Apa yang bisa diceritakan dalam perjalanan menempuh 3 kota dalam seminggu yang terjadi tahun lalu? Nothing. Medan, tak banyak yang kuketahui selain Restoran Garuda, Hotel Grand Angkasa, serta pusat jajanan di dekat alun-alun. Padang. Lebih parah lagi. Yang kutahu hanya Hotel Ambachang dan jalan aspal dari/menuju bandara. Akhirnya, Jakarta. Tempatku mengadu segala kepenatan, tempat peristirahatan sementara. Karena hidup adalah perjalanan dan Jakarta hanya sebuah persinggahan.
Mengulagi kisah yang sama setahun yang lalu, dua minggu lalu 4 kota sekaligus memenuhi ruang hariku dalam seminggu.
(1) Malang. Kota indah yang selalu menjadi jawaban atas pertanyaan Tempat Lahir yang disodorkan padaku. Hubungan kausal antara aku dan kota ini hanya terjadi sepihak saja. Kota ini mengetahui banyak sejarah masa kecilku dan merekam saat detik-detik menengangkan buah perkembangan makluk – hasil pertemuan dua zat di fallopia, sebuah tempat suci antara uterus dan ovarium- yang harus keluar dari rahim seorang wanita perkasa. Tapi sebaliknya? Aku tak mengetahui banyak tentang kota ini. Benar-benar tak imbang. Hingga kudapatkan sebuah buku berjudul “Malang, Telusuri Dengan Hati”.
Kota yang terhitung per 1 April 1914 menjadi gemeente (kotamadya) ternyata hasil pemekaran dari karesidenan Pasuruan. Berawal dari peta tua yang terpampang beberapa kali di buku-nya Pak Dwi Cahyo ini, aku mulai menelusuri kisah-kisah yang membuat romansaku atas kota ini membubung tinggi. Klojen misalnya, area yang dulunya adalah Lodji or Loji – benteng yang dipakai Belanda disepanjang kali Brantas samping Rs Saiful Anwar, kini hanya menjadi kawasan tua. Nama Lodji segera berevolusi menjadi Loji lalu ke-loji-an dan berakhir dengan Klojen. Lidah kitapun berevolusi seturut waktu. Konon di area ini perumahan pertama di Malang didirikan. Tak ayal, nama-nama anggota kerajaan seperti Juliana, Willem menghiasi jalan-jalan diarea ini. Siapa pula yang menyangka kalau di area tempatku bermain dahulu kala sering dijumpai macam kumbang.
Do you want to experience Malang in the earlier days namun tak sempat datang di bulan april saat jalan ijen disulap menjadi malang tempo doeloe? Kusarankan untuk mengunjungi Restoran Inggil di Jalan Gajah Mada. Menikmati foto-foto yang tergantung di dinding restoran yang merupakan bangunan peninggalan jaman Belanda itu membuatku terbawa mesin waktu, kembali ke masa lalu. Membaca pamflet-pamflet tua mengingatkanku akan betapa kentalnya pengaruh Belanda di kota ini. Ingin membaca kisah kota ini lebih jauh ? kusarankan untuk menanyakan ke pelayan restoran, mungkin mereka masih menjual buku yang ditulis sendiri oleh sang pemilik restoran.(2) Kalau Malang sarat dengan warisan budaya Belanda yang kental. Hanoi menyisakan kisah pendudukan Perancis. Empat hari di Hanoi tak menyediakan banyak hal selain meeting dan dining. Makanan eksotisnya dan keruwetan khas Hanoi menjadi kesan pertamaku. Sepeda motor seolah bergerak bebas tanpa aturan, ditunggangi oleh pengemudi-pengemudi yang nampak enggan menginjak rem. So be careful yach kalo ke kota ini!
Hari terakhirku dinodai oleh penipuan seorang sopir taksi, yang men-chargeku dengan argo kuda, membuat rekaman ingatanku akan mausoleum Ho Chi Minh, museum Vietnamese History serta Temple of Literature seolah-olah ditenggelamkan di dalam Hoan Kiem Lake yang terletak di old quarter di pusat kota Hanoi. Akhirnya, boneka-boneka kayu yang dikemas dalam pertunjukan “water puppet” selama satu setengah jam itulah yang sedikit menghiburku.Sebelumnya aku sempat kecewa dengan bangunan “One pillar Pagoda” yang di pamflet diiklankan sedemikian rupa membuat ekspektasiku akan site ini menjadi berlebihan. Aku telah dengan semena-mena men-judge bangunan sederhana ini tanpa mengetahui sejarahnya yang hampir berumur 10 abad. Beruntunglah, masih ada Pho , rice noddle yang lembut, dan bánh cuon, semodel lumpia basah dari tepung beras yang diisi daging, yang menguapkan kekecewaan hati. Kadang harus aku akui bahwa kebahagiaanpun bisa datang dari nikmatnya santapan.
(3) Hari berikutnya, Makasar, yang tiap sudutnya adalah kisah yang indah. Sepanjang Losari yang sudah membisu, beribu ungkapan kata indah pernah singgah disana. Lalu Sunset pulau khayangan yang memukau tak bisa kunikmati kali ini. Lagi-lagi waktu yang bisa dipersalahkan kali ini. Karena waktuku habis di ruang-ruang hotel.
(4) Dan akhirnya …. Jakarta lagi. Kota persinggahan. Cukup sudah 4 kota dalam seminggu, membuatku bak flight attendance, karena hampir tiap saat terlihat di bandara.
courtesy comes from full stomach. tapi nov, bukannya padang juga banyak jajanannya?
Waw… di tempat bermainmu dulu “kala sering ditemui macan kumbang” Bune? 😀
4 kota dalam seminggu ? seneng dong Jeng 🙂
kalau ingat malang, ingat saat dengan teman anggota osis SMA dulu satu bis ke sana, menelusuri jalan2 kota malam2 rame2 😀
senang ya bisa keliling di vietnam 🙂 walaupun ‘ternodai’ oleh sopir taksi,
tapi semoga saja gak ternodai oleh ke-enakan makanan nya ya hehe..teduh aku membacanya…
thanks for sharing this.
-pram
what about jakarta’s review? … all the places that we’ve been checking that out so far 🙂
Malang is one of the best 😀
asyiknya bisa jalan jalan terus…
@ Vira: Pas disana maemnya Nasi Padang Vir :). Coba dulu daku telp dikau ya.
@ Nova: Iyo Pak ne, sekarang macan kumbange wis pindah ke Jakarta 😉
@ Em: Jeng El, jaman itu Malang masih sepi kali ya, coba deh kunjungi lagi ajak suaminya although tak ada peninggalan Jerman disini.
@ HP : Mungkin Hanoi bagiku tidak sespecial Malang or Bandung Pram, tapi dengan kejadian ‘sopir taxi’ itu, Hanoi takkan pernah kulupakan.
@ Hamalekot : Jakarta? As I said, Jakarta hanya tempat persinggahan belaka.
@ Hedi : Setuju Kang Hedi, sampean pasti salah satu wong beruntung yang dibesarkan di Malang!
@ KW : Kayaknya lebih pasnya “kerja terus” deh.
Hai Nov.. asik juga jalan-jalannya. 4 kota dalam 1 minggu, pasti capek banget ya 🙂
Langsung teler Nis, kebayang kalo tahun depan ada peningkatan 5 kota dalam seminggu.