Tergelitik dengan tulisan Vira tentang kebetulan, membuatku ingin mencatat beberapa kejadian yang bisa dimaknai oleh sebuah kata dengan 9 huruf ini. First of all I would to clarify that aku tidak percaya bahwa kebetulan terjadi begitu saja, yang independen yang tanpa ada satu titik yang berfungsi sebagai detonator. Dengan alasan ini, aku menyebutnya sebagai Kebetulan Agung.
Semisal, Ki Ronggowarsito- pujangga jawa dengan lima karyanya, Kalatidha, Sabdajati, Sabdatama, Jaka Lodhang dan Wedharaga – yang konon mampu meramalkan kematiannya sendiri, tepat pada 5 Dulkaidah 1802 jw atau 24 Desember 1873.
Alkisah dalam bagian akhir bukunya Sabda Jati tertulis demikian:
“ Amung kurang wolung ari kang kadulu, emating pati patitis, wus katon neng lokilmakpul ing madya ari, amergi ri Buda Pon.”
Yang terjemahan bebasnya kira-kira begini: hanya kurang delapan hari yang terlihat oleh sang Pujangga, ajal telah tampak dalam suratan takdir, segala hitungan telah dilakukan, di tengah hari jatuh pada hari Rabu Pon (Buda Pon).
“Tanggal kaping lima antaraning Luhur, sasi Sela taun Jimakir, Tolu Uma Aryang Jagur, Sangara winduing pati, netepi kumpul saenggon.”
Yang artinya seperti ini : Tanggal lima kurang lebih waktu Dzuhur, bulan Selo (Dulkaidah) tahun Jimakir …Windu Sangsoro ini kira-kira diartikan waktu kesengsaraan yang diasosiasikan dengan kematian sang pujangga.
Dan lalu bagian ahirnya tertulis seperti ini:
“Cinitra in Buda kaping wolulikur, sawal ing taun jimakir. Candraning warsa pinetung, Nembah muka pujangga ji, Ki Pujangga pamit layon.”
Buku ini ditulis pada tanggal 28 (wolulikur) bulan Sawal tahun Jimakir. Nembah muksa pujangga ji diartikan sebagai tahun 1802, (Nembah or sembah =2, Mukso=0, Pujangga=8, Ji or siji=1)
Kalau disatukan dari bait-bait sebelumnya, maknanya adalah bahwa delapan hari setelah ditulisnya buku ini yakni pada tanggal 28 Syawal 1802, Sang Pujangga akan menghadap Yang Agung, tepatnya Rabu Pon, 5 Dulkaidah 1802. Jadi kebetulan biasa saja ataukah ramalan? I don’t believe both of them. Ini Kebetulan Agung.
Ceritaku lain lagi. Beberapa bulan lalu kami mampir di sebuah toko buku. Aku scanning and skimming beberapa judul buku baru, memilah-milah, menimbang-nimbang, lalu memasukkan ke dalam shopping basket. Sementara temanku terpaku hanya dengan satu buku, menimbang-nimbang, berpikir keras dan akhirnya memutuskan untuk meletakkan buku itu kembali ke raknya.
“Ini bukan saat yang tepat untuk membeli buku,” pikirnya.
Tapi kulihat keinginannya untuk membaca buku ini telah membuatnya tak beranjak dari rak itu. Aku – yang tidak tahu buku apa yang diincarnya – hanya melihat dari jauh sambil sibuk memanage keinginanku. Saatnya membayar tiba. Tiba-tiba aku disodori oleh mbak cashir dua buah buku untuk kupilih sebagai hadiah, karena pembelianku yang melebihi angka tertentu. Segera kuambil salah satunya dan kutunjukkan ke temanku seraya kami melangkah ke luar toko. Sesaat kami terdiam dan lalu tersenyum. Taukah kamu bahwa buku itulah yang sedari tadi memperoleh perhatian extra dari temanku. Jadi, apakah ini hanya kebetulan ?
Beralih ke 30 tahun silam, aku bertetangga dengan seseorang. Sebagai seorang bayi aku takkan mengenalnya. Bahkan hingga 5 tahun, pun 10 tahun kemudian, aku tak juga mengenalnya meskipun tempat bermain kami berdekatan. Tidak juga 17 tahun berikutnya ketika aku yang semestinya kuliah di PTN di kotaku memilih PTN yang jauh dari kota kelahiranku dengan alasan-alasan yang rada ethical. Dan ini yang mempertemukanku dan si Mas ini yang kostnya hanya beberapa ratus langkah dari tempatku tinggal.
Namun tak juga seseorang itu kukenal. Ada satu waktu dan satu tempat yang Sang Agung pilih sebagai waktu dan tempat yang tepat bagiku dan bagi seseorang ini untuk bertemu. Waktu dan tempat yang jauh dari perkiraan kami. To be honest, aku dengan sengaja tidak ingin melanjutkan percakapanku dengannya yang terkait dengan kemungkinan-kemungkinan pertemuan kami. Karena semakin banyak kami bercerita semakin kami dibuat merinding. Jadi, apakah pertemuan kami di satu waktu dan satu tempat itu pun juga hanya sekedar kebetulan?
Wanna tell me your experience?
Kata Harun Yahya, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Semua memang sudah diatur oleh Sang Pencipta. 🙂
Aku sependapat juga dengan Anis, dan Vi, paham kita kurasa juga demikian kok 🙂
cukup lama aku harus mbaca yang tulisan jawa itu, susah juga ya nulis jawa dibandingkan ngomongnya walau aku ini wong njowo 🙂
aku sih nggak begitu percaya soal2 kebetulan di dunia ini Vi 🙂
met wiken ya 😀
hmmm… Kebetulan Agung. Barangkali kebetulan juga aku nemuin blog ini 🙂
@Anis & Nova: That’s what I believe also.:)
@Ely: Podho El, aku nek dikon ngomong jowo nyerocos, tapi nek dikon nulis kudhu mikir-mikir. Panjenengan punopo ngajari garwanipun ngendhikan boso Jawi?
@Wier: Kebetulan juga dikau mampir lagi Wier, aku jadi bisa nginetin: Tulisanmu koq gak nambah-nambah Le?
nyam…nyam…nyam webku ono disebut-sebut nang kene…pantesan kupingku bergerak-gerak dari kemaren
btw, orang jaman dulu banyak kok yang tahu hari kematiannya. lagian di tradisi Jawa ada kok tanda-tanda kematian berdasarkan 1 tahun, 100hari, 40 hari, 1 bulan, 1 minggu, sampe 1 hari sebelum kematian terjadi.
hi..hi..hi….tak ajari boso jowo seng gampang2 Vi, koyo tho …. glontang, kelap-kelip, tahu. tempe ha…ha..ha..ngakak aku Vi, ra akeh sing iso diucapno, seng kerep diucapno “AYOO!!”, soale gampang 😀 wah Vi… boso kromo inggil angel tenan yo :)aku njawape ngoko wae ^_^
piye acarane wikenan wingi?
katanya buku reason in revolt memang nggak ada kebetulan. tapi, salah satu kawanku yang (terlalu menghubung-hubungkan) segala sesuatunya, apalagi urusan cinta-cintaan, every single thing dikait-kaitkan sebagai ‘jodoh’….ouwhhh
@Phoenixfly: Gre bukannya dikau juga jadul hehe, dikau juga tau dong 🙂
@ElyMeyer: Lucu ya denger bule ngomong jawa. Pas nonton di TV ada bule jago ndalang aku seneng banget ngliatnya. Kita orang jawa justru sudah mulai malas memakai bahasa ini, aku misalnya, yang seringan pake bahasa tubuh dari pada bahasa jawa, halahhhh.
@Vira: Wah jodoh. Kalo cerita tentang jodoh akan lebih seru lagi Vir. Bagiku jodoh adalah mimpi yang menjadi kenyataan, bukan sekadar kebetulan Vir 🙂