Kuliah Terakhir Randy Pausch

“What wisdom would we impart to the world if we knew it was our last chance? If we had to vanish tomorrow, what would we want as our legacy?”, demikian tertulis di cover belakang buku terbitan Hyperion New York yang berjudul “The Last Lecture”, tulisan Randy Pausch dan Jeffrey Zaslow.

Buku ini cukup lama berada di laci meja.  Sudah ada cap “bukan milik pribadi”, karena buku setebal 206 halaman ini, yang sengaja dibawa partner ketika merayakan Natal di Malang dan sempat menjadi teman liburan kami beberapa hari kala itu, memang bukan milik sendiri.

Kisah “The Last Lecture” tak jauh berbeda dengan tulisan Mitch Albom dalam bukunya “ Tuesdays With Morrie”.. Sama-sama menyajikan pelajaran tetang makna hidup, yang dibumbui dengan kisah-kisah yang, menurutku, quite touching. Sama-sama berkisah tentang ‘last lecture’ –kuliah terakhir – sebelum sayap-sayap putih maut merengut hari-hari tokoh utama dalam kedua buku tersebut, Morrie Schwartz dan Randy Pausch. Sama-sama didasarkan pada kisah nyata, namun  dari sisi penggambaran yang berbeda. Tuesdays With Morrie dikisahkan oleh Mitch salah seorang mahasiswa Morrie, sedangkan “Last Lecture ditulis sendiri oleh Randy Pausch, seorang professor ilmu komputer spesialis human-computer interaction dari Carnegie Mellon yang harus meregang nyawa pada usia 47 tahun karena kanker pankreas. Vonis mati oleh dokter tidak membuat Randy Pausch berhenti, “We cannot change the cards we are dealt, just how we play the hand”, tulisnya.

Buku ini secara pribadi cukup menginspirasi sekaligus menyenangkan bagiku karena tersaji dengan beberapa gambar dan kejadian yang cukup membuatku tersenyum.  Di halaman 47 misalnya, sebuah foto dengan keterangan “Have you ever walked around a carnival with a giant stuffed animal?”, terpampang disana, tampak gambar Randy – yang menggendong sebuah boneka beruang berukuran besar- tertawa ceria. Memenangkan giant stuffed animal adalah salah satu mimpi masa kanak-kanak yang selalu dia hidupkan.

Kisah Randy menghidupi mimpi masa kanak-kanaknya itu cukup membuatku iri. “I just wanted the floating”, katanya, yang menyadari bahwa menjadi astronot adalah hal mustahil bagi mereka yang berkacamata. Keinginannya tak muluk-muluk. Menjadi astronot bukanlah mimpinya tapi berada di tempat dengan zero gravitasi akan selalu menjadi obsesi. Kecakapannyalah yang pada akhirnya membawa Randy floating di “The Weightless Wonder” sebuah wahana milik NASA di Johhnson Space Center in Houston. Aku yang sedari kecil gemar memandangi bintang, hingga malam kemarin pun, aku hanya mampu memandanginya, tak kurang dan tak lebih. Menjadi astronot hanya mimpi masa kecil yang tak pernah kuhidupi 🙁 .

Buku ini tak cuma berisi bagaimana menghidupi mimpi-mimpi kita dimasa kecil, namun lebih dari itu, buku ini juga menyajikan bagaimana kita bisa memfasilitasi mimpi orang lain. Karenanya, buku ini layak menjadi bacaan para pendidik, menjadi penyemangat tatkala rasa putus asa mengikis misi suci mereka. Sayang, buku “The Last Lecture” edisi bahasa Indonesia yang sengaja kubeli untuk seorang rekan guru tak pernah sampai ditangannya.

“It’s a thrill to fulfill your own childhood dreams, but as you get older, you may find that enabling the dreams of others is even more fun”, tulisnya. Di bagian keempat yang berjudul ‘Enabling The Dreams of Others’ Randy berkisah tentang Tommy salah seorang mahasiswanya di University of Virginia dimasa tahun 1993 yang bermimpi untuk menjadi bagian dalam pembuatan film Star Wars. Akhir kisah itu tentu saja mudah ditebak, Tommy terlibat di ketiga film  Star Wars pada tahun 1999, 2002 dan 2005. Oh ya, mungkin saja Tommy terlibat dalam pembuatan film Star Trek yang saat ini tengah diputar di bioskop-bioskop di Jakarta. Check it out and let me know :).

Randy juga berkisah bagaimana dia membuat kelasnya menjadi fun and challenging,      melalui project “Building Virtual Worlds” dimana dia menyajikan sarana bagi para mahasiswanya dari latar belakang studi yang berbeda – diantaranya terdapat mahasiswa matematika, bahasa Inggris, bahkan Seni – untuk bergabung dalam satu team work,  mengerjakan sebuah proyek untuk menerjemahkan imajinasi mereka. Kelas ini berhasil mencuri perhatian banyak orang, sehingga ruangan kelas yang mulanya hanya diisi oleh 50 mahasiswanya kini telah dipindahkan ke ruang auditorium besar guna menampung luapan 400 manusia yang segera akan membuat kegaduhan tatkala salah satu team favorit mereka melakukan presentasi.

Lalu bagaimana dengan kisah-kisah yang bagiku cukup touching? Waktuku tak cukup banyak untuk mengisahkan semua. Namun, hatiku kembali merasa sesak tatkala aku membaca bagian dimana penonton “Last Lecture” di auditorium besar itu menyanyikan lagu “Happy Birthday” untuk Jai – Istri Randy  yang kala itu menyaksinya suaminya menyampaikan kuliah terakhirnya,  dan satu-satunya kata yang dia bisikkan pada Randy ketika dia memeluk Randy di atas stage adalah “Please don’t die”. Bahkan menuliskannya disini membuatku merinding. Istri mana yang bisa setegar Jai, mengetahui bahwa beberapa saat lagi suaminya takkan berada disampingnya untuk selamanya. “I can’t imagine rolling over in bed and you’re not there”, “I can’t picture myself taking the kids on vacation and you’re not being with us”, kata-kata ini serasa menusuk hatiku. Jelas, untuk mengalami hal seperti itu, aku tak mampu.

Ah, aku tak ingin merusak suasana hatimu yang membaca tulisan ini.  Lagi pula, buku ini harus segera  berpindah tangan. Buku yang juga bukan milik partner trekking ini akan segera kembali kepada pemilih sah. I don’t know you,“The Owner” but thanks for sharing your book. And for partner … Mauliate. Hati-hati di gunung, adeknya nitip mata!

ps. Randy Pausch meninggal pada tanggal 25 Juli 2008, jauh sebelum aku membaca buku ini, dipenghujung tahun 2008.

7 thoughts on “Kuliah Terakhir Randy Pausch”

  1. Novi, satu paragraf sebelum yang terakhir membuat aku berkaca-kaca. Dimana ya bisa mendapatkan buku ini ?

    jika kita ‘lupa’ mimpi masa kecil, lantas bagaimana? sepertinya cerita orang-orang hebat berputar pada mereka yang berhasil menghidupkan mimpi masa muda? aku mengingat ingat kembali mau jadi apa aku, then i get lost…

    memfasilitasi mimpi orang lain…..wow! amazing sentence. amazing…

  2. emang sangat inspiratif, aku barusan selesai baca bukunya (telat ya….) cuma blm sempat muter vcdnya. Gak heran dia jadi satu dr 100 orang plg bpengaruh di dunia…

  3. salam kenal mbak novi,
    thanks cerita2nya… entah suatu saat nyeblung di blog Anda. but, just want to say thanks.

    salam,
    shien

  4. @Ida: Aku juga gak sempet muter VCDnya loh, nonton di youtube bentar aja, abisnya panjaaanggg.
    @Shienny: Salam kenal juga Shienny, thx udah nyeblung disini 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *