Sesaat di Pulau Sempu

Pulau Sempu

Itinerary dadakan kembali tercipta. Hanya demi memuaskan keingintahuan kami akan geografi negeri yang diberkati dengan keindahan tiada tara ini, Sabtu lalu kami melakukan soft trekking ke Pulau Sempu.

Pulau Sempu terlintas begitu saja di sela-sela pembicaraan santai dengan partner trekking. Idenya untuk ke kota Malang weekend kemaren segera kusambut dan kueksekusi seusai meeting di Mataram.

Pulau yang terletak di selatan pulau Jawa ini merupakan cagar alam dan bukan tempat wisata. Dengan jarak kurang lebih 70 km dari kota Malang dan jalan yang meliak liuk namun cukup mulus, pulau ini dapat ditempuh dalam waktu 2 jam. Melakukan perjalanan pagi tentu saja disarankan, karena Kamu tak harus berbagi jalan yang sempit dengan truk truk besar pengangkut tebu. Peta Jawa Timur yang kami persiapkanpun nampak masih terlipat rapi tak tersentuh, mengingat rambu-rambu dari Kota Malang menuju lokasi yang cukup jelas dan sangat membantu. Dengan Rute Surabaya – Malang – Turen – Sitiarjo dan berakhir di Pantai Sendang Biru, membuat perjalanan pagi itu selain menyenangkan juga melelahkan. Namun kesegaran paduan warna hijau, biru dan dibumbui bau khas laut, segera memusnahkan kepenatan kami.

Sebagai kawasan konservasi, Pulau ini semestinya tidak sembarangan menerima pengunjung. Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh ulah-ulah pengunjung yang tidak bertanggung jawab bisa mengganggu program konservasi satwa, pun tumbuhan endemik di pulau ini. Tak heran bila memasuki Pulau ini, surat ijin mesti dikantongi, atau setidaknya kulonuwun dengan yang punya rumah.

Setelah memegang dua nama “Pak Tikno dan Pak Tiksan” yang rupanya sering di kunjungi oleh rekan-rekan Papa dari Kebun Raya Purwodadi, kamipun segera menuju ke lokasi. Pak Tikno yang cukup permisif dan tak berbelit-belit segera menjelaskan peraturan yang mesti ditaati.

Dengan jarak tempuh dari Pantai Sendang Biru ke Pulau Sempu yang hanya memakan waktu 10 menit dan biaya sewa kapal nelayan untuk antar jemput sebesar 70 ribu, sampailah kami di sisi utara Pulau Sempu. Hutan mangrove-pun segera menyambut kami. Sesaat oksigen yang terhirup berubah menjadi euphoria yang meletup-letup.

Memasuki kawasan hutan, Trachypithecus auratus, Si Lutung Jawa nan hitam legam menampakkan diri di antara pohon-pohon tinggi, seolah mengingatkan kami, bahwa hutan bukanlah tempat yang pas untuk malam mingguan. Kamipun bertatapan dan saling tersenyum. Lihatlah, betapa alam disekitar kitapun tak hanya menawarkan keindahan, kebahagiaanpun tersajikan didepan mata.

Perjalanan menuju Danau Segara Anakan yang merupakan laguna, menempuh waktu kurang lebih satu jam, jarak yang hanya 1,8 km itu cukup moderate untuk dijalani. Malah menurutku termasuk dalam kategori ringan, apalagi kalau kamu memiliki partner trekking yang pas.

Suara burung pun suara gesekan aktifitas semut didalam rumah tanah-nya yang menempel di pohon-pohon besar dan ditimpa suara angin yang menyentuh pucuk-pucuk pohon, mengiringi langkah kami. Harmoni suara yang tercipta takkan tergantikan dengan dentingan piano yang melantunkan komposisi Beethoven-Moonlight Sonata sekalipun. Pulau yang konon menjadi hunian Elang Jawa dan Elang Hitam ini memang menyajikan segalanya. Buceros rhinoceros, Rangkong Badak yang berwarna hitam dengan semburat putih di sekitaran ekornya sempat melintas di atas kami, seolah menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari rantai kehidupan di pulau ini. Konon di Pulau ini juga memiliki sumber air tawar yang sempat dimanfaatkan oleh penduduk disekitar Sendang Biru. Tak heran, macan dan beberapa satwa langkapun pernah tinggal disana.

Pukul 13.30 kami tiba di Segara Anakan. Saat yang kurang tepat untuk memulai sesi photography. Filter CPL segera kupasang demi munculnya warna-warna indah yang takkan dirusak oleh over exposure dari terik matahari. Dengan ISO minimal, mulai kupindahkan keindahan Segara Anakan kedalam keabadian file berformat jpg. Tripodpun ikut mengambil bagian dalam sesi pemotretan ini.

Sore-pun akhirnya merengkuh kami. Segara Anakan sesaat surut, sejalan dengan surutnya euphoria kami yang harus segera pulang ke Malang. Sesekali tampak gelombang besar yang menembus karang-karang bolong, mengalirkan air laut ke dalam Segara Anakan, danau akan terisi kembali, dan sikluspun terawali. Satu jam lagi bibir Pulau Sempu akan terjangkau, 10 menit kemudian Pulau Jawa akan kembali tertapaki, dan 2 jam berikutnya Kota Malang akan kami telusuri.

Sesaat di Pulau Sempu takkan pernah terhapus dari ingatan.

A tale of 4 cities

Apa yang bisa diceritakan dalam perjalanan menempuh 3 kota dalam seminggu yang terjadi tahun lalu? Nothing. Medan, tak banyak yang kuketahui selain Restoran Garuda, Hotel Grand Angkasa, serta pusat jajanan di dekat alun-alun. Padang. Lebih parah lagi. Yang kutahu hanya Hotel Ambachang dan jalan aspal dari/menuju bandara. Akhirnya, Jakarta. Tempatku mengadu segala kepenatan, tempat peristirahatan sementara. Karena hidup adalah perjalanan dan Jakarta hanya sebuah persinggahan.

Mengulagi kisah yang sama setahun yang lalu, dua minggu lalu 4 kota sekaligus memenuhi ruang hariku dalam seminggu.

(1) Malang. Kota indah yang selalu menjadi jawaban atas pertanyaan Tempat Lahir yang disodorkan padaku. Hubungan kausal antara aku dan kota ini hanya terjadi sepihak saja. Kota ini mengetahui banyak sejarah masa kecilku dan merekam saat detik-detik menengangkan buah perkembangan makluk – hasil pertemuan dua zat di fallopia, sebuah tempat suci antara uterus dan ovarium- yang harus keluar dari rahim seorang wanita perkasa. Tapi sebaliknya? Aku tak mengetahui banyak tentang kota ini. Benar-benar tak imbang. Hingga kudapatkan sebuah buku berjudul “Malang, Telusuri Dengan Hati”.

Kota yang terhitung per 1 April 1914 menjadi gemeente (kotamadya) ternyata hasil pemekaran dari karesidenan Pasuruan. Berawal dari peta tua yang terpampang beberapa kali di buku-nya Pak Dwi Cahyo ini, aku mulai menelusuri kisah-kisah yang membuat romansaku atas kota ini membubung tinggi. Klojen misalnya, area yang dulunya adalah Lodji or Loji – benteng yang dipakai Belanda disepanjang kali Brantas samping Rs Saiful Anwar, kini hanya menjadi kawasan tua. Nama Lodji segera berevolusi menjadi Loji lalu ke-loji-an dan berakhir dengan Klojen. Lidah kitapun berevolusi seturut waktu. Konon di area ini perumahan pertama di Malang didirikan. Tak ayal, nama-nama anggota kerajaan seperti Juliana, Willem menghiasi jalan-jalan diarea ini. Siapa pula yang menyangka kalau di area tempatku bermain dahulu kala sering dijumpai macam kumbang.

Do you want to experience Malang in the earlier days namun tak sempat datang di bulan april saat jalan ijen disulap menjadi malang tempo doeloe? Kusarankan untuk mengunjungi Restoran Inggil di Jalan Gajah Mada. Menikmati foto-foto yang tergantung di dinding restoran yang merupakan bangunan peninggalan jaman Belanda itu membuatku terbawa mesin waktu, kembali ke masa lalu. Membaca pamflet-pamflet tua mengingatkanku akan betapa kentalnya pengaruh Belanda di kota ini. Ingin membaca kisah kota ini lebih jauh ? kusarankan untuk menanyakan ke pelayan restoran, mungkin mereka masih menjual buku yang ditulis sendiri oleh sang pemilik restoran.

(2) Kalau Malang sarat dengan warisan budaya Belanda yang kental. Hanoi menyisakan kisah pendudukan Perancis. Empat hari di Hanoi tak menyediakan banyak hal selain meeting dan dining. Makanan eksotisnya dan keruwetan khas Hanoi menjadi kesan pertamaku. Sepeda motor seolah bergerak bebas tanpa aturan, ditunggangi oleh pengemudi-pengemudi yang nampak enggan menginjak rem. So be careful yach kalo ke kota ini!

Hari terakhirku dinodai oleh penipuan seorang sopir taksi, yang men-chargeku dengan argo kuda, membuat rekaman ingatanku akan mausoleum Ho Chi Minh, museum Vietnamese History serta Temple of Literature seolah-olah ditenggelamkan di dalam Hoan Kiem Lake yang terletak di old quarter di pusat kota Hanoi. Akhirnya, boneka-boneka kayu yang dikemas dalam pertunjukan “water puppet” selama satu setengah jam itulah yang sedikit menghiburku.

Sebelumnya aku sempat kecewa dengan bangunan “One pillar Pagoda” yang di pamflet diiklankan sedemikian rupa membuat ekspektasiku akan site ini menjadi berlebihan. Aku telah dengan semena-mena men-judge bangunan sederhana ini tanpa mengetahui sejarahnya yang hampir berumur 10 abad. Beruntunglah, masih ada Pho , rice noddle yang lembut, dan bánh cuon, semodel lumpia basah dari tepung beras yang diisi daging, yang menguapkan kekecewaan hati. Kadang harus aku akui bahwa kebahagiaanpun bisa datang dari nikmatnya santapan.

(3) Hari berikutnya, Makasar, yang tiap sudutnya adalah kisah yang indah. Sepanjang Losari yang sudah membisu, beribu ungkapan kata indah pernah singgah disana. Lalu Sunset pulau khayangan yang memukau tak bisa kunikmati kali ini. Lagi-lagi waktu yang bisa dipersalahkan kali ini. Karena waktuku habis di ruang-ruang hotel.

(4) Dan akhirnya …. Jakarta lagi. Kota persinggahan. Cukup sudah 4 kota dalam seminggu, membuatku bak flight attendance, karena hampir tiap saat terlihat di bandara.

Sekali Berlibur, Empat Lima Pulau terlampaui

Berbeda dengan trip to Belitung yang hanya menyinggahi 2 pulau kecil. P’Lengkuas dan P.Burung, perjalanan kali ini berhasil menyinggahi 5 pulau sekaligus, meskipun dua diantaranya hanya menelusuri garis pantai-nya.

Tersebutlah Pulau Karimun Jawa, tempat Kapal Motor Cepat Kartini berlabuh. Pulau yang mayoritas penduduknya adalah nelayanini terbilang cukup ramai. Mereka mendiami pesisir pulau yang didominasi oleh pegunungan. Beberapa bangunan tua masih difungsikan sebagai bangunan administrative pedesaan. Namun tak jarang bangunan mewah berlantai dua,yang salah satunya di beri tonggak “milik petinggi desa”, meramaikan landscape pulau ini. Di pulau yang terdiri atas satu kecamatan dan dua desa inilah nadi administratif pemerintahan kepulauan Karimun Jawa terletak.

Pulau Kedua di hari kedua, perjalanan kami adalah P.Menjangan Besar. Terletak bersebelahan dengan P. Karimun Jawa, pulau ini tambak jauh lebih kecil kalau dilihat di peta. Vegetasi yang banyak tumbuh di pinggir pantai adalah Bakau. Hamparan pasir putih dan gradasi air laut dari hijau muda, biru muda hingga biru tua memenuhi ruang pandangku. Tak jauh dari tambatan perahu, berdirilah bangunan kayu semi permanen tempat petani membudidayakan kerapu. Luntur sudah idealisme seorang teman yang tak mau menyentuh daging kerapu karena menurutnya demi menangkap kerapu, nelayan harus meletakkan bom diantara karang-karang. Memakannya berarti ikut merusak karang. Bagi kami tempat ini berarti mendayakan kerapu secara berbudi.

Di hari ketiga, tiga pulau sekaligus terlapaui. P.Cemara Besar, P.Cemara Kecil dan P.Menjangan Kecil. P. Cemara Besar, dari namanyapun sudah tertebak, pasti vegetasi cemara berkerumun di pulau ini. Sebelum perahu merapat di sisi utara P.Cemara Besar, kami menyempatkan snorkeling di kedalaman laut 2-3 meter. Tak banyak ikan di sini, tapi koral laut berbagai bentuk yang berwarna warni menyuguhi mata kami dengan keindahan dan membuat kami betah terapung di atas air.

Sesi berikutnya kuberi judul Narsisme di P.Cemara Besar. Di sesi ini keberadaan tripod sungguhlah berarti. Bagiku, melakukan perjalanan dengan rekan-rekan yang hobby fotografi menjadikan trip kali ini sungguh istimewa. Di pulau ini kami bermain komposisi. Namun kegembiraan sesaat berubah menjadi kegundahan kala perahu yang tertambat tergeser oleh ombak. Tempat kami mendarat yang semula hanya sedalam 60 cm, bergeser ke tempat dengan kedalaman 180 cm. Tinggiku yang Cuma 165 cm takkan mampu menyelamatkan kamera dan propertinya. Lagi-lagi Paulus datang sebagai dewa penolong. Tingginya yang di atas 180 cm, membuatku santai berenang ke arah perahu.

Tidak berbeda dengan aktifitas kami di P.Cemara Besar, di P.Cemara Kecil beberapa diantara kami yang masih belum puas snorkeling segera mencebur ke laut. Dengan kedalaman yang lebih dari 2 meter, terlihat banyak ikan disini. Tak lama kemudian perahupun melaju ke P.Menjangan Kecil. Tak banyak yang bisa kami lakukan di sini. Melihat kapal karam di dasar laut? Ahh, yang ini jelas bukan bagianku, bahkan di kolam renangpun aku belum bisa memanage tubuhku untuk berenang di dasar kolam.

Aktifitas hari itu kami tutup dengan mendaki perbukitan Karimun Jawa. Rasa lelah seakan terobati dengan pemandangan Sunset dari atas bukit. Meskipun pemandangan sunset yang tak sempurna, kami cukup puas bisa mencapai lanskap yang berbeda.

Liburan di P.Karimun Jawa kali ini kututup dengan perjalanan malam di atas bus ekonomi menuju Terminal Bungur Asih. Dan di atas roda yang melaju di kegelapan malam, aku sendirian mengenang keindahan dan kehangatan yang sempat singgah. Ah, kadang keindahan itu tidak bisa kita kuasai seterusnya.

Wisma Apung Pak Joko, dimana keramahan dan kehangatan membaur.

Di Wisma Apung

“Wontenipun namung kamar ingkang mboten ngangge AC, kamar mandinipun datheng njawi” (yang ada hanya kamar non AC dengan toilet diluar), begitu jawab Pak Joko via telp ketika aku mencoba reserve kamar dari Jakarta. Kamar tak ber-AC tak masalah. Kamarkan cuma buat tidur, aku pasti akan banyak menghabiskan waktu berjalan-jalan dipulau pikirku, seraya mengiyakan reservasi kamar berikut paket perjalanan.

Dugaanku untuk berjalan-jalan di pulau sembari menunggu saat tidur tibaternyata salah besar. Euphoria selesai Kapal Motor Cepat Kartini merapat dipelabuhan Karimun Jawa sirna begitu saja tatkala kami dibawa sebuah mobil carry ke satu pelabuhan disisi lain pulau. Masih terngiang perjalanan di atas kapal cepat yang mengocok isi perutku harpir 3.5 jam lamanya. Lalu … siksaan apalagi ini? Apakah demi melihat sorga orang mesti sengsara?

Ah ternyata hanya 5 menit perjalanan dengan kapal motor nelayan sampailah kami di Wisma Apung, deretan kamar kayu yang kokoh berdiri di atas karang yang sama sekali tidak attached ke satu pulaupun. Kami dikelilingi air. Daratan hanya bisa ditempuh dengan perahu, atau kalau berani nekad, berenang diantara karang dan bulu babi bisa mengantar kami ke pulau terdekat, P.Menjangan Besar.

Lantas apa yang bisa kami lakukan disini kalau jadwal trip ke pulau sedang tidak ada? Awalnya kupikir pagi dan malam hari akan sangat membosankan. Lagi-lagi aku salah. Ini saatnya mengeksplore sisi lain Putut dan Paulus, teman seperjalananku. Tak berhenti di sini, kamipun mengeksplore hingga kamar-kamar sebelah.

Tersebutlah dua keluarga dari Jakarta dengan masing-masing dua anak, menjadi akrab dengan kami. Ini efek intensitas pertemuan yang tak terelakkan. Pak Gunawan, seorang advokat yang ramah beserta istrima yang dosen kedokteran Untar menyapa kami terlebih dahulu. Ariel anak pertamanya yang gemar fotografi selalu mengalungi Canon D400. Clements calon dokter yang gentle dan penolong sedari hari pertama telah menghiasi dua jarinya dengan tensoplast akibat taring-taring hiu yang mencoba meraih ikan dari tangannya.

Adalagi pasangan Ari dan Bhakti yang berdomisili di Depok yang selalu deperlengkapi dengan peta perjalanan. Dengan Ari yang aktif di milis jalan-jalan, aku asyik berdiskusi tentang trip-trip perjalanan yang mengasyikkan.

Pak Joko yang asli Magelang sesekali nimbrung ditengah-tengah obrolan kami, menambahi pengetahuan kami tentang pulau ini. Si Mbah Putri penunggu Wisma Apung, masih enak juga diajak ngobrol. Nenek Pak Joko yang berusia kurang lebih 65 tahun ini penduduk asli Karimun. Darinya kuperoleh cerita bahwa Pak Joko memberdayakan seluruh keluarganya untuk mengelola wisma ini. Betul-betul proyek padat karya.
Nah satu lagi, seorang lelaki tua lebih dari 70 tahunan, Kakek Pak Joko, yang penglihatan dan pendengarannya mulai terganggu. Bercakap-cakap dengannya membuat kami menemukan species ikan baru diperairan Karimun Jawa “I(h) KAN GAK NYAMBUNG”

In short, dalam 4 hari 3 malam, Kopi Kapal Api, Teh Sariwangi dan kacang garing menjadi saksi kehangatan yang tercipta di atas Wisma Apung.

Karimun Jawa, Oct 13 – 16 2007

Karimun Jawa

Bagiku KARIMUN JAWA adalah pelarian atas rencana soft trekking ke Krakatau yang terpaksa digagalkan secara sepihak oleh seorang teman yang tak rela ditinggalkan.Namun, tak sedikitpun aku menyesali itinerary dadakan dengan perencanaan setengah matang,bak dua butir telur, menu sarapan pagiku setiap aku menginap di hotel, disajikan didepan mata lalu dilahap. Pun dengan Karimun Jawa, semua tersaji didepan mataku. Otakku menangkap dan mengolahnya, lalu dia membiarkan indra-indra lain mengecap keindahan lewat sentuhan-sentuhan langsung. Mata menangkap keindahan diantara hijau birunya laut nan jernih, telinga mendengar riak merdu ombak dan burung-burung yang perutnya sudah dikenyangkan oleh ikan, hidungku mencium aroma khas laut. Rasa asin yang terkecap sesekali kala terhantam riak kecil saat snokling di Tanjung Gelam. Kulitku, lagi-lagi merasakan sengatan matahari, membuat efek Belitung semakin kentara dikulitku.

Overall, perasaanku dihibur oleh semesta yang tampak elok di depanku.

Siapa sangka perjalanan hampir 20 jam dari Jakarta, dihantam kelelahan, kantuk dan mualnya perut akibat hentakan gelombang, akan berakhir di sorga Karimun Jawa? Siapa juga yang menduga bahwa “sorga” bisa ditempuh dengan 700 ribu untuk satu paket perjalanan include tiket PP Semarang – Karimun, all meal dan trip to the islands near by? I’m the lucky one.

Trip to Belitung

13 of Us Taken by 3pod
Berawal dari googling Andrea Hirata dan related key search, sampailah aku pada gambaran lanscape Belitung yang wow, sungguh memukau. Dengan sedikit hasutan tentang keindahan pulau ini ke teman-temanku, merekapun akhirnya setuju untuk memulai perjalanan tanggal 17 Agustus pagi. Lokasi upacarapun dipindah ke Pulau nan sepi ini

Tentu dengan kesadaran penuh, kami tidak akan pergi ke Manggar. Aku tidak mungkin memaksakan keinginanku hanya untuk memuaskan keingintahuanku akan setting dimana Andrea dan kisah laskar pelanginya memulai petualangan hidup mereka. Although I want it very much to see the place, I realize that this may not be interesting for my friends who even don’t know who Andrea is.

Jadilah kami subuh-subuh – ditemani Betelgeuse dan Rigel serta lirikan Pollux yang kuning memerah di langit – menuju bandara. Hanya ada dua direct flight from Jakarta. Pesawat kami take off pukul 07.00.WIB. Dengan perjalanan kurang lebih 45 menit, sampailah kami di Tanjung Pandan pukul 7.45 WIB. Begitu menyentuh kota ini, perasaan lega membahana. Sehari sebelumnya, gara-gara market bearish, kami dikandangkan di hotel, justru sehari sebelum keberangkatan kami. “Dimana sense of crisis kalian?” Beberapa teman yang tidak ikut trip menyentil kami yang tetap memaksakan diri untuk pergi. Menyentuhkan kaki ke tanah belitung berarti tak ada kesempatan lagi untuk berbalik ke Jakarta. Biarlah market bearish. What goes up must come down. Ini hanya efek herding behaviour yang menjadi ciri khas local investor di Indonesia.

Tujuan pertama kami adalah Tanjung Pendam yang terletak di kota Tanjung Pandan. Tentu aku masih ingat cerita tujuh belasan-nya anak-anak SD PN Timah di tempat ini, yang menurut Andrea saat itu tempat ini begitu istimewa. Sekeliling kulihat laut yang sedang di bendung. Direklamasi kah? Ntahlah.
Konon di lokasi ini pernah dibangun pagar tembok tinggi, karena memang lokasi ini milik PN Timah. Sekali lagi kisah-kisah si Ikal kecil bermain-main dikepalaku.

Jam 10.00 meluncurlah kami kembali ke H.A.S Hanandjoeddin, menjemput 2 orang teman kami yang terpaksa di delay karena memilih operator pesawat yang salah. Setelah itu, selama 40 menit dengan melewati jalan aspal yang terlihat masih baru, mini bus kami berangkat menuju Lor In hotel di Tanjung Tinggi. Heran, sepanjang jalan, kami tak berpapasan dengan kendaraan bermotor lain. Kanan kiri kami, terlihat bekas-bekas tambang timah liar yang dibiarkan begitu saja, pohon-pohon mengering, serta kebun-kebun kelapa sawit yang luas memenuhi ruang pandangku.

Tanjung Tinggi memang sungguh menawan, tak perlu ke Phuket. Belitung sungguh fantastic. Siang itu kami naik ke batu-batu granit yang menggerombol disepanjang pantai. Suasana sepi membuat tempat ini menjadi sangat romantis.

Jarak pantai Tanjung Tinggi dan Tanjung Kelayang yang saling berdekatan membuat jadwal kami tidak terlalu ketat. Pak Kusuma, tour guide kami-pun juga terlihat santai.

Hari kedua, diawali dengan berenang ke tengah laut, membuat istana pasir ala Gaudi dan tentu menikmati matahari pagi. Jam 9 baru kami berlayar ke Pulau Lengkuas, dimana mercusuar tua jaman Belanda berdiri tegak. Laut serasa sangat tenang, biru kehijauan serta batu-batu granit menyembul keluar dari dasar laut menyuguhi hari kami dengan keindahan yang tiada tara. Mungkin aku terlalu exaggerate, but this is the fact.

Tiba di Pulau Lengkuas, nampaklah pemandangan pulau-pulau kecil dengan bebatuan besar yang menakjubkan. Mercusuar berwarna putih masih terlihat terawat meski umurnya telah lewat seabad. Mendaki ke puncaknya adalah kenikmatan. Phobia ketinggian? Sepertinya aku diciptakan untuk menikmati apapun dan mencobai apapun. Semakin tinggi kaki ini menapak, euphoria semakin mendesak ke ujung ubun-ubun kepala. Foto bersama ala novi (dengan gaya rada gak lazim) tentu tidak ketinggalan. Dan eitts satu lagi, ada kucing betina yang manja, yang selalu mendekatiku dan berguling-guling di depanku. Mungkinkah dia menemukan saudara-nya si Pus ber-Pita ini.

Pulau terakhir tujuan kami adalah Pulau Burung, sebuah pulau data yang tak berpenghuni. Konon ada batu granit disini yang mirip dengan bentuk burung, yang menurutku sih lebih mirip mulut ikan lumba-lumba. Melihat hamparan laut dangkal berpasir putih yang luas tentunya menarik keinginan kami untuk melepas baju dan berenang ke tengah laut. Berbekal google, disiang bolong pun kujabani mencari ikan-ikan kecil dibalik terumbu karang. Serasa kembali ke Pantai Bira yang hampir setahun yang lalu kutinggalkan.

Malamnya, kegiatan kami tak ada yang istimewa, selain memandangi bintang-bintang bertebaran, sambil tersadar esok pagi sorga nan indah ini harus kami tinggalkan.

Cat: Beberapa gambar sudah di upload di sini