Dewi Lestari. Nama yang indah, seindah kata-kata yang dia rangkai menjadi satu lirik lagu “Satu Bintang di Langit Kelam”. Lagu yang tak lekang waktu mencuri hatiku.
Di satu toko buku itu, dia mengingatkanku. Kuambillah Rectoverso.
Kupikir Rectoverso akan melanjutkan luapan dopamine yang mungkin tak sadar dia ciptakan untukku. Namun sebaliknya. Rectoverso merengut luapan itu. Jadilah, Rectoverso mengganggu ketenangan batin yang telah dia hadirkan akhir-akhir ini, ah tidak, sudah 10 bulan ini.
Buku dari uraian 11 kisah, dengan judul yang sama persis dengan judul lagu-lagu di album terbaru Dewi itu, seolah mengguyur kembali kisah-kisah yang sengaja kubuat kering, supaya dengan mudah angin menerbangkannya. Sudah banyak bifurkasi yang telah kulewati dengan sangat hati-hati.
Jadi buku ini adalah buku tentang kekelaman, kegalauan, kegetiran dan kepenatan hati? Bagiku buku ini bercerita tentang pencerahan, pencarian diri. Bahwa ada satu Kuasa yang memahami kita, menuntun kita untuk mengerti bahwa setiap kejadian adalah cermin bagi hidup kita. Inilah Rectoverso, yang oleh Dewi diuraikan sebagai dua citra namun satu kesatuan. Satu koin dengan dua sisi wajah.
Kata-kata yang digunakan Dewi memang tak asing bagi pembaca buku-bukunya terdahulu. Bagiku, tentu sangat familiar. Lebih mirip tulisan Vira, kupikir.
Ada dua kisah dalam buku ini yang sempat membuat malamku menjadi sebuah perenungan panjang.
“Aku Ada”, demikian diberinya judul untuk satu kisah itu.
Pernahkah kau rasakan di suatu masa, sendiri meraja? Waktu terus berjalan, karena matahari tak pernah mau berhenti. Dan kau merasa beban itu semakin meradang, kesendirian itu membunuhmu. Percayalah … kaupun tak pernah sendiri. Kau tak sendiri menapaki pasir putih. Kala amarah masih memenuhi ruang hatimu, maka yang kau lihat dibelakangmu hanya sepasang jejak, tertinggal di pasir itu. Tapi ketahuilah itu bukan lagi jejakmu.
“Barangkali karena telah ratusan kali kamu lakukan itu; menyendiri di tepi pantai; menyusuri garisnya seperti merunut urat laut. …
Ingin rasanya aku ikut berlari, berteriak agar kau kembali, mencengkeram bahumu agar kau tahu aku ada di sini …
Percayakah kamu? Aku selalu ada …
Dengarkah kamu? Aku ada. Aku masih ada. Aku selalu ada. Rasakan aku, sebut namaku seperti mantra yang meruncing menuju satu titik untuk kemudian melebur, meluber, dan melebar. Rasakan perasaanku yang bergerak bersama alam untuk menyapamu.
Kayuhanmu tahu-tahu terhenti Sudah jauh engkau berenang meninggalkan pantai, basah kuyup dan megap-megap. Namun tiba-tiba kau tergerak untuk diam, merasakan ombak yang dengan aneh mengembalikanmu mundur. Semakin kuat kau mengayuh, kau malah semakin mundur ke pasir tempat kau melangkah. Perlahan kau berdiri, menatap laut dengan tatapan asing seolah itu pertemuan kalian yang pertama kali. Setengah mati telah kau lawan lautan untuk mencari jawab atas amarahmu pada kematian, dan dengan sabar bagai ibunda menimang anaknya yang meraung murka agar kembali tenang, lautan mengembalikanmu kembali ke tepiannya. Seolah berkata, belum saatnya. Tempatmu di sana. Kembalilah ke pasir tempat jejak-jejakmu tersimpan, kembali padanya yang menantimu dengan senyum sayang … “
Berikutnya, “Hanya Isyarat”.
Sering kali kita gagal memahami, bahwa ada cinta berlebih disekeliling kita. Tapi kita hanya mengejar bayangan tercerai untuk kita gapai. Maka berbahagialah mereka yang hanya mengetahui apa yang sanggup ia miliki.
“Aku mulai berkisah, tentang satu sahabatku yang lahir di negeri orang lalu menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana. Setiap kali ibunya hendak menghidangkan daging ayam sebagai lauk, ibunya pergi ke pasar untuk membeli bagian punggung saja. Hanya itu yang ibunya mampu beli. Sahabatkupun beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam neniliki bagian lain selain punggung. Ia tidak tahu paha, dada, atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi yang ia punya tentang ayam. …
Aku menghela napas. Kisah ini terasa semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh … ”
Aku sengaja tak ingin bercerita banyak tentang isi buku ini. Kekuatan buku Dee adalah pada rangkaian kata-katanya, yang tak mungkin kau nikmati melalui terjemahan bebas pada kalimat yang keluar dari olahan otakku yang sangat terbatas. Jadi belilah buku ini.
Tiba-tiba dini hari merengkuh dan sebuah sms menggugah sadarku. Sudah lewat pukul tiga.”…mimpi indah ya.”. Aku tak membalasnya karena aku tahu aku harus tidur. Tapi aku tak ingin bermimpi. Senyum segera mengembang, aku bersyukur lagi-lagi dia datang bak penyelamat.
Buku yang seharusnya hadir 4 tahun lalu itu segera ku letakkan. Lalu akupun tertidur. Dan hanya tertidur tanpa bermimpi. Karena dengan bermimpi aku telah menghadirkan kemungkinan mimpi buruk itu memburuku.
Kututup mataku, sambil tersadar penuh, aku telah berjalan denganNya di pantai berpasir putih itu. Tapi tak ada lagi jejakku. Hanya jejakNya. Karena Dia tahu aku tak mampu. Dia telah menggendongku.
Terimakasih … malaikatku, kamu telah hadir menyelamatkanku. Kamu tak sekedar indah, tapi kamu adalah anugerah.
Ya3x … intine masih bersukur ya Bu 😀
menulis dengan sedih itu menyenangkan. kata-kata ngalir berjatuhan. kalau kau? apakah suka menulis dengan sedih, novi?
@Nova : Tepatnya, sengsara membawa nikmat. Dibalik awan gelap selalu ada langit biru. Iya gak Kang?
@Vira : Jangan-jangan perbendaharaan kata-kata untuk menggambarkan kesedihan memang lebih banyak. Tapi bener Vir, aku jadi lebih kreatif dalam penggunaan kata-kata kalau aku sedang sedih.
Nah, sudah saatnya belajar memainkan nada kata2 di setiap kondisi. Baik sedih maupun gembira. Memang pada umumnya, saat sedih kata2 mengalun begitu indah karena kesendirian adalah sobat sang sedih. Sedangkan saat gembira, keramaian adalah sobat sang gembira. Bertolak belakang. Sadarkah kita bahwa manusia itu dasarnya sendiri? Dalam rahim sendiri, nanti dikubur pun sendiri. Jadi, sudah seharusnya kita pun bisa mengalun kata2 indah itu di saat sedih dan gembira. Bisakah?
Salam kenal, Novi…. 🙂
Saya pikir tulisan Anda ini juga mirip dengan quotes yang Anda tampilkan di sini. Mirip Dewi,kalau Anda sedang tidak menulis tentang finance.
@ Bang Aswi: Muhun, tentu bisa Bang. Kegembiraan dan kepedihan sama-sama menginspirasi. Hanya saja, untuk meringankan beban sering kali kala hati dirundung awan kelabu kita jadi rajin menulis. Tapi kalo lagi seneng kita jadi lupa 🙂 Btw, salam kenal juga 🙂
@ Endi: Wah Bapak bisa saja. Tentu perbedaan itu sangat kentara Pak.
ada kepikiran nulis Novel ??