“Macan Tutul Jawa Tertangkap Kamera TNGHS” demikian tertulis dalam sebuah kolom Kompas seminggu yang lalu.
Apakah mereka mencium sisa-sisa keberadaan kami, yang 4 minggu sebelumnya telah merambahi habitatnya di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ?
Cerita ini sebenarnya sedikit basi, karena perjalanan itu sendiri kami lakukan sebulan yang lalu, ketika kami kehabisan ide untuk mengisi libur panjang kami. Namun demi spirit berbagi, inilah detail perjalanan kami.
Berbekal informasi yang tersebar di beberapa website, melajulah kami siang itu ke Sukabumi. Dari Jakarta – Ciawi – Parungkuda, kami tempuh dalam waktu 2 jam. Penunjuk arah menuju TNGHS tepat di Pasar Parungkuda sempat terlewatkan. Sebuah kotak yang tak besar bertuliskan “Parakan Salak” yang menunjuk ke arah kanan jalan, teracuhkan begitu saja, karena asumsi-asumsi yang salah.
“Iya Cikaniki itu kalau dari Jakarta adanya disebelah kanan, kan di Gunung Halimun. Kalau Bodogol adanya dibelah kiri jalan, karena tempatnya di Gunung Gede Pangrango,” kata-kata ini yang seolah menghiburku tatkala menyadari penunjuk arah ke TNGHS terlewatkan. Beruntunglah alternatif jalan masih tersedia. Tepat disebelah Rumah Makan Cimande kami berbelok ke kanan dan menyusuri jalan aspal yang tak lebar.
Rute kami selanjutnya adalah Kabandungan – Cipeteuy – Gerbang TNGHS – Cikaniki – Citalahab. Dari Parungkuda ke Kabandungan, CY mobil hitam kami melaju di jalan aspal nan mulus. Satu jam berlalu, sampailah kami di Kantor Balai TNGHS. Biaya masuk TNGHS termasuk sewa mobil dan sewa kamar kami bayar di muka. Mengingat setelah melewati Cipeteuy – yang hanya 1 km dari Kantor Balai TNGHS- jalan tak lagi beraspal, kami memutuskan menyewa L300 dengan biaya 600 rb PP, dan menitipkan CY di kantor itu.
Sedangkan untuk sewa kamar, dengan fasilitas terbatas, namun cukup memadai, kami dikenakan biaya 150 rb. Kami memang kurang beruntung, waktu itu, Wisma Penelitian Cikaniki telah full booked. Jadilah kami mengingap dirumah Pak Kosasih di Desa Citalahab yang berjarak kurang lebih 2 km dari Wisma Cikaniki, yang memang biasanya disediakan bagi pengunjung yang tidak kebagian tempat di wisma itu. Sebagai bonus, kokok ayam jago sebagai pengganti weker di pagi hari, suasana pedesaan dengan aliran Sungai Cikaniki, udara segar ditengah-tengah kebun teh Nirmala, dan juga selimut kabut di pagi dan sore hari akan menambah suasana romantisme khas desa-desa di kaki gunung. For further info silahkan kontak Bu Imas di 0266 621256.
Perjalanan dari Kantor Balai TNGHS menuju Desa Citalahab cukup menantang, selama 2 jam perut kami di”kocok”. Beruntunglah, pemandangan indah sawah, sungai dan gunung-gunung di kanan kiri kami sedikit meredam siksaan fisik ini.
Ternyata goncangan di atas L300 selama 2 jam ini belum mengakhiri tantangan pada hari itu. Menuju ke rumah Pak Kosasih kami disambut jalan batu dengan kemiringan cukup tajam yang basah diguyur hujan. Ditambah pula dengan tingkat kelicinan yang cukup tinggi – bak belut diolesin olie, kata Ruhut Sitompul – membuat hati ini ketar ketir.
Malam itu, dengan dipandu Pak Kosasih dan disinari cahaya dari lampu senter kecil, kami menyusuri pinggiran hutan, demi menengok jamur bergenus Mycena yang konon menjadi andalan TNGHS. Hujan rintik tak mengurungkan niat kami berjalan menuju habitat Jamur Mycena, yang tak jauh dari Wisma Cikaniki. Sesaat setelah lampu senter dimatikan, cahaya-cahaya kecil – hasil proses oksidasi senyawa luciferin di tubuh Mycena- mulai bermunculan dari dasar hutan, yang dibasahi air hujan. Indah, bak bintang di pekat malam, yang jatuh di tanah. Bersyukurlah keindangan itu tak harus dinodai dengan kemunculan Panthera Pardus Melas. Mungkin binatang nocturnal ini tak ingin melihatku, yang sengaja membawa pesan untuknya, dari kakeknya di Jakarta. « Kalau ketemu salam dari Mbah-nya » demikian kira-kira pesan dari salah seorang sahabat di Jakarta.
Esok paginya, kami sempatkan menengok lapangan bola di atas bukit yang dikelilingi kebun teh hijau. Wow, pemandangan yang cukup menarik. Cahaya matahari samar-samar menyeruak dari ketebalan awan. Pucuk-pucuk teh bergoyang ditiup semilir angin. Gunung-gunung tampak dingin tak bergeming. Pohon-pohon tinggi hanya diam diselimuti awan. Semesta tampak acuh, tak terpengaruh dengan ributnya anak-anak sekolah yang asyik berebut bola. Pagi itu serasa sempurna.
Selanjutnya, perjalanan menuruni kebuh teh dimulai. Kami menyisir pinggiran Desa Citalahab, lalu melewati bumi perkemahan yang tampak kosong melompong. Sesaat kemudian, kamipun mulai merambah hutan halimun. Zona Colline dengan ketinggian 500 – 1000 m yang didominasi oleh Pohon Rasamala segera menaungi kami. Kami tak ingin menanjak lebih tinggi. Waktu kami tak lama. Mungkin suatu hari nanti, Zona Sub-Montane dengan ketinggian 1.000 -1.500 m akan kami singgahi, atau bahkan Zona Montane dengan ketinggian 1.500 -2.211-pun akan kami jejaki. Semoga
Sepanjang jalur trekking, tampak pita-pita dengan coretan spidol, seolah memberi petunjuk kepada kami, disinilah Owa Jawa (Hylobates Moloch) pernah singgah. Peneliti Korea sengaja menempelkan pita-pita ini di ranting-ranting pohon. Sesaat kemudian partner trekking segera menempel di Pohon Rasamala. Badannya yang menurutku cukup tinggi, serasa hilang tertelan ketinggian Rasamala yang bisa mencapai 60 m.
Setelah satu jam berjalan, tangga besi menuju canopy trail dengan ketinggian 20-25 m, tepat berada di hadapan kami. Sayang sekali, kondisi jembatan yang tak lagi laik dilewati, membuatnya harus ditutup sejak Januari 2009. Padahal canopy trail inilah, andalan utama Cikaniki.
Curug Macan menjadi akhir tujuan trekking kami kali ini. Curug yang berjarak hanya beberapa meter dari Wisma Cikaniki, siang itu tampak penuh, membuat kami tak ingin berlama-lama di tempat itu. Setelah menengok beberapa foto dan poster di ruang tamu Wisma Cikaniki, kamipun menyudahi perjalanan kami.
Siang itu, gerimis kembali mengantar kami menuruni TNGHS. Perasaan lega segera membahana. Ternyata masih ada tempat indah di muka bumi untuk Naomi.
* kata ini sengaja dipilih hanya untuk mempercantik judul (“,)
Renyah nian kabut menyapa :). Membawa segar ke hati. OK, kapan2 aku singgahi juga deh Gunung Halimun Salak, buat melintas gunung, bercakap dengan satwa, berbisik pada kabut, dan becanda dengan penduduk setempat.
We plan to visit Cikaniki next month. Tidak sengaja sampai diblog ini. Cikaniki ke Citalahab jauh tidak?trus Kalau makan di Citalahab bagaimana? Masak sendiri seperti di Cikaniki? Maaf banyak tanya. Thanks for sharing Novi.
@Koen: Mas kalo jadi kesana jangan lupa bawa selimut tebal dan jaket 3 rangkap ;).
@Arly: Dijawab satu-satu ya:
1. Jarak dari wisma Cikaniki ke Citalahab kira-kira 2 km, melewati kebun teh Nirmala. Atau lewat tengah hutan juga bisa.
2. Kami waktu itu cukup minta tolong istrinya Pak Kosasih untuk memasak buat kami. Waktu itu ditempat kami menginap memang tidak ada dapurnya. Tapi air panas disediakan, untuk sekedar bikin kopi atau teh. Yang saya tahu di Wisma Cikaniki memang ada dapurnya.
Have a nice trip ya, semoga nanti tidak berpapasan dengan harimau 🙂
gunung halimun bikin saya penasaran hingga harus rela berjalan dan di selingi turun naik mobil sayur hingga sampai cikaniki. trus jalan lagi hampir 3 km untuk mencapai pondok halimun di kampung citalahab. rasa cape hilang setelah 8 jam baru nyampe mandi di sungai yg seger bening.