Kemaren, Hari Ini dan Hari Esok

Apa yang kamu bayangkan ketika kamu berada pada satu titik ekstrem, dimana rentang badanmu berada pada 3 ruang yang berbeda. Aku pernah merasakannya, berdiri, sambil memeluk satu tugu kecil di Vaals. Sedikit badanku berada di negeri kincir angin, sebagian lagi merengkuh Jerman dan satu kakiku menapak di negeri Belgia. Spesial? Tentu, tapi tak ada yang aneh, tubuh kita terbiasa berada pada ruang yang kita definisikan berbeda. Sama halnya ketika kami harus melangkahi garis imajiner yang memisahkan Jakarta dan Depok, setiap kami menengok rumah di daerah Kukusan.

Namun titik ekstrem yang satu ini sedikit berbeda. Bagaimana perasaanmu bila rentang badanmu berada dalam 2 waktu yang berbeda. Separoh tubuhmu berada pada “hari ini” dan sebagian lagi menjadi milik “hari sebelumnya”. Ini bukan ilusi, bukan pula ilustrasi.
Andai aku mampu, suatu saat nanti ingin kuhabiskan waktu pergantian tahun di Pulau Taveuni, pulau terbesar ketiga di Fiji. Satu-satunya daratan yang dihuni di muka bumi yang dilewati garis bujur 180 derajat. Tak ayal, Taveuni yang hanya seperduabelas dari luas Pulau Bali ini terpilih menjadi basis untuk penentuan “today” dan “yesterday”. Disinilah hari ini dan hari esok bertemu, atau sebaliknya hari ini atau hari kemaren, tergantung di titik mana kamu berdiri. Menarik bukan?

Andai penetapan international dateline di Pulau Taveuni memiliki makna yang sebenarnya, tak sekedar definisi yang masih terikat dengan konsep ruang, yang ditentukan secara konsensus untuk menandai hari ini dan hari kemaren di muka bumi, alangkah indahnya hidup kita. Andai aku tak bahagia hari ini, aku cukup melompat ke hari kemaren. Lalu kuubah skenario. Kuulang dan terus kuulang hingga perasaan yang tepat aku dapat.

Sayang, hari esok tak bisa diantisipasi dengan lompatan kaki dari satu titik ke titik lainnya di Pulau Taveuni. Waktu takkan menunggu. Dan hanya kitalah faktor penentu. Karenanya, hidup tak boleh ragu-ragu. Hal baru patut untuk dicoba dan hal lalu jangan sekedar berlalu. Karena ritual-ritual hidup akan terus mewarnai, membuat kita “connected” ke masa lampau yang telah mengaliri tubuh kita dengan darah.

Kopi “Sidomulyo” akan terus terkecap dan pandangan pada bintang tak kan menghilang, namun hal-hal baru siap ku jelang, dengan pasangan hati yang setia menemani. Aku akan terus berjalan sambil mengingat-ingat pesan pribadi “Be Satisfied, be grateful. For what you have. For the love you receive. And for God has given you” – sebagaimana pesan the Reb dalam buku Mitch Albom -Have a little faith”.

Selamat memulai  tahun 2010.

Leave a Reply

Your email address will not be published.