasuki pukul 18.00 WIB, kini jadi hingar bingar. Namun tidak menutup kemungkinan hal ini justru menjadi lahan empuk para pencopet untuk bereaksi. Just be careful lah! Beberapa petugas security juga terlihat berkeliling area Monas, membuat perasaan aman para pengunjungnya.
Pertunjukan diawali dengan air mancur yang meliuk-liuk mengikuti irama lagu. Dari lagu jali-jali sampai st elmo’s fire-nya David Foster. Sesaat aku terkenang suguhan serupa yang disajikan Pemerintah Barcelona disuatu sore di musim panas di depan Museum Nasional . Waktu itu aku menikmatinya sendiri. Teman-temanku memilih tinggal di hotel setelah seharian beraktifitas dalam serangkaian program social and economic inclusion di Barcelona.
Berbeda dengan di Barcelona, air mancur joged di Monas diperkaya dengan suguhan sinar laser yang diproyeksikan diantara semburan-semburan air mancur yang menceritakan tentang sejarah Jakarta.
Yang ada dalam hatiku saat itu cuma kagum dan kagum. Well ingin merasakan hal yang sama? Coba saja datang ke Monas pada Sabtu atau Minggu malam pukul 19.00 WIB atau 20.00 WIB.